Studi: Suntik Booster Cegah COVID-19 Parah hingga 92 Persen

Risiko mengalami infeksi parah dan dirawat inap makin rendah

Sejak muncul pada akhir 2019 lalu, angka kasus COVID-19 di dunia naik turun. Dengan munculnya varian-varian baru, terutama B.1.617.2 atau Delta, kenaikan kasus COVID-19 terjadi di mana-mana. Selain itu, pemerintah di berbagai negara juga khawatir efektivitas vaksin COVID-19 menurun seiring waktu.

Oleh karena itu, pemerintah ikut merekomendasikan suntikan vaksin COVID-19 dosis ketiga atau booster. Bukan tanpa alasan yang kuat, ternyata penelitian terbaru mengungkapkan manfaat dari suntikan booster untuk menekan risiko COVID-19. Simak ulasan selengkapnya berikut ini!

1. Studi melibatkan data hampir 730.000 orang di Israel

Studi: Suntik Booster Cegah COVID-19 Parah hingga 92 Persenilustrasi vaksin Pfizer-BioNTech (Dok. Reuters/Edgar Su)

Dimuat dalam jurnal The Lancet pada 29 Oktober 2021 lalu, sebuah penelitian gabungan antara Harvard, Amerika Serikat (AS), dan Clalit Research Institute, Israel, ingin mencari tahu keampuhan dosis ketiga vaksin Pfizer-BioNTech (BNT162b2) dalam mencegah COVID-19 parah.

Para peneliti memantau data 728.321 partisipan yang telah menerima vaksin Pfizer-BioNTech dosis ketiga antara Juli 2020 hingga September 2021. Para partisipan ini dibandingkan dengan partisipan penerima dua dosis vaksin Pfizer-BioNTech dengan jumlah yang sama.

Studi bertajuk "Effectiveness of a third dose of the BNT162b2 mRNA COVID-19 vaccine for preventing severe outcomes in Israel" yang telah menjalani ulasan sejawat (peer review) ini dianggap sebagai studi terhadap suntikan booster terbesar saat ini.

"Dalam penelitian ini, kami memprakirakan efektivitas mulai dari hari ke-7 setelah dosis ketiga, serupa dengan periode yang mendefinisikan vaksinasi komplet setelah dosis kedua. Pilihan ini didukung oleh konsentrasi antibodi tinggi pada individu, 7 hari setelah pemberian dosis ketiga," tulis penelitian tersebut.

2. Hasil: suntikan booster turunkan risiko COVID-19 parah hingga kematian

Studi: Suntik Booster Cegah COVID-19 Parah hingga 92 Persenilustrasi jarum suntik (pexels.com/Anna Tarazveich)

Dibandingkan dengan mereka yang menerima suntikan dosis kedua 5 bulan sebelumnya, para peneliti menemukan bahwa partisipan yang menerima suntikan booster COVID-19 memiliki risiko 93 persen lebih rendah untuk dirawat inap akibat COVID-19.

Selanjutnya, para peneliti memantau bahwa kelompok dosis ketiga memiliki risiko terkena COVID-19 parah 92 persen lebih rendah. Tidak hanya itu, para peneliti juga menemukan bahwa risiko kematian akibat COVID-19 pada kelompok ini 81 persen jauh lebih rendah.

Menurut para peneliti AS dan Israel, efektivitas dosis ketiga terhadap risiko rawat inap dan komplikasi parah tidak terbatas pada gender atau usia. Baik laki-laki dan perempuan maupun berusia 40 sampai di atas 69 tahun, efektivitas dosis ketiga tetap sama.

3. Kekurangan studi tersebut

Studi: Suntik Booster Cegah COVID-19 Parah hingga 92 Persenilustrasi vaksin COVID-19 (theconversation.com)

Akan tetapi, ada beberapa kekurangan dalam penelitian tersebut. Pertama, para peneliti tidak ikut memprakirakan risiko sekunder seperti infeksi (baik bergejala atau tidak bergejala). Selain itu, studi ini bersifat observasi, sehingga analisis tidak dapat menjelaskan setiap faktor yang memengaruhi hasil akhir.

Kedua adalah rentang usia. Para peneliti mencatat bahwa karena kelangkaan kejadian pada individu di bawah 40 tahun, maka penelitian ini tidak bisa mengevaluasi efektivitas vaksin di kelompok usia tersebut. Studi ini juga tidak menelusuri potensi kejadian klinis yang merugikan dan eksploitasi layanan kesehatan terkait vaksinasi dosis ketiga.

Terakhir, studi ini mengecualikan orang-orang yang telah mendapatkan dosis booster lebih awal. Orang-orang ini termasuk petugas kesehatan dan penghuni fasilitas perawatan jangka panjang.

Baca Juga: Studi: Antibodi Vaksin Sinovac Menurun Setelah 6 Bulan, Butuh Booster

4. Mereka yang memang harus menerima booster

Studi: Suntik Booster Cegah COVID-19 Parah hingga 92 Persenilustrasi penyuntikan vaksin (ANTARA FOTO/Soeren Stache/Pool via REUTERS)

Sejauh ini, berbagai lembaga kesehatan telah mengeluarkan edaran rekomendasi booster untuk beberapa kelompok. Menurut Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit AS (CDC), beberapa kelompok orang yang butuh booster adalah:

  • Usia 65 tahun ke atas
  • Usia 18 tahun ke atas dengan komorbiditas
  • Usia 18 tahun ke atas yang bekerja di lingkungan yang berisiko tinggi terkena COVID-19
  • Usia 18 tahun ke atas yang menerima vaksin dosis tunggal Johnson & Johnson (J&J) (2 bulan setelahnya)

Selain itu, CDC juga menyatakan bahwa orang-orang bisa memilih merek suntikan booster-nya. Suntikan booster direkomendasikan 6 bulan setelah vaksin dosis kedua. Per 28 Oktober 2021, CDC mencatat 15 juta rakyat AS telah menerima booster.

Menurut sebuah survei dari Kaiser Family Foundation, sekitar 43 persen orang dewasa yang sudah divaksinasi komplet yakin mau menerima booster, sementara 24 persen masih mempertimbangkan. Setelah survei rampung pada Oktober 2021 lalu, 10 persen partisipan survei sudah menerima booster.

5. Kelompok orang-orang ini justru dianjurkan dapat booster

Studi: Suntik Booster Cegah COVID-19 Parah hingga 92 Persenilustrasi vaksin (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A)

Dilansir Medical News Today, ada beberapa kondisi yang terkesan dilarang mendapatkan vaksin, tetapi sebenarnya justru dianjurkan mendapatkan vaksin booster. Oleh karena itu, panduan CDC seharusnya berlaku untuk orang-orang berusia minimal 18 tahun dengan komorbiditas seperti:

  • Asma
  • Diabetes
  • Kondisi jantung
  • Penyakit paru-paru kronis
  • Obesitas
  • Gangguan penggunaan zat

Selain itu, untuk orang-orang yang memiliki gangguan sistem imun, suntikan booster juga amat disarankan. Hal ini dikarenakan anggapan bahwa suntikan dua dosis pertama tidak bekerja cukup efektif layaknya pada kelompok dengan sistem imun normal.

6. Kekhawatiran pada yang tidak mau divaksinasi

Studi: Suntik Booster Cegah COVID-19 Parah hingga 92 Persenilustrasi vaksin (aa.com.tr)

Mengesampingkan topik booster, kekhawatiran justru melingkupi orang-orang yang belum atau menolak vaksin COVID-19. Akibatnya, virus corona SARS-CoV-2 akan terus bermutasi dan menyebabkan infeksi setelah divaksinasi (breakthrough infection) pada populasi umum, sehingga pandemi tak kunjung reda.

Selain keengganan dan keraguan akan vaksinasi, ketimpangan distribusi vaksin secara global—terutama untuk negara-negara berkembang dan berpenghasilan rendah—adalah hal yang perlu ditangani. Kunci utamanya adalah vaksin COVID-19 harus bisa diakses dengan mudah layaknya vaksin cacar dan polio.

Oleh karena itu, fokus utama saat ini seharusnya bukan booster, melainkan memperluas cakupan distribusi vaksin. Dengan begitu, mata rantai penularan bisa dipatahkan dan mengurangi potensi munculnya varian baru. Barulah, dunia bisa meneliti lebih banyak bukti mengenai apakah vaksin booster akan dibutuhkan atau tidak.

Baca Juga: Pemerintah Siapkan Vaksin Booster buat Umum Dimulai Awal 2022

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya