Kemenkes: Saatnya Masyarakat Batasi Konsumsi Gula!

Indonesia menjadi penyandang diabetes terbanyak ke-5 dunia

Tiap 12 dan 14 November, Indonesia turut memperingati Hari Kesehatan Nasional dan Hari Diabetes Sedunia. Pada tahun 2022, Hari Diabetes Sedunia menganut tema "Education to Protect Tomorrow" atau "Edukasi untuk Melindungi Masa Depan".

Dijalankan sejak 2013, Nutrifood menggandeng Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk mendorong batasan konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL) dan lebih cermat dengan label kemasan dalam kampanye #BatasiGGL. Mari simak fakta selengkapnya!

Indonesia, negara dengan pasien diabetes terbanyak di dunia ke-5

Kemenkes: Saatnya Masyarakat Batasi Konsumsi Gula!ilustrasi cek gula darah untuk diabetes (pexels.com/PhotoMIX Company)

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kemenkes RI, Dr. Eva Susanti, S.Kp., M.Kes, memaparkan bahwa menurut data International Diabetes Foundation pada 2021, sebanyak 537 juta penduduk dunia mengalami diabetes. Angka ini diprediksi meningkat jadi 783 juta pada 2045.

Dari angka tersebut, Eva menekankan bahwa Indonesia berkontribusi 19,5 juta pasien. Indonesia berada di posisi ke-5, tepat di bawah China, India, Pakistan, dan Amerika Serikat (AS), sekaligus negara ASEAN dengan pasien diabetes terbanyak. Jika tak segera ditangani, pada 2045 angka tersebut bisa meningkat jadi 28,6 juta.

"Jangan sampai banyak masyarakat kita yang terkena diabetes," imbuh Eva di acara Media Workshop "Batasi Konsumsi Gula untuk Cegah Diabetes" di Hotel Akmani pada Kamis (17/11).

Konsumsi GGL di Indonesia jadi masalah

Eva menjelaskan bahwa tingginya konsumsi gula jadi faktor utama. Menurut Peraturan Kemenkes (Permenkes) No. 28/2019, rekomendasi asupan gula dibatasi kurang dari 52,5 gram (4 sendok makan) per hari. Namun, konsumsi gula Indonesia tertinggi ke-3 di Asia Tenggara.

Faktanya, rata-rata 5,5 persen penduduk Indonesia mengonsumsi gula lebih dari 50 gram per hari. Dari segi usia, bahayanya tren ini ditemukan lebih banyak pada usia lebih dari 55 tahun (13,7 persen). Selain itu, laki-laki mengonsumsi gula jauh lebih banyak (15,9 persen), dibanding perempuan (7,1 persen).

Konsumsi gula tinggi lebih padat di teh kemasan (13,26 persen), susu kental manis (5,2 persen), dan jus buah serbuk (4,82 persen). Menakutkannya, sebanyak 61,27 persen rakyat Indonesia mengonsumsi minuman manis lebih dari sekali setiap hari!

"Masyarakat kita ini seolah-olah sudah doyan minuman manis. Ini yang harus kita waspadai," ujar Eva.

Kemenkes: Saatnya Masyarakat Batasi Konsumsi Gula!ilustrasi fast food (unsplash.com/Peter Dawn)

Berdasarkan provinsi, prevalensi konsumsi GGL di Indonesia paling tinggi berada di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan Maluku adalah yang paling rendah.

"Di bawah DIY, ada Kalimantan, Jawa Tengah, Bangka Belitung," imbuh Eva.

Menurut rata-rata nasional, Permenkes No. 30/2013 mencatat bahwa konsumsi gula harus kurang dari 50 gram per hari, garam kurang dari 2.000 mg per hari (1 sendok teh), dan lemak kurang dari 67 gram per hari (5 sendok makan). Masalahnya, sekitar 28,7 persen masyarakat melewati batas konsumsi GGL tersebut. Seperti apa?

  • Sebanyak 5,5 persen populasi Indonesia mengonsumsi gula lebih dari 50 gram per hari.
  • Sebanyak 53,5 persen populasi Indonesia mengonsumsi garam lebih dari 2.000 mg per hari.
  • Sebanyak  24 persen populasi Indonesia mengonsumsi lemak lebih dari 67 gram per hari.

"Ini adalah alarm, sudah lampu merah, tidak boleh diteruskan. Bisa menuai lebih banyak penyakit tidak menularnya," kata Eva.

Faktor yang meningkatkan diabetes dan PTM lainnya

Saat konsumsi gula berlebih, maka terjadi penumpukan energi. Bila tidak diikuti pengeluaran energi yang baik, Eva memperingatkan bahwa inilah yang memicu obesitas hingga diabetes. Selain penyakit menular, Eva menyayangkan bahwa selama 10 tahun terakhir, Indonesia masih dikepung oleh penyakit tidak menular (PTM).

"Dalam 10 tahun terakhir, prevalensi penyakit tidak menular itu makin banyak sebagai penyebab kematian dan disabilitas," ucap Eva.

Eva memperingatkan bahwa ini bisa memengaruhi usia produktif. Sementara Indonesia menghadapi bonus demografi dengan usia produktif yang membludak, jika tidak diedukasi tentang GGL, maka populasi ini bisa terkena PTM sehingga tidak bisa berkontribusi untuk negara.

Indonesia menghadapi penyakit tidak menular yang meningkat selama 10 tahun terakhir, menyebabkan kematian dan kecacatan. Bonus demografi harusnya disambut, usia produktif lebih banyak, sehingga banyak hal lebih baik untuk negara. Seandainya tidak sehat, justru menjadi bencana.

"Kalau masyarakatnya sehat dan produktif, bonus demografi ini seharusnya menghasilkan hal baik untuk negara ... Akan tetapi, kalau misalnya tidak sehat, tentu akan menjadi bencana," kata Eva.

Kemenkes: Saatnya Masyarakat Batasi Konsumsi Gula!ilustrasi diabetes (pexels.com/Nataliya Vaitkevich)

Apa saja faktor risikonya? Eva mencatat ada enam faktor risiko yang menyebabkan PTM, termasuk diabetes, yaitu:

  • Pola makan tidak sehat (nutrisi mikro dan makro tak seimbang, kurang makan buah dan sayur, konsumsi GGL berlebih).
  • Kurang aktivitas fisik (sedenter atau beraktivitas fisik kurang dari 30 menit sehari atau 150 menit per minggu).
  • Obesitas.
  • Merokok.
  • Tekanan darah tinggi (asupan garam tinggi).
  • Gula darah tinggi (akibat asupan gula tinggi).

Di Indonesia, PTM masih menjadi masalah kesehatan utama. Dari jumlah biaya, Eva mengatakan bahwa Indonesia menggelontorkan hampir Rp53 triliun digunakan untuk PTM. Selain itu, banyak penderita PTM berusia muda, hingga anak-anak bisa terkena diabetes.

"[PTM] penyebab kematian utama, biaya layanan kesehatan tinggi karena lama pengobatannya," kata Eva.

Baca Juga: 14 November: Memperingati Hari Diabetes Sedunia

Mengapa PTM meningkat di Indonesia?

Menjelaskan mengenai tren kenaikan PTM di Indonesia, Eva mengatakan bahwa kemajuan teknologi memicu permasalahan PTM. Sebagai contoh, ia mengatakan bahwa tren memesan makanan secara daring, terutama fast food dan junk food, adalah biang kerok.

"Semua serba cepat ... Fast food dan junk food yang mungkin tidak baik, tetapi mudah didapat sehingga memicu masalah asupan [gizi]," kata Eva.

Lalu, kesibukan sehari-hari membuat warga Indonesia kurang waktu berolahraga dan stres terus-menerus. Selain itu, Eva mengkritik pola makan warga Indonesia yang tidak sehat dan cenderung berlebihan. Mengambil contoh rakyat Jepang yang proporsional, warga Indonesia terlalu berlebihan dalam soal asupan.

"Memang [harganya] murah ... Namun, kita jadi kurang menghargai. Jadi malas, dan kurang mau mengolah. Ini masih harus diupayakan agar pola makan tak sehat dan berlebihan ini bisa dikurangi," papar Eva.

Eva juga mengungkit budaya Indonesia yang tak mau memeriksa bila tak ada keluhan. Masalahnya, jika sudah sampai sakit, ia memperingatkan PTM sudah ada di tahap lanjut. Sebanyak 70 persen pengidap kanker datang saat stadium lanjut.

"Mau periksa gula darah, tinggi badan, atau berat badan? Semua gratis di Posyandu. Kita wajib melakukan pemeriksaan minimal sekali dalam 6 bulan secara teratur," imbuh Eva.

Di sisi lain, Eva mengatakan bahwa sulit mengubah kesadaran masyarakat untuk menyadari faktor risiko PTM tersebut. Oleh karena itu, perlu dukungan lintas sektor dalam mencegah faktor risiko.

Transformasi layanan kesehatan jangka panjang

Eva memperingatkan bahwa PTM umumnya memerlukan biaya besar. Oleh karena itu, perlu pencegahan. Dari segi pemerintah, ia mengatakan bahwa sedang ada transformasi sistem kesehatan dengan deadline hingga 2024. Transformasi sistem kesehatan ini memiliki enam pilar sebagai fondasi:

  • Layanan primer:
    • Edukasi
    • Pencegahan primer
    • Pencegahan sekunder
    • Meningkatkan kapasitas dan kualitas layanan primer
  • Layanan rujukan:
    • Meningkatkan akses ke layanan sekunder dan tersier
  • Sistem ketahanan kesehatan:
    • Meningkatkan ketahanan sektor farmasi dan kesehatan
    • Memperkuat ketahanan tanggap darurat
  • Sistem pembiayaan kesehatan.
  • Sumber daya manusia (SDM) kesehatan.
  • Teknologi kesehatan.

Eva mengutip pencapaian terbaru Kemenkes RI pada 9 November, yaitu membuka rumah sakit center of excellence baru di Surabaya pada November 2022. RS UPT Vertikal Katastropik pertama di Indonesia ini akan menangani 3 permasalah PTM utama, yaitu kanker, penyakit jantung, dan stroke.

"Kita bangun rumah sakit, tetapi jangan sampai masyarakat kita yang ikut sakit," kelakar Eva.

Apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat?

Kemenkes: Saatnya Masyarakat Batasi Konsumsi Gula!kampanye CERDIK Kemenkes RI untuk cegah PTM (p2ptm.kemkes.go.id)

Sementara pemerintah melakukan transformasi layanan kesehatan untuk mendukung kehidupan masyarakat, apa yang bisa dilakukan rakyat Indonesia? Kemenkes RI telah memaparkan langkah-langkah untuk mencegah PTM dengan CERDIK. Apa itu?

  • Cek kesehatan secara rutin (rekomendasi sekali dalam 6 bulan).
  • Enyahkan asap rokok.
  • Rajin beraktivitas fisik (150 menit per minggu atau 30 menit per hari).
  • Diet seimbang (mengikuti program Isi Piringku).
  • Istirahat cukup.
  • Kelola stres.
Kemenkes: Saatnya Masyarakat Batasi Konsumsi Gula!kampanye PATUH untuk pasien PTM, termasuk hipertensi (p2ptm.kemkes.go.id)

Selain itu, untuk para pasien PTM, termasuk diabetes, Kemenkes RI juga menjabarkan langkah-langkah utama dalam kampanye PATUH, yang terdiri dari:

  • Periksa kesehatan rutin dan ikuti anjuran dokter.
  • Atasi penyakit dengan pengobatan yang tepat dan teratur.
  • Tetap diet dengan gizi seimbang.
  • Upayakan aktivitas fisik dengan aman.
  • Hindari asap rokok, alkohol, dan zat karsinogenik lainnya.

"Diabetes bisa dicegah dengan mengubah pola perilaku dan gaya hidup ... dan dibutuhkan peran multisektor untuk mewujudkan masyarakat yang lebih sehat. Demi Indonesia yang lebih maju," tandas Eva.

Baca Juga: 6 Pilar Transformasi Kesehatan oleh Pemerintah RI

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya