Guilt Complex, Rasa Bersalah yang Dirasakan Terus-menerus

Bisa berdampak negatif pada kesehatan

Rasa bersalah merupakan perasaan wajar yang dimiliki ketika seseorang melakukan kesalahan, baik itu sengaja atau tidak. Perasaan ini biasanya dikaitkan dengan aspek moral pada diri manusia.

Namun, pernahkah kamu terkungkung oleh rasa bersalah yang memenuhi hati? Bahkan, rasa bersalah tersebut sampai menyebabkan persoalan lain, seperti memicu kecemasan atau kekhawatiran intens? Kamu perlu waspada, mungkin itu adalah guilt complex.

Guilt complex (rasa bersalah yang kompleks) mengacu pada keyakinan terus-menerus telah melakukan sesuatu yang salah. Ini bisa dikaitkan dengan bahaya nyata yang mungkin disebabkan oleh individu yang bersangkutan. Dalam kasus lain, bisa juga berhubungan dengan peran yang diemban seseorang dalam situasi tertentu.

Studi dalam Clinical Psychology Review bahkan menegaskan, rasa bersalah yang berlebihan telah dikaitkan dengan sejumlah kondisi kesehatan mental, seperti depresi, gangguan obsesif kompulsif (OCD), serta gangguan stres pascatrauma (PTSD).

1. Kaitannya dengan teori psikologi

Guilt Complex, Rasa Bersalah yang Dirasakan Terus-menerusilustrasi merasa bersalah (pexels.com/Alex Green)

Dilansir Better Help, ada dua teori dasar tentang gagasan tentang guilt complex. Kedua teori tersebut, mencakup:

  • Teori pertama merunut pada beberapa pendapat psikolog tradisional yang menganggap bahwa rasa bersalah berakar pada perilaku pada masa kecil. Rasa bersalah juga dapat dipelajari selama tahap awal perkembangan anak. Beberapa ahli yang mendukung teori pertama percaya bahwa anak-anak belajar rasa bersalah pada usia muda. Ketika anak-anak mengembangkan sikap yang tidak sehat terhadap rasa bersalah, hal ini mungkin menjadi salah satu emosi terkuat mereka.
  • Teori kedua mengacu pada pemikiran para psikolog modern yang percaya bahwa rasa bersalah yang kompleks (guilt complex) berakar pada kondisi kognitif. Banyak kasus guilt complex yang melibatkan pola pikir yang sudah salah kaprah. Emosi negatif tersebut sering dikaitkan dengan kesalahan tafsir, terlalu menggeneralisasi konsekuensi, serta menitikberatkan pada pemikiran irasional.

Ketika seseorang menunjukkan indikasi guilt complex, sering kali tanda fisik pun turut menyertai, seperti: 

  • Sakit kepala.
  • Kekhawatiran berlebih.
  • Nyeri otot.
  • Merasa mual.
  • Insomnia.
  • Kelelahan.

2. Tipe

Guilt Complex, Rasa Bersalah yang Dirasakan Terus-menerusilustrasi perempuan sedang sedih (pexels.com/Liza Summer)

Dilansir Good Therapy, secara umum terdapat tiga tipe rasa bersalah, yakni:

  • Reactive guilt: Terjadi saat seseorang percaya bahwa dirinya telah bertindak melawan keyakinan pribadinya tentang apa yang baik secara moral atau standar yang ada dalam masyarakat.
  • Anticipatory guilt: Hasil pemikiran mengenai tindakan yang bertentangan dengan standar moral pribadi atau standar masyarakat. Contohnya, seseorang mungkin memilih tidak mengambil tindakan tertentu karena hal tersebut adalah salah dan dapat menyakiti orang lain.
  • Existential guilt: Menggambarkan perasaan seseorang terhadap gagasan bahwa "hidup itu tidak adil." Selain itu, juga dapat menggambarkan rasa bersalah atas dampak negatif yang mungkin mereka lakukan terhadap kehidupan orang lain.

Seiring berkembangnya zaman, beberapa peneliti melanjutkan kajian mengenai tipe rasa bersalah. Tipe yang lebih baru dikategorikan secara terpisah, sebagai berikut:

  • Maladaptive guilt: Rasa bersalah ini mungkin termasuk rasa bersalah kronis (berhubungan dengan rasa malu) dan yang mengarah pada tekanan mental atau emosional.
  • Adaptive or pro-social guilt: Rasa bersalah tipe ini diyakini lebih bermanfaat karena berkaitan dengan pemahaman seseorang tentang kesalahan dan tanggung jawab.

Baca Juga: Sibuk Terus-menerus Pengaruhi Kesejahteraan, Ini Faktanya!

