TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

4 Hal yang Dikaitkan dengan Masalah Kulit di Era Pandemik

Contohnya, pemakaian masker yang bikin pengap

ilustrasi jerawat (thesun.co.uk)

Sudah hampir dua tahun kita hidup berdampingan dengan virus corona SARS‑CoV‑2 penyebab COVID-19. Selama itulah, kita harus beradaptasi dengan berbagai kebiasaan baru, seperti menggunakan masker dan mencuci tangan lebih sering.

Memang kebiasaan tersebut bisa melindungi kita dari penularan COVID-19, tetapi di sisi lain juga bisa menciptakan masalah baru, khususnya yang berkaitan dengan kulit. Contohnya adalah timbul jerawat (maskne) dan dermatitis seboroik akibat pemakaian masker atau kulit kering karena mencuci tangan terlalu sering.

Berangkat dari keresahan tersebut, RS Pondok Indah Group mengadakan virtual small group media discussion bertema "Jaga Kulit Tetap Sehat selama Pandemi" pada Kamis (26/8/2021). Narasumber yang dihadirkan adalah dr. Susie Rendra, SpKK, FINSDV, dokter spesialis kulit dan kelamin di Skin & Aesthetic Clinic RS Pondok Indah - Puri Indah. Here we go!

Masalah kulit di era pandemik dikaitkan dengan hal-hal ini:

ilustrasi memakai masker (unsplash.com/Pille R. Priske)

Berdasarkan studi berjudul "Understanding the Structure and Function of the Skin" yang dipublikasikan di Nursing Times tahun 2003, dijelaskan bahwa kulit merupakan organ tubuh terbesar dengan luas 1,5-2 m² (pada orang dewasa), dengan berat sekitar 15 persen dari total berat badan.

Namun, kulit tidak selamanya mulus. Terkadang, muncul masalah kulit yang mengganggu penampilan dan aktivitas sehari-hari. Menurut dr. Susie, masalah kulit saat pandemik dikaitkan dengan kebiasaan baru, stres yang meningkat, perburukan penyakit kulit yang sudah ada sebelumnya, dan penyakit kulit pada pasien COVID-19. Mari kita bedah satu-persatu!

1. Akibat pola kebiasaan baru

ilustrasi memakai hand sanitizer (keckmedicine.org)

Dokter lulusan Universitas Indonesia ini mengatakan bahwa pola kebiasaan baru akibat pandemik COVID-19 berdampak pada kulit. Mulai dari memakai masker, peningkatan frekuensi mencuci tangan, penggunaan antiseptik berlebihan, kebiasaan berjemur, hingga konsumsi vitamin yang meningkat daripada sebelumnya.

Salah satunya adalah maskne yang merupakan singkatan dari mask acne. Bentuknya menyerupai jerawat biasa, tetapi lebih terkonsentrasi di area yang tertutup atau tergesek masker.

"Penyebabnya adalah pengap dan keringat di balik masker. Semakin sering kita ngomong, udara pernapasan yang dikeluarkan semakin banyak. Harus mengurangi ngobrol agar uap air tidak semakin banyak," saran dr. Susie.

Masalah kulit lain yang mungkin timbul adalah dermatitis seboroik, yaitu ruam kemerahan bersisik yang terasa gatal. Agar maskne dan dermatitis seboroik tidak terjadi, rutin ganti masker tiap 3-4 jam sekali, sempatkan mencuci wajah sebelum mengganti masker baru (jika memungkinkan), dan bersihkan wajah dengan air bersuhu normal.

Jika kita mencuci tangan atau memakai antiseptik berlebihan, dermatitis kontak mungkin terjadi. Sebagai langkah pencegahan, cucilah tangan dengan sabun lembut. Agar kulit tidak kering setelah memakai hand sanitizer (mengingat adanya kandungan alkohol di dalamnya), selalu pakai pelembap setelahnya.

Kebiasaan berjemur memiliki konsekuensi tersendiri, seperti menyebabkan kulit terbakar (sunburn) dan polymorphous light eruption (PLE).

Gejala sunburn adalah kulit merah, nyeri, dan terasa panas saat disentuh, yang muncul beberapa jam setelah terpapar sinar matahari. Sementara itu, gejala PLE adalah ruam, benjolan kecil berwarna merah dan menonjol ketika diraba, yang terjadi di area yang tidak tertutup pakaian seperti lengan atau leher.

"Untuk menghindarinya, atur jam berjemur. Kalau berjemur lebih pagi, kita punya waktu yang lebih panjang, sekitar 15-30 menit. Tidak harus setiap hari, tiga kali seminggu sudah cukup. Tidak harus membuka baju. Mengekspos area tangan dan tungkai saja," ungkapnya.

Baca Juga: 8 Cara Mengatasi Ruam Kulit, Ampuh dan Bisa Dilakukan di Rumah

2. Diakibatkan oleh peningkatan stres

ilustrasi stres (pexels.com/David Garrison)

Bukan hal yang aneh jika stres meningkat selama pandemik. Ada yang stres karena masalah ekonomi hingga suntuk karena tidak bisa pergi ke mana-mana. Menurut dr. Susie, stres menyebabkan kadar hormon kortisol dalam tubuh meningkat dan memicu munculnya jerawat.

Melansir Dermalogica, stres kronis meningkatkan kadar hormon kortisol dan membuat kelenjar sebaceous memproduksi minyak berlebih. Lalu, minyak bercampur dengan sel kulit mati dan bakteri penyebab jerawat.

Di sisi lain, stres merusak kolagen dan menyebabkan keriput. Selain itu, kortisol menurunkan produksi alami asam hialuronat (hyaluronic acid) yang membuat kulit dehidrasi dan memunculkan garis-garis halus.

3. Perburukan penyakit kulit yang sudah ada sebelumnya

ilustrasi psoriasis (medicine.com)

Selama pandemik, penyakit kulit yang sudah ada sebelumnya mungkin akan memburuk. Contohnya adalah dermatitis atopik (eksem) dan psoriasis. Kulit menjadi lebih sensitif karena stres dan kebiasaan baru yang dilakukan.

"Seperti penyakit psoriasis yang biasanya terkontrol, eh, jadi kambuh selama pandemik," ujar dr. Susie.

Dilansir Medical News Today, juga dikatakan kalau stres membuat gejala psoriasis memburuk, menyebabkan gatal, bersisik, kemerahan, dan memicu flare.

Berdasarkan survei internasional yang dipublikasikan di Journal of the European Academy of Dermatology and Venereology tahun 2021, sekitar 42,7 persen orang dengan psoriasis mengatakan gejalanya memburuk selama pandemik.

Baca Juga: Penyebab Kulit Kering, 7 Hal Ini Ternyata Bisa Pengaruhi Kelembapannya

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya