6 Penyebab Cedera saat Lari, Salah Satunya karena Ukuran Sepatu

- Lari merupakan olahraga populer yang praktis dan murah, tetapi bisa menyebabkan cedera tanpa teknik dan persiapan yang tepat.
- Pelari perlu memperhatikan form lari, kekuatan otot, pilihan sepatu, serta latihan sesuai tujuan utama untuk mencegah cedera.
- Bentuk kaki juga menjadi perhatian, khususnya bagi mereka yang memiliki telapak kaki datar. Pelari dengan kondisi ini membutuhkan stability shoes.
Lari merupakan salah satu olahraga paling populer karena praktis, murah, dan bisa dilakukan di mana saja. Namun, di balik manfaatnya, lari juga bisa menimbulkan cedera jika tidak dilakukan dengan teknik yang tepat atau tanpa persiapan yang memadai.
Cedera saat lari bisa menyerang siapa saja. Topik ini dibahas lebih lanjut oleh dr. Yohannes Toban Layuk Allo, Sp.OT(K)Sport dalam acara, "Penyebab Umum Cedera saat Lari dan Fitness", di Jakarta, pada Senin (26/05/2025). Ketahui apa saja faktor-faktor yang bisa menyebabkan pelari mengalami cedera.
1. Kurang tidur
Jika kamu tidak tidur yang cukup pada malam hari, lalu pada pagi harinya kamu lari, ini akan menurunkan tingkat konsentrasi.
"Start-nya sudah tidak bagus. Istirahatnya kurang, bisa membuat konsentrasinya rendah kalau masih ngantuk. Jadi istirahat sangat penting," kata dr. Yohannes.
Orang dewasa disarankan tidur malam 7–9 jam jika ingin lari pada pagi harinya. Selain dapat mengoptimalkan tingkat konsentrasi, kamu juga akan berenergi dan meningkatkan metabolisme serta pembakaran lemak.
2. Memforsir diri

Dokter Yohannes berpesan kepada orang-orang yang melakukan olahraga, baik yang baru memulai sampai yang sudah berpengalaman, untuk mengenali diri sendiri.
"Know your body, kenali diri sendiri. Kita harus tahu badan kita sebatas apa kemampuannya, tahu bahwa ada gerakan-gerakan yang kalau dipaksakan akan menyebabkan cedera," imbuh dr. Yohannes.
3. Rutinitas dan konsistensi
Lari maraton di Indonesia populer dan ramai, dengan berbagai kompetisi yang diselenggarakan. Pesertanya pun beragam, dari usia muda hingga yang lebih tua. Pada pelari usia muda, ini dapat membawa risiko tersendiri.
Peserta lari usia muda, apalagi yang baru memulai aktivitas fisik ini, berpotensi mengalami cedera. Sementara pada pelari yang usianya lebih tua, mereka bisa saja sudah rutin lari sejak lama.
Disarankan untuk membangun rutinitas dan konsistensi untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
4. Cedera otot

Cedera otot bisa disebabkan karena form lari yang tidak tepat. Pelari diwajibkan untuk beristirahat, tidak memaksakan diri saat kondisinya tidak lagi memungkinkan untuk berolahraga.
"Setelah nyerinya berkurang, ototnya sudah tidak tegang lagi, silahkan kembali berolahraga. Tetapi, mulailah dengan perlahan, jadi pelan-pelan sambil ototnya dikuatkan. Professional runner mungkin sudah tahu, tapi kalau yang amatir mungkin kurang memperhatikan," dr. Yohannes menjelaskan.
Adapun salah satu faktor yang berkontribusi terhadap performa lari adalah otot yang kuat. Oleh sebab itu, atlet lari sebenarnya tidak sekadar lari, tetapi juga angkat beban untuk memperkuat otot. Dengan begitu, form lari akan menjadi bagus dan tidak mudah lelah. Kamu bisa selang-seling melakukan latihan stamina, lari, dan disisipkan penguatan otot agar memiliki form yang bagus.
5. Ukuran sepatu
Bentuk kaki juga menjadi perhatian, khususnya bagi mereka yang memiliki telapak kaki datar. Pelari dengan kondisi ini membutuhkan stability shoes.
"Ada model khususnya, stability shoes karena terdapat support-nya. Beberapa brand punya sepatu khusus tersebut. Solusi lain, misalnya tidak suka modelnya, bikin insole yang dikustomisasi. Jadi kakinya di-scan dulu, seberapa datar kakinya, lalu sol tinggal dimasukkan ke sepatu apa pun yang menjadi selera," imbuh dr. Yohannes.
Bagi pelari yang bentuk kakinya tidak bermasalah, ada beberapa fitur yang harus dipilih untuk mendukung performa lari, seperti insole yang empuk dan ringan.
Untuk ukuran, dr. Yohannes merekomendasikan untuk menaikkan setengah atau satu ukuran dari angka normal, terutama untuk lari jarak jauh.
"Karena semakin lama kita lari, kaki akan membengkak, ukurannya bertambah. Kalau (ukuran) pas, tidak ada tempat untuk dia berakomodasi. Jadi tertekan di ujungnya, malah sakit. Lakukan upsize minimal setengah."
6. Tidak memperhatikan detak jantung

Bagi sebagian orang, terutama pemula, langsung memulai olahraga dengan berlari bisa jadi keputusan yang kurang tepat. Ada anggapan bahwa tubuh tertentu—terutama yang belum terbiasa aktif bergerak atau memiliki berat badan berlebih—sebaiknya tidak langsung dipaksa untuk lari.
Disarankan untuk memulainya dengan jalan kaki terlebih dahulu, setidaknya selama beberapa minggu. Setelah tubuh mulai beradaptasi, barulah bisa ditingkatkan ke sesi lari ringan dengan kecepatan (pace) yang pelan.
Jenis latihan sebaiknya disesuaikan dengan tujuan utama. Bila targetnya adalah menurunkan berat badan atau membakar lemak, maka lari kencang belum tentu efektif. Justru pembakaran lemak paling optimal terjadi saat detak jantung berada di zona 2—yakni sekitar 60–70 persen dari detak jantung maksimal. Pada zona ini, jalan cepat saja sudah cukup untuk membakar lemak secara efisien tanpa perlu berlari.
Apabila tujuannya adalah melatih kapasitas jantung atau meningkatkan daya tahan, maka latihan di zona 3 lebih tepat. Meskipun begitu, latihan pada zona ini harus dilakukan dengan hati-hati, karena jika tidak diawasi justru bisa membebani jantung, bukan melatihnya. Inilah sebabnya mengapa pemantauan detak jantung saat berolahraga sangat penting, apalagi bagi pemula.
Penting juga untuk tidak langsung berhenti ketika detak jantung sedang tinggi. Saat berolahraga, tubuh perlu diberikan waktu untuk slow down atau menurunkan intensitas secara bertahap. Hal ini bisa dilakukan dengan menurunkan kecepatan lari menjadi jalan kaki perlahan hingga detak jantung kembali ke zona aman.
Cedera saat lari bisa dicegah dengan pemanasan yang tepat, memilih sepatu yang sesuai, serta mengenali batas kemampuan tubuh. Dengarkan sinyal dari tubuh dan jangan memaksakan diri.