ilustrasi memegang smartphone cek media sosial (pexels.com/Ketut Subiyanto)
Di Indonesia, Milenial dan Gen Z makin sadar akan dampak negatif dari penggunaan media sosial yang berlebihan, seperti kelelahan digital dan kecemasan.
Mereka merangkul gerakan detoks digital, mencoba menemukan keseimbangan yang lebih sehat dengan teknologi melalui inisiatif seperti “Unplugged Sundays” atau menghadiri retret untuk memutuskan hubungan dari perangkat.
Pergeseran ini bertujuan untuk mengembalikan kendali atas waktu dan kesehatan mental mereka.
Mengelola kecemasan di tengah tantangan cancel culture
Generasi Milenial dan Gen Z mengelola kecemasan terkait ancaman daring dengan cerdas. Sebanyak 56 persen menghindari topik konflik, 51 persen memperketat pengaturan privasi, dan 51 persen lainnya menggunakan fitur blokir atau nonaktifkan terhadap pengguna yang mengancam.
Ini menunjukkan bahwa mereka proaktif dalam menjaga lingkungan digital yang aman dan terkontrol, sambil tetap waspada terhadap risiko interaksi daring.
Tantangan untuk memutus hubungan dengan paparan konten digital
Generasi Milenial dan Gen Z menghadapi tantangan besar dalam memutus hubungan dari dunia digital.
Sebanyak 63 persen Milenial dan 70 persen Gen Z berjuang untuk melepaskan diri dari keterhubungan ini, sementara hanya 37 persen Milenial dan 30 persen Gen Z yang berusaha mengurangi waktu layar mereka.
Siklus doomscrolling, di mana mereka terus terpapar berita negatif, meningkatkan kecemasan dan menciptakan rasa kewalahan. Paparan ini dapat menyebabkan stres berkepanjangan, sehingga perlu upaya untuk menemukan keseimbangan dan mengelola kesehatan mental.
Dampak negatif ilusi kesempurnaan dari media sosial pada Milenial dan Gen Z
Media sosial menciptakan ilusi kesempurnaan yang berdampak negatif pada Milenial dan Gen Z.
Sebanyak 55 persen Milenial dan 65 persen Gen Z mengaku bahwa standar ideal yang diproyeksikan di media sosial merusak harga diri mereka. Meskipun memahami bahwa gambar tersebut terkurasi, tetapi mereka tetap merasa tertekan untuk menyesuaikan diri dan sering kali terjebak dalam siklus mengejar kesempurnaan yang tidak realistis; ini dialami oleh 45 persen Milenial dan 35 persen Gen Z.
Melawan budaya membanding-bandingkan diri di media sosial dan menemukan self-worth
Budaya membandingkan diri di media sosial berdampak besar pada Milenial dan Gen Z. Sebanyak 70 persen Gen Z dan 58 persen Milenial secara rutin membandingkan hidup mereka dengan orang lain secara daring, yang memperburuk kecemasan dan depresi.
Meski menyadari bahaya membanding-bandingkan diri di media sosial ini, banyak yang kesulitan melepaskan diri dari siklus tersebut, dengan 42 persen Milenial dan 30 persen Gen Z merasa sulit menghindarinya.. Hal ini memicu rasa ketidakmampuan yang dapat memperburuk masalah kesehatan mental.
Memahami risiko mencari validasi eksternal
Milenial dan Gen Z sama-sama bergantung pada validasi media sosial, dengan 52 persen Milenial dan 68 persen Gen Z mengandalkan like, komentar, dan share untuk meningkatkan harga diri mereka.
Meskipun 48 persen Milenial dan 32 persen Gen Z menyadari perlunya melepaskan diri dari ketergantungan ini, tetapi banyak yang masih berjuang karena sifat media sosial yang dapat menyebabkan kecanduan. Ini menggambarkan dampak signifikan media sosial terhadap harga diri kedua generasi dan tantangan untuk membangun hubungan yang sehat dengan umpan balik daring.
Dampak doomscrolling pada Milenial dan Gen Z
Doomscrolling, atau konsumsi berita negatif secara terus-menerus, telah memperburuk masalah kesehatan mental bagi Milenial dan Gen Z.
Sekitar 60 persen Milenial dan 72 persen Gen Z merasa terbebani oleh berita negatif dan krisis global, sementara 40 persen Milenial dan 28 persen Gen Z sulit untuk melepaskan diri dari kebiasaan ini.
Dalam era informasi yang selalu tersedia, mereka sering kali kewalahan oleh paparan berita buruk mengenai perubahan iklim, kerusuhan politik, dan krisis kesehatan, yang makin meningkatkan kecemasan dan rasa putus asa.
Paparan terus-menerus terhadap konten negatif ini berkontribusi pada siklus kecemasan yang sulit diputus, terutama bagi mereka yang memiliki empati tinggi.
Dampak konflik global terhadap kesehatan mental
Konflik Palestina yang berkepanjangan memberikan dampak signifikan terhadap kesehatan mental Milenial dan Gen Z di Indonesia.
Sekitar 55 persen Milenial melaporkan stres akibat implikasi lokal dari krisis ini, dengan 45 persen merasakan tekanan untuk ikut serta dalam kampanye boikot.
Pada Gen Z, sebanyak 68 persen merasa terbebani secara mental oleh isu ini, dan 32 persen merasa dorongan kuat untuk bertindak, yang dapat menimbulkan ketegangan dalam komunitas.
Paparan terus-menerus terhadap berita dan gambar yang menyedihkan mendorong mereka untuk terlibat, tetapi juga menambah beban emosional, membuatnya sulit untuk mengatasi tekanan tersebut.
Stres akibat menyesuaikan diri dengan ekspektasi masyarakat
Generasi Milenial dan Gen Z menghadapi stres akibat tekanan untuk memenuhi ekspektasi masyarakat terkait aktivisme sosial.
Sebanyak 58 persen Milenial merasa terbebani oleh tuntutan ini, yang sering kali menyebabkan konflik sosial, sedangkan 65 persen Gen Z merasakan tekanan lebih besar, merasa dihakimi jika tidak sejalan dengan pandangan dominan.
Kedua generasi berjuang untuk menyeimbangkan keyakinan pribadi dengan tuntutan sosial, dengan 42 persen Milenial dan 35 persen Gen Z mengalami konflik internal.
Beban emosional dari dinamika sosial ini dapat sangat membebani, sering kali mengorbankan kedamaian pribadi demi memperjuangkan keyakinan mereka.
Merangkul keberagaman dan memahami perbedaan kemanusiaan
Krisis global, seperti konflik Palestina, telah memperdalam perbedaan pandangan kemanusiaan dan religius di antara Milenial dan Gen Z.
Di Indonesia, 50 persen Milenial merasakan bahwa isu-isu global ini telah meningkatkan perbedaan dalam komunitas mereka, dengan 50 persen lainnya mengalami ketegangan dalam lingkaran sosial dan keluarga akibat interpretasi yang berbeda.
Sementara itu, 60 persen Gen Z mencatat adanya bentrokan pandangan mengenai isu global, dan 40 persen merasa kesulitan untuk mengatasi perbedaan yang kompleks ini.
Divergensi ini menunjukkan tantangan yang muncul ketika kepedulian global berinteraksi dengan keyakinan pribadi dan komunitas, sering kali menyebabkan ketegangan dan konflik.