Stresslaxing: Niatnya Mau Rileks Malah Makin Stres!

- Kecemasan akibat relaksasi atau "stresslaxing" adalah kondisi saat kamu mengalami peningkatan kecemasan saat berusaha untuk rileks.
- Gejala kecemasan akibat relaksasi meliputi meningkatnya kecemasan, ketegangan otot, pikiran negatif yang mengganggu, dan gejala fisiologis.
- Ada beberapa alasan otak sulit untuk rileks, seperti rendahnya neurotransmiter dopamin, aktivitas emosional yang tinggi, dan sistem saraf simpatik terjebak dalam kondisi overdrive.
Setelah lelah beraktivitas seharian, akhirnya kamu bisa bersantai di penghujung hari. Kamu menyisihkan waktu untuk duduk dan bermeditasi. Kamu berharap napas menjadi makin dalam, dan otot-otot relaks.
Namun, apa yang justru kamu rasakan? Tiba-tiba tubuhmu menegang, gelombang kepanikan melanda, dan perasaan rileks hilang. Kamu tidak bisa melanjutkan meditasi karena pikiranmu melalang buana entah kemana.
Jika kamu pernah atau sering mengalami hal ini, kamu mungkin mengalami kecemasan akibat relaksasi atau relaxation-induced anxiety (RIA) alias "stresslaxing". Ini adalah kondisi ketika kamu mengalami peningkatan kecemasan saat berusaha untuk rileks.
1. Apa itu stresslaxing?
Penting bagi kamu untuk menyadari saat sedang stres dan memerlukan relaksasi. Namun, ketika sedang berusaha melakukan relaksasi justru menambah stres yang ada, ini disebut kecemasan akibat relaksasi atau stresslaxing.
Kondisi ini adalah sebuah efek kontraproduktif yang dapat menyebabkan lingkaran setan peningkatan kecemasan dan kekhawatiran.
Faktanya, kecemasan akibat relaksasi adalah hal yang cukup umum. Sebuah penelitian mengenai kecemasan akibat relaksasi pernah dilakukan pada tahun 1983 dan dimuat dalam Journal of Consulting and Clinical Psychology. Kecemasan akibat relaksasi terjadi pada sekitar 15–35 persen orang yang mengalami kecemasan kronis.
Ini bisa terjadi karena saat kamu memaksakan diri untuk rileks, kamu akan menjadi lebih cemas. Kamu mungkin juga menjadi lebih khawatir tentang seberapa baik atau efisien kamu bisa bersantai.
2. Apakah otak menolak relaksasi yang dipaksakan?

Biasanya, otak menolak relaksasi yang dipaksakan, khususnya amigdala. Amigdala sendiri adalah bagian otak yang memproses ketakutan dan kecemasan.
Otak manusia selalu aktif dan sebenarnya dirancang untuk merasa khawatir. Disukai atau tidak, perasaan cemas berguna untuk membuat kamu tetap hidup karena kamu selalu waspada terhadap potensi bahaya yang ada.
Orang yang hidup dengan rasa cemas, khawatir, dan banyak merenung mengalami kesulitan dalam mengontrol kognitif, yang berarti mereka sulit untuk menahan pikiran tertentu.
3. Gejala stresslaxing
Kecemasan yang dipicu oleh relaksasi biasanya bermanifestasi sebagai lonjakan tajam kecemasan, ketegangan otot, atau pikiran-pikiran dalam otak mencoba untuk rileks. Gejala kecemasan akibat relaksasi, meliputi:
- Meningkatnya kecemasan: Meskipun sudah menggunakan teknik relaksasi, tetapi perasaan cemas justru meningkat.
- Ketegangan otot: Alih-alih mengendurkan otot, otot malah menjadi lebih tegang, sehingga bertentangan dengan upaya kamu untuk melakukan relaksasi.
- Pikiran negatif yang mengganggu: Misalnya, kamu sedang berusaha bersantai, tetapi tiba-tiba sebuah pemikiran muncul di kepala dan tubuh merespons dengan gejala fisik kecemasan.
- Gejala fisiologis: Detak jantung meningkat, berkeringat, atau perasaan panik yang terjadi selama upaya relaksasi.
4. Alasan seseorang sulit rileks

Nyatanya, beberapa orang memang kesulitan untuk bersantai. Sejumlah masalah umum di dalam otak mungkin menjadi penyebab pikiran terus berputar-putar di kepala.
Berikut beberapa alasannya:
- Otak menginginkan aliran dopamin: Beberapa orang dengan tingkat neurotransmiter dopamin yang rendah cenderung mencari kesenangan dan konflik. Bagi mereka, bersantai sama halnya dengan kebosanan. Fenomena ini umumnya terlihat pada orang dengan ADD/ADHD.
- Otak emosional terlalu aktif: Pada beberapa orang, pusat emosi dan pusat rasa takut di otak terlalu aktif. Ini lebih banyak dialami orang dengan depresi dan kecemasan. Akibatnya, kamu sulit mengalihkan perhatian dari pikiran cemas dan perasaan putus asa.
- Sistem saraf simpatik terjebak dalam kondisi overdrive: Sistem saraf simpatik adalah respons melawan-atau-lari yang membuat kamu merasa cemas dan takut. Sistem saraf parasimpatis adalah respons relaksasi yang mengimbangi sistem saraf simpatik dan membantu menenangkan diri setelah kejadian yang membuat jantung berdebar-debar. Ketika sistem saraf sehat, mereka bekerja sama untuk membantu kamu mengelola stres. Namun, stres kronis atau trauma yang berkepanjangan dapat mengganggu mekanisme relaksasi tubuh.
- Otak terlalu sering diisi dengan berita-berita menyedihkan: Membanjiri otak dengan berita dan pikiran-pikiran yang buruk dapat membuatmu merasa cemas dan takut secara kronis. Sulit untuk bersantai ketika kamu terus-menerus gelisah dan otak menebak-nebak kejadian berikutnya yang akan terjadi.
5. Konsekuensi jangka panjang jika kamu tidak bisa bersantai
Stres kronis telah dikaitkan dengan berbagai masalah jangka panjang. Salah satunya adalah tekanan darah tinggi, yang dapat menyebabkan serangan jantung, stroke, kelelahan, GERD, sakit kepala, sakit punggung, sulit berkonsentrasi, dan mudah tersinggung.
Jika kamu tidak bisa bersantai, depresi dan kecemasan bisa meningkat, begitu pula kesulitan sosial, relasional, dan interpersonal. Seiring waktu, ini dapat mempersulit respons relaksasi.
Jadi, jika kamu tidak bisa rileks setelah melakukan meditasi atau latihan relaksasi lainnya, bisa jadi kamu mengalami kecemasan akibat relaksasi atau stresslaxing. Kalau ini terus-menerus terjadi dan mengganggu pikiranmu, ada baiknya kamu berkonsultasi dengan psikolog untuk mengetahui sumber masalahnya dan mendapatkan solusi yang tepat.
Referensi
Amen Clinics. Diakses pada Juli 2024. 5 Reasons Your Brain (and You) Can’t Relax.
Healthline. Diakses pada Juli 2024. ‘Stresslaxing’: Why Trying to Relax Can Stress You Out.
Heide, Frederick J., dan T. D. Borkovec. “Relaxation-induced anxiety: Paradoxical anxiety enhancement due to relaxation training.” Journal of Consulting and Clinical Psychology 51, no. 2 (1 Januari 1983): 171–82.
Insight Timer. Diakses pada Juli 2024. Understanding Relaxation-Induced Anxiety: When Relaxation Makes You Anxious.