Beban Ekonomi akibat Hipertensi Mencapai Rp23 Juta Per Orang

Pentingnya kolaborasi untuk deteksi dini hipertensi

Beban ekonomi akibat komplikasi hipertensi di Indonesia masih tinggi. Tercatat, beban biaya penyakit hipertensi mencapai USD 1.497 (sekitar Rp23 juta) per orang setiap tahunnya, berdasarkan penelitian dalam jurnal Archives of Medical Science terhadap 15 negara berkembang, termasuk Indonesia.

Oleh karena itu, kolaborasi antara pemerintah, komunitas, dan organisasi menjadi penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap gaya hidup sehat, deteksi dini, dan pengendalian tekanan darah guna mengurangi beban ekonomi yang ditimbulkan.

Hipertensi yang tidak dikendalikan dengan baik dapat mengakibatkan kerusakan organ seperti otak, jantung, dan ginjal yang menyebabkan kecacatan, kualitas hidup buruk, bahkan kematian.

Topik ini menjadi pembahasan dalam konferensi pers 18th Scientific Meeting Indonesian of Hypertension (InaSH) 2024 dengan tema “Beban ekonomi akibat komplikasi hipertensi masih memprihatinkan, apa upaya dan target yang harus kita capai?”, di Jakarta pada Jumat (23/2/2024).

Baca Juga: Studi: Pilates Turunkan Tekanan Darah Pasien Hipertensi

Hipertensi menjadi masalah kesehatan global

Beban Ekonomi akibat Hipertensi Mencapai Rp23 Juta Per OrangKetua panitia 18th Scientific Meeting Indonesian of Hypertension (InaSH) 2024, dr. BRM Ario Soeryo Kuncoro, Sp.JP(K) (IDN Times/Misrohatun)

Hipertensi masih menjadi salah satu masalah kesehatan utama di dunia. Berdasarkan data dari BPJS, klaim terbesar pada tahun 2023 masih dipegang oleh penyakit jantung. Total biayanya mencapai Rp17,63 triliun. Angka ini mengalami peningkatan dari tahun 2022 yang mencapai Rp 12,1 triliun.

Berdasarkan laporan BPJS tahun 2023, dari 23 juta peserta JKN yang telah menjalani skrining riwayat kesehatan, sekitar 8 persen di antaranya berisiko menderita hipertensi.

"Hipertensi yang tidak tertangani akan menimbulkan kerusakan di organ lain termasuk otak dan ginjal. Bisa dibayangkan biaya kesehatan yang akan sangat membengkak apabila sampai terjadi gangguan di tiga organ sekaligus," ujar ketua panitia InaSH ke-18, dr. BRM Ario Soeryo Kuncoro, SpJP(K).

Menurutnya, penyakit jantung, ginjal dan otak, termasuk dalam delapan penyakit katastropik dengan klaim BPJS terbesar di Indonesia. Dengan demikian, pencegahan adalah salah satu langkah tepat agar pasien tetap sehat, produktif, dan tidak memberikan beban kepada keluarga, masyarakat, dan negara.

Perlunya penegakan diagnosis

Beban Ekonomi akibat Hipertensi Mencapai Rp23 Juta Per Orangilustrasi seseorang mengalami hipertensi (pexels.com/ Pavel Danilyuk)

Ketua Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia, dr. Erwinanto, SpJP(K), FIHA, mengimbau agar masyarakat melakukan pencegahan penyakit hipertensi. Perlu ada penegakan diagnosis hipertensi.

Kerap kali tekanan darah yang diukur di rumah berbeda dengan apa yang diukur di klinik. Bisa saja karena gugup dan menyebabkan ketegangan darah tinggi.

Pengukuran tekanan darah di luar klinik bisa menggunakan ambulatory blood pressure monitoring (ABPM) atau home blood pressure monitoring (HBPM).

“Diagnosis hipertensi ditegakkan jika tekanan darah yang diukur di klinik mencapai 140/90 mmHg atau lebih. Tapi ada potensi berbeda jika diukur di rumah di mana tekanan darahnya tidak mencapai 140/90 mmHg,” dr. Erwinanto menjelaskan.

Diagnosis hipertensi termasuk akurat jika pengukuran tekanan darah di klinik maupun di luar klinik sama-sama menunjukkan tekanan darah yang meningkat dan disebut sebagai true hypertension.

Individu yang mempunyai tekanan darah meningkat ketika diukur di klinik namun mempunyai tekanan darah normal ketika diukur di luar klinik disebut memiliki "hipertensi jas putih" (white coat hypertension).

True hypertension perlu terapi obat antihipertensi, sedangkan individu dengan white coat hypertension, yang jumlahnya dapat mencapai 30 persen dari mereka yang terdeteksi hipertensi di klinik, tidak perlu terapi obat.

Belum ada bukti bahwa terapi obat yang diberikan pada orang dengan white coat hypertension dapat mencegah penyakit akibat hipertensi seperti penyakit kardiovaskular, stroke, atau penyakit ginjal.

"Walau tidak terlalu akurat, pengukuran tekanan darah di klinik masih menjadi cara satu-satunya untuk penapisan (skrining) dan diagnosis hipertensi di Indonesia. Karena keterbatasan sarana, pengukuran tekanan darah di luar klinik belum banyak dilakukan di Indonesia. Oleh karena itu, sebagian penyandang hipertensi yang diberikan terapi obat di Indonesia sebenarnya tidak memerlukan terapi tersebut,” dr. Erwinanto menjelaskan.

Butuh strategi nasional

Beban Ekonomi akibat Hipertensi Mencapai Rp23 Juta Per Orangilustrasi hipertensi (pixabay.com/stevepb)

Menurut dr. Erwinanto, saat ini diperlukan strategi nasional untuk meningkatkan akurasi diagnosis hipertensi di Indonesia sehingga tata laksana hipertensi dapat dilakukan dengan lebih akurat.

Terdapat dua pendekatan yang dapat dipilih untuk meningkatkan akurasi diagnosis, di antaranya:

1. Diagnosis hipertensi dengan menggunakan dua metode pemeriksaan tekanan darah, yaitu pemeriksaan di klinik dan di luar klinik secara bersamaan.

Pendekatan ini menjadi yang paling akurat, tetapi memerlukan penyebaran sarana alat pengukur tekanan darah yang merata.

Namun, ini belum dapat dipilih menjadi strategi nasional, tetapi bisa dilakukan secara terbatas di perkotaan bagi mereka yang memiliki alat pengukur tekanan darah di rumah.

2. Pemeriksaan tekanan darah di klinik di mana pemeriksaan dilakukan dengan protokol yang baku seperti yang dianjurkan oleh pedoman tata laksana hipertensi.

Akan tetapi, pemeriksaan tekanan darah di klinik terkesan belum mengikuti protokol yang baku.

Untuk memenuhinya, diperlukan usaha ekstra yang dapat menjadi tantangan jika dilakukan di klinik yang sibuk atau mempunyai tenaga kesehatan yang terbatas.

Baca Juga: Benarkah Hipertensi Menyebabkan Sakit Kepala?

Topik:

  • Nurulia R F

Berita Terkini Lainnya