TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Battered Woman Syndrome: Penyebab, Gejala, dan Penanganan

Bisa terjadi akibat kekerasan rumah tangga jangka panjang

ilustrasi intimidasi (pexels.com/Karolina Grabowska)

Battered woman syndrome atau sindrom perempuan babak belur adalah kondisi psikologis yang dapat terjadi akibat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Situasi yang penuh kekerasan cenderung membuat perempuan merasa tidak aman, tidak berdaya, dan tidak bahagia, tetapi berbagai alasan membuat mereka tak mampu melawan.

Mengacu data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, tercatat sebanyak 431.471 kasus kekerasan yang menimpa perempuan di Indonesia sepanjang tahun 2019. Memprihatinkannya lagi, kasus kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan antara tahun 2017 sampai 2019.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mencatat, laporan kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.

Berdasarkan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), sepanjang 2019-2021, terjadi peningkatan pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan maupun anak.

Angka laporan kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat dari 8.864 kasus pada 2019, 8.686 kasus pada 2020, menjadi 10.247 kasus pada 2021. Jumlah korban kekerasan terhadap perempuan juga meningkat dari 8.947 orang pada 2019, 8.763 orang pada 2020, dan menjadi 10.368 kasus pada 2021.

Dirangkum dari berbagai sumber, berikut ini ulasan lengkap mengenai battered woman syndrome (BWS) yang penting untuk diketahui.

1. Sejarah singkat battered woman syndrome

foto Dr. Lenore E. Walker (drlenoreewalker.com)

Dilansir Medical News Today, gagasan BWS dikembangkan oleh ahli psikoterapi asal Amerika Serikat (AS), Dr. Lenore E. Walker, pada akhir tahun 1970-an.

Bahasan yang menjadi fokus kala itu adalah pola unik dari perilaku dan emosi yang dapat berkembang ketika seseorang mengalami pelecehan serta cara untuk bertahan dari situasi tersebut.

Lenore mencatat bahwa pola perilaku yang dihasilkan dari kekerasan sering kali memiliki kemiripan dengan gangguan stres pascatrauma (PTSD). Dengan kata lain, BWS merupakan subtipe dari PTSD.

Baca Juga: Dampak dan Kondisi Korban Kekerasan Seksual Menurut Psikolog

2. Jenis kekerasan yang bisa terjadi

ilustrasi battered woman syndrome (pexels.com/Alex Green)

Kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi dalam berbagai bentuk, seperti pelecehan yang melibatkan fisik, emosional, dan finansial. Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC), jenis kekerasan terhadap perempuan meliputi:

  • Pelecehan seksual, seperti pemerkosaan, kontak seksual yang tidak diinginkan, dan pelecehan seksual dalam bentuk verbal.
  • Penganiayaan fisik, seperti menampar, mendorong, atau melukai tubuh dengan senjata.
  • Menguntit, yaitu melibatkan orang lain untuk melakukan taktik mengancam agar korban merasa takut dan khawatir.
  • Agresi psikologis, seperti penghinaan atau berperilaku dengan tujuan untuk mengontrol seseorang.

3. Gejala

ilustrasi battered woman syndrome (pexels.com/RODNAE Productions)

Menurut National Coalition Against Domestic Violence, seseorang yang mengalami kekerasaan cenderung menunjukkan gejala berupa:

  • Tertekan, cemas, dan tidak berdaya.
  • Merasa terisolasi.
  • Takut atau malu terhadap stigmatisasi masyarakat.
  • Terlalu mencintai dan menaruh harapan bahwa orang yang melakukan kekerasan akan berubah.
  • Melakukan penyangkalan dan meminta maaf.
  • Tidak menggubris bantuan yang ditawarkan.
  • Memegang alasan moral atau agama untuk tetap mempertahankan hubungan.

Sementara itu, perilaku yang mungkin ditunjukkan oleh korban kekerasan dapat meliputi:

  • Menolak untuk meninggalkan hubungan toksik.
  • Percaya bahwa orang lain itu kuat atau tahu akan segalanya.
  • Percaya bahwa dirinya pantas mendapatkan kekerasan.
  • Ketika kondisi sudah stabil, korban cenderung mengidealkan pelaku kekerasan.

4. Tahapan battered woman syndrome

ilustrasi battered women syndrome akibat kekerasan pada perempuan (pexels.com/Karolina Grabowska)

Ketika perempuan terjebak dalam siklus kekerasan dalam rumah tangga, akan sulit baginya untuk mendapatkan kendali atas hidup mereka sepenuhnya.

Dilansir Healthline, tahapan potensial dari siklus BWS adalah: 

  • Denial: Terjadi ketika seseorang tidak dapat menerima kenyataan bahwa dirinya sedang dianiaya oleh pasangan.
  • Guilt: Ketika seseorang percaya bahwa dirinya adalah penyebab kekerasan terjadi.
  • Enlightenment: Fase ketika seseorang mulai menyadari bahwa dirinya tidak pantas menerima kekerasan dan mengakui jika pasangannya memiliki kepribadian yang kasar.
  • Responsibility: Memahami jika pelaku (pasangan) bertanggung jawab atas kejadian kekerasan. Dalam kebanyakan kasus, fase ini menjadi penentu seseorang untuk memutuskan suatu hubungan apakah tetap bertahan atau meninggalkannya.

Baca Juga: Apa Itu Marital Rape dan Efeknya bagi Kondisi Psikologis Korban?

Verified Writer

Indriyani

Full-time learner, part-time writer and reader. (Insta @ani412_)

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya