Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi hipotermia (unsplash.com/Irfan Syahmi)

Mendaki gunung sering dianggap kegiatan fisik yang menyehatkan dan menyegarkan pikiran, tapi tidak sedikit yang lupa bahwa tubuh sedang berhadapan dengan tantangan ekstrem, termasuk suhu lingkungan yang tidak stabil. Banyak orang mengira bahwa hipotermia hanya mengintai ketika cuaca sangat dingin atau saat hujan deras turun tanpa henti. Padahal, kondisi ini bisa muncul bahkan ketika suhu tidak terlalu rendah, dan itu justru membuatnya lebih berbahaya karena sering tidak disadari sejak awal.

Kamu perlu tahu bahwa suhu tubuh bisa turun drastis bukan hanya karena cuaca, tetapi juga akibat kombinasi faktor lain seperti pakaian basah, angin kencang, atau tubuh yang kehilangan panas lebih cepat dari biasanya. Banyak pendaki tidak menyangka bahwa mereka berisiko mengalami hipotermia saat kondisi cuaca tampak baik-baik saja. Berikut penjelasan lebih dalam dari berbagai sisi agar kamu lebih waspada terhadap bahaya hipotermia saat mendaki gunung.

1. Pakaian yang basah bisa mempercepat penurunan suhu tubuh

ilustrasi pakaian basah (pexels.com/MART PRODUCTION)

Saat mendaki gunung, tubuh cenderung mengeluarkan banyak keringat meski udara terasa sejuk. Keringat yang membasahi pakaian bisa menyerap panas tubuh dan mempercepat proses pendinginan, terutama jika kamu berhenti bergerak atau terkena angin gunung yang kencang. Pakaian basah, baik karena hujan ringan maupun keringat, menjadi media yang mempercepat penurunan suhu inti tubuh.

Masalah ini sering disepelekan karena pendaki merasa masih hangat akibat aktivitas fisik. Padahal, begitu kamu berhenti atau tertidur di tenda dengan pakaian lembap, tubuh mulai kehilangan panas secara perlahan tanpa disadari. Dalam kondisi seperti ini, suhu udara tak perlu ekstrem untuk memicu hipotermia. Tubuh sudah cukup rentan hanya dengan sedikit paparan angin atau udara malam yang lebih sejuk dari siang hari.

2. Kecepatan angin menurunkan suhu tubuh secara drastis

ilustrasi kecepatan angin (pexels.com/Joshua Abner)

Banyak pendaki meremehkan efek angin saat berada di dataran tinggi. Meski suhu udara masih terbilang hangat, angin kencang bisa mempercepat hilangnya panas dari permukaan kulit. Hal ini yang disebut efek wind chill, di mana angin membuat tubuh kamu merasa lebih dingin dari suhu sebenarnya. Proses ini terjadi terus-menerus, apalagi jika kulit terbuka atau pakaian tidak cukup menahan angin.

Keadaan akan lebih parah bila tubuh dalam kondisi lelah dan tidak cukup energi untuk menghasilkan panas. Saat tenaga sudah terkuras karena jalur yang panjang, tubuh sulit menjaga kestabilan suhu. Dalam situasi seperti ini, angin bisa menjadi faktor utama yang mendorong terjadinya hipotermia, bahkan tanpa adanya hujan atau cuaca ekstrem.

3. Energi yang habis mengurangi kemampuan tubuh menghangatkan diri

ilustrasi capek naik gunung (pexels.com/Kamaji Ogino)

Aktivitas fisik yang intens selama mendaki membuat tubuh membakar banyak energi. Ketika energi mulai menipis, tubuh jadi kesulitan menghasilkan panas melalui proses metabolisme. Hal ini sangat berbahaya, terutama jika tidak disertai asupan makanan atau cairan yang cukup. Banyak pendaki terlalu fokus pada target puncak hingga lupa makan atau minum secara teratur.

Dalam kondisi kelelahan, tubuh masuk dalam mode konservasi energi. Artinya, kemampuan mempertahankan suhu tubuh menurun drastis. Jika ini dibarengi dengan suhu lingkungan yang mulai dingin atau pakaian basah, hipotermia bisa terjadi tanpa banyak gejala awal yang mencolok. Sering kali, yang terasa hanya kantuk atau tubuh menggigil, tapi itu bisa menjadi tanda awal yang serius.

4. Ketinggian memengaruhi respons tubuh terhadap suhu

ilustrasi naik gunung (pexels.com/Eric Sanman)

Semakin tinggi kamu mendaki, maka semakin tipis pula udara yang kamu hirup. Ini membuat tubuh harus bekerja lebih keras untuk beradaptasi, termasuk dalam mengatur suhu internal. Di ketinggian tertentu, tubuh lebih mudah kehilangan panas karena tekanan udara yang rendah tidak menahan panas sebaik udara di dataran rendah yang akibatnya, suhu tubuh bisa turun meski lingkungan terasa tidak terlalu dingin.

Selain itu, pada ketinggian tertentu, metabolisme tubuh bisa melambat karena kadar oksigen yang menurun. Ini memperburuk kemampuan tubuh dalam memproduksi panas. Kombinasi faktor tersebut bisa membuat pendaki mengalami gejala hipotermia walau secara kasatmata tidak terlihat sedang berada dalam cuaca ekstrem. Inilah kenapa pemahaman soal adaptasi di ketinggian sangat penting saat mendaki.

5. Kebiasaan meremehkan tanda-tanda dini menyebabkan hipotermia tidak terdeteksi

ilustrasi capek naik gunung (pexels.com/Kamaji Ogino)

Banyak pendaki masih menganggap menggigil atau merasa lemas sebagai hal biasa selama mendaki. Padahal, dua gejala itu bisa menjadi peringatan awal dari hipotermia ringan. Kebiasaan untuk terus melanjutkan perjalanan tanpa berhenti dan mengevaluasi kondisi tubuh justru membuat risiko semakin besar. Semakin lama gejala dibiarkan, semakin sulit tubuh kembali ke suhu normal.

Masalah ini diperburuk dengan minimnya edukasi tentang bahaya hipotermia yang tidak selalu muncul dalam suhu rendah. Pendaki yang belum punya pengalaman cenderung tidak mengenali tanda-tanda kritis ini dan menunda penanganan. Akibatnya, kondisi bisa memburuk dalam hitungan jam. Pencegahan hanya bisa dilakukan jika pendaki benar-benar paham kapan tubuh sedang dalam bahaya.

Hipotermia bukan sekadar ancaman di suhu ekstrem, tapi bisa terjadi dalam kondisi yang tampak biasa saja selama kamu mendaki gunung. Suhu yang tidak terlalu dingin pun bisa memicu penurunan suhu tubuh ketika digabungkan dengan pakaian basah, angin, kelelahan, dan tekanan di ketinggian. Menjaga suhu tubuh bukan soal perlengkapan semata, tapi juga soal kesadaran terhadap respons tubuh sendiri. Jangan tunggu tubuh memberi sinyal keras baru kamu bertindak.

Referensi

"Weather Conditions: Hypothermia." Mountaineering Scotland. Diakses pada Juli 2025.
"Hypothermia: Prevention, Symptoms and Treatment." The Hiking Life. Diakses pada Juli 2025.
"Hypothermia: Symptoms and Causes." Mayo Clinic. Diakses pada Juli 2025.
"Hypothermia." USDA Forest Service. Diakses pada Juli 2025.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team