3. Faktor penyebab

Guilt Complex, Rasa Bersalah yang Dirasakan Terus-menerusilustrasi menatap keluar jendela dengan perasaan bersalah (pexels.com/Teona Swift)

Penyebab pasti guilt complex belum bisa ditetapkan. Namun, ada sejumlah faktor yang dapat berkontribusi pada kemunculan guilt complex di antaranya adalah:

  • Faktor kecemasan: Faktanya, baik guilt complex maupun kecemasan, keduanya sama-sama berhubungan satu sama lain secara signifikan. Sederhananya, jika seseorang memiliki kecenderungan merasa cemas, maka besar kemungkinan akan selalu menilai tindakannya secara negatif dengan perasaan bersalah.
  • Unsur pengalaman pada masa kanak-kanak: Anak-anak yang dibesarkan dari keluarga yang sering mempraktikkan rasa bersalah secara negatif, lebih mungkin mengembangkan rasa bersalah secara berkepanjangan sampai dewasa.
  • Budaya: Menentang norma budaya yang telah melekat sedari kecil juga bisa dikaitkan dengan perasaan bersalah yang kompleks.
  • Agama: Beberapa keyakinan dalam butir keagamaan telah menetapkan larangan dan perintah yang harus dipatuhi penganutnya. Dengan demikian, melanggar aturan keagamaan bisa memicu perasaan bersalah.
  • Tekanan sosial: Terkait dengan tuntutan atau paksaan secara sosial dari orang lain. Selain itu, tindakan menghakimi atas kesalahan yang diperbuat memperkeruh rasa bersalah menjadi lebih kompleks.

4. Situasi yang bisa memicu rasa bersalah secara kompleks 

Guilt Complex, Rasa Bersalah yang Dirasakan Terus-menerusilustrasi perempuan tertekan (pexels.com/Liza Summer)

Seperti pepatah yang mengatakan, "tidak akan ada asap kalau tidak ada api", perasaan bersalah pun demikian. Ada beberapa situasi tertentu yang menjadi sebab akan kemunculannya. Sebab yang pertama dipicu oleh tindakan salah, seperti mencuri, menyontek, berbohong, atau menggunakan obat-obatan terlarang.

Selanjutnya berhubungan dengan pikiran salah, termasuk pengkhianatan, ketidakjujuran, atau berniat melakukan tindakan yang ilegal. Yang ketiga disebabkan oleh "false guilt" atau lekat dengan pemikiran yang tidak rasional. Dalam beberapa kasus yang parah, beberapa individu yang tidak melakukan kesalahan apa pun bisa merasa bersalah karena alasan yang tidak mendasar.

Pemicu lainnya berkaitan dengan compassion guilt, yang mana seseorang merasa bersalah ketika dirinya tidak bisa membantu orang lain. Psikolog menyebut situasi ini mengarah pada rasa bersalah sebagai kelelahan belas kasih.

Pemicu lainnya adalah survivor guilt, yakni merasa bersalah atas keberuntungan yang didapatkan. Misalnya pada kasus selamat dari bencana alam, individu tersebut merasa bersalah karena berpikir bahwa korban lainnya seharusnya juga bisa selamat.

5. Penanganan

Guilt Complex, Rasa Bersalah yang Dirasakan Terus-menerusilustrasi bergandengan tangan (pexels.com/Anete Lusina)

Karena guilt complex bukan termasuk diagnosis yang berdiri sendiri, perlu penanganan khusus dalam mengatasinya. Dokter mungkin akan memberikan obat jenis antidepresan atau antikecemasan untuk membantu mengatasi gejala yang menyertainya. 

Opsi selanjutnya yang mungkin akan ditetapkan adalah dengan psikoterapi. Terapi perilaku kognitif (CBT) lebih umum digunakan untuk untuk membantu mengatasi pikiran bersalah. 

Sementara itu, beberapa strategi sederhana yang bisa dilakukan oleh pengidap guilt complex, ialah:

  • Mengkaji ulang situasi yang dirasa menjadi pemicu rasa bersalah. 
  • Berbagi pengalaman yang dirasakan kepada orang dapat dipercaya. 
  • Mempraktikkan teknik pernapasan untuk menenangkan pikiran bersalah yang berkecamuk. 

Itulah penjelasan seputar guilt complex. Rasa bersalah tidak selalu dikaitkan dengan konotasi negatif. Mekanisme perasaan ini bisa membantu seseorang untuk lebih peka terhadap keadaan di sekitarnya. 

Namun, penting untuk dipahami bahwa, jangan sampai rasa bersalah menjadi bumerang. Intinya, jangan biarkan dirimu terjebak dalam kubangan rasa bersalah yang justru hanya akan menguras energi. 

Baca Juga: Experiential Avoidance, Upaya untuk Selalu Menjauhi Kesulitan

Indriyani Photo Verified Writer Indriyani

Full-time learner, part-time writer and reader. (Insta @ani412_)

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya