TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Transfusi Plasma Darah, Efektifkah untuk Terapi Pasien COVID-19?

Beberapa pasien dilaporkan mengalami perburukan kondisi

whyy.org

Para ahli dan tenaga kesehatan masih berjuang di garda depan dan melakukan berbagai penelitian demi menemukan berbagai penanganan dan terapi tepat dalam menghadapi pandemik COVID-19. Sayangnya, belum ada cara perawatan yang 100 persen ampuh untuk menangkal maupun menyembuhkan infeksi yang diakibatkan oleh virus corona strain baru, SARS-CoV-2, tersebut.

Salah satu terapi yang punya potensi dalam merawat pasien COVID-19 adalah dengan transfusi plasma darah. Berdasarkan keterangan dari American Red Cross, transfusi plasma darah memiliki tujuan untuk menyalurkan protein dan substansi lain yang sekiranya krusial bagi kesehatan seseorang. Umumnya, praktik ini digunakan kepada pasien gagal hati, mengalami luka bakar serius, atau infeksi parah.

Dalam uji coba transfusi plasma darah kepada pasien COVID-19, terapi tersebut ditemukan kurang efektif. Melansir STAT News, terapi itu tidak memberi efek positif kepada pasien COVID-19, malah disebutkan bahwa kondisi pasien bisa memburuk hingga meninggal dunia. Berikut ini informasi tentang penelitian tersebut.

1. Angka kegagalan terapi ini mencapai 20 persen

wirralglobe.co.uk

Dalam penelitian berjudul “Convalescent plasma in the management of moderate covid-19 in adults in India: open label phase II multicentre randomised controlled trial (PLACID Trial)” yang dilakukan di India, dilakukan uji coba transfusi plasma darah sebanyak 200 ml kepada pasien COVID-19. Hasilnya, sebanyak 20 persen pasien mengalami perburukan kondisi.

Partisipan penelitian tersebut adalah 464 pasien dewasa yang telah terkonfirmasi positif COVID-19, yang 85 orang di antaranya kondisinya dilaporkan memburuk. Dalam kesimpulan penelitian, disebutkan bahwa transfusi plasma darah tidak efektif dalam mengurangi perkembangan infeksi COVID-19.

Baca Juga: 7 Gejala Sistem Imun yang Melemah Saat Pandemik, Cegah Sebelum Sakit

2. Ada studi lain yang menunjukkan hasil sebaliknya

statnews.com

Studi sebelumnya terkait terapi dengan plasma darah yang dijalankan oleh Mayo Clinic mendapati bahwa terapi tersebut tidak sepenuhnya buruk karena ada efek positifnya. Namun, uji coba tersebut tidak menggunakan control arm, sehingga hasilnya diragukan.

Sedikit penjelasan, control arm (atau control group) merupakan subjek penelitian yang tidak menerima pengobatan baru yang sedang diteliti, untuk memberikan perbandingan untuk melihat bagaimana kerja atau efektivitas terapi, dibandingkan dengan tidak adanya pengobatan atau penggunaan penanganan konvensional. Anggota control arm  mungkin menerima plasebo.

Terapi dengan transfusi plasma ini sempat disetujui oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) untuk perawatan COVID-19. Namun, dengan adanya temuan penelitian di India tersebut, bukan tak mungkin terapi tersebut akan ditarik.

3. Transfusi plasma darah dikatakan tidak begitu diperlukan, mengingat sebagian besar pasien sudah mengembangkan antibodi

whyy.org

Pada penelitian di India seperti yang dijelaskan di poin pertama, disebutkan bahwa lebih dari 80 partisipan telah mengembangkan antibodinya sendiri.

Hal tersebut mengindikasikan bahwa pasien sudah terkena COVID-19 satu minggu atau lebih sebelum menerima perawatan di rumah sakit. Fakta ini menguatkan teori bahwa terapi transfusi plasma darah tidak memberikan efek, mengingat pasien bisa sembuh dengan sendirinya dan transfusi semestinya dilakukan jauh sebelum itu.

4. Ketimbang transfusi plasma darah, para peneliti mencoba mengembangkan solusi lain

businessinsider.com

Beberapa peneliti memang meragukan terapi transfusi plasma darah, mengingat adanya efek samping yang cukup signifikan. Oleh karena itu, banyak yang mencoba praktik terapi lainnya, seperti antibodi monoclonal yang dikembangkan Regeneron dan Eli Lilly.

Kekhawatiran itu didasari oleh susahnya melakukan uji coba kesehatan yang lain. Hasil transfusi plasma yang membuat gejala makin parah bisa membuat banyak orang takut untuk menjadi partisipan studi selanjutnya, sehingga berpotensi menghambat pencarian solusi pengobatan COVID-19.

Baca Juga: Cara Jitu Berhenti Merokok saat Pandemik COVID-19, Demi Tubuh Sehat!

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya