TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Efikasi Vaksin Sinovac 65,3 Persen, Guru Besar UGM Beri Penjelasan

Kenapa tingkat efikasi di Indonesia beda dengan Turki?

(Foto: ABC News/Steve Wang)

Senin (11/1/2021), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) resmi mengeluarkan izin penggunaan darurat atau emergency use authorization (EUA) vaksin COVID-19 CoronaVac buatan Sinovac. Izin penggunaan dikeluarkan setelah efikasinya diketahui, yakni sebesar 65,3 persen.

Dengan efikasi 65,3 persen, vaksin Sinovac dinyatakan aman. Walau dilaporkan ada efek samping, tetapi ringan dan bersifat reversible. Menurut Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt., Guru Besar Fakultas Farmasi UGM, kekhawatiran tentang kejadian antibody-dependent enhancement (ADE) tidak terjadi pada uji klinis Sinovac di Indonesia, Turki, maupun Brasil.

Namun, efikasi vaksin Sinovac di Indonesia lebih rendah dari Turki yang mencatatkan angka 91,25 persen. Dengan vaksin yang sama, mengapa hasilnya bisa berbeda? Lewat keterangan tertulis, Prof. Zullies menjabarkan cara menghitung efikasi atau kemanjuran vaksin.

1. Dari mana angka 65,3 persen didapat?

caixinglobal.com

Menurut Prof. Zullies, vaksin dengan efikasi atau kemanjuran 65,3 persen dalam uji klinis berarti terjadi penurunan 65,3 persen kasus pada kelompok yang divaksinasi dibandingkan dengan kelompok yang tidak divaksinasi (atau plasebo). Angka ini diperoleh dari uji klinis yang kondisinya terkontrol.

Sebagai contoh, pada uji klinis Sinovac di Bandung, Jawa Barat, yang melibatkan 1.600 relawan, dibagi menjadi 800 subjek yang mendapatkan vaksin dan 800 subjek yang menerima plasebo (vaksin kosong).

Jika dari kelompok yang divaksin ada 26 orang yang terinfeksi (3,25 persen), sementara dari kelompok plasebo ada 75 orang yang terjangkit COVID-19 (9,4 persen). Maka, efikasi dari vaksin tersebut adalah = (0.094 – 0.0325)/0.094 x 100% = 65.3%.

Prof. Zullies mengatakan, yang menentukan adalah perbandingan antara kelompok yang divaksin dengan yang tidak.

2. Efikasi dipengaruhi karakteristik subjek ujinya

Ilustrasi Vaksin (IDN Times/Arief Rahmat)

Ternyata, efikasi dipengaruhi dari karakteristik subjek ujinya. Apabila subjek ujinya adalah kelompok berisiko tinggi, maka kemungkinan kelompok plasebo lebih banyak yang terpapar, sehingga perhitungan efikasinya meningkat.

"Misalnya, pada kelompok vaksin, ada 26 (orang) yang terinfeksi, sedangkan kelompok plasebo bertambah menjadi 120 (orang) yang terinfeksi, maka efikasinya meningkat menjadi 78,3 persen," tutur Prof. Zullies.

Uji klinis di Brasil menggunakan kelompok berisiko tinggi, yaitu tenaga kesehatan, sehingga efikasinya lebih tinggi. Sementara, di Indonesia memakai populasi masyarakat umum yang risikonya lebih kecil.

Baca Juga: 5 Fakta Sinovac, Salah Satu Vaksin COVID-19 Pilihan Indonesia

3. Angka efikasi bukan harga mati dan dipengaruhi oleh banyak faktor

(Foto: Andressa Anholete/Getty Images)

Bagaimana jika subjek ujinya diganti dengan kelompok yang berisiko rendah, taat dengan protokol kesehatan, dan jarang keluar rumah? Hasilnya, perbandingan kejadian infeksi antara kelompok plasebo dengan kelompok vaksin menjadi lebih rendah dan menghasilkan angka efikasi yang rendah pula.

Misalnya, pada kelompok vaksin ada 26 orang yang terinfeksi (3,25 persen), sementara di kelompok plasebo hanya 40 orang (5 persen). Maka, hitungannya berubah menjadi (5-3,25)/5 x 100% = 35%.

Prof. Zullies menegaskan bahwa angka efikasi bukan harga mati dan bisa dipengaruhi oleh banyak faktor ketika uji klinis dilakukan. Selain itu, jumlah subjek uji dan lama pengamatan juga bisa memengaruhi hasil. Tentu angka efikasi vaksin berubah jika pengamatan diperpanjang menjadi 1 tahun.

4. Efikasi 65,3 persen berdampak mencegah jutaan kejadian infeksi

asia.nikkei.com

Menurut Prof. Zullies, penurunan kejadian infeksi sebesar 65 persen secara populasi tentu akan sangat bermakna dan berdampak. Misalnya, dari 100 juta penduduk Indonesia, jika tanpa vaksinasi ada 8,6 juta orang yang bisa terinfeksi.

Jika turun 65 persen dengan vaksinasi, maka hanya 3 juta penduduk yang terinfeksi, selisih 5,6 juta kejadian infeksi yang bisa dicegah. Bila dijabarkan = (0.086 – 0.03)/0.086 x 100% = 65%.

"Mencegah 5 jutaan kejadian infeksi tentu sangat bermakna dalam penyediaan fasilitas perawatan kesehatan. Secara tidak langsung bisa mencegah penularan lebih jauh bagi orang-orang yang tidak mendapatkan vaksin, yaitu jika mencapai kekebalan komunal atau herd immunity," ujar Prof. Zullies.

Berapa jumlah populasi yang harus diimunisasi untuk bisa mencapai herd immunity? Jika menggunakan Sinovac yang efikasinya 65,3 persen, maka 77 persen populasi harus diimunisasi.

Baca Juga: Daftar Komorbid yang Layak dan Belum Layak Divaksin COVID-19

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya