TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Inkontinensia Tinja: Penyebab, Gejala, Diagnosis, dan Pengobatan

Dapat terjadi saat diare atau dipicu kondisi lainnya

ilustrasi inkontinensia tinja (freepik.com/8photo)

Terkadang, ada kondisi tertentu yang mengharuskan kita untuk menahan buang air besar, misalnya sedang dalam perjalanan. Namun, ada orang-orang yang kesulitan untuk menahannya, sehingga tinja atau feses bisa keluar dengan sendirinya. Nah, kondisi ini merupakan tanda dari inkontinensia tinja atau inkontinensia alvi.

Jika terjadi di tempat umum, tentu saja hal tersebut bisa menjadi kondisi memalukan bagi orang yang mengalaminya. Seperti apa kondisi, gejala, penyebab serta penanganan inkontinensia tinja? Simak ulasan berikut, ya!

1. Apa itu inkontinensia tinja?

ilustrasi sakit perut (freepik.com/Jcomp)

Dilansir Medical News Today, inkontinensia tinja atau fecal incontinence adalah kondisi ketika tubuh tidak mampu untuk mengendalikan buang air besar. Akibatnya, tinja atau feses dapat keluar secara tiba-tiba dari rektum.

Inkontinensia tinja yang dialami setiap penderita mungkin berbeda-beda, mulai dari keluarnya sedikit kotoran ketika kentut, hingga kehilangan kontrol buang air besar. Kondisi ini memang tidak membahayakan jiwa, tetapi dapat menimbulkan rasa malu dan mengganggu kehidupan sehari-hari bagi orang yang mengalaminya.

2. Gejala

ilustrasi nyeri perut (freepik.com/Benzoix)

Inkontinensia tinja dapat terjadi untuk sementara saat seseorang mengalami diare. Namun, pada sebagian orang, kondisi ini bisa terjadi secara berulang. Gejala yang ditimbulkan tergantung dari tipe inkontinensia tinja yang dialami, yaitu:

  • Inkontinensia mendesak atau urge fecal incontinence: seseorang merasakan keinginan untuk buang air besar tetapi tidak bisa mengendalikannya sebelum mencapai kamar mandi.
  • Inkontinensia pasif atau passive fecal incontinence: seseorang tidak menyadari adanya lendir atau kotoran yang keluar dari anus.

Kondisi tersebut juga dapat disertai dengan gejala lainnya, seperti nyeri atau kram perut, perut kembung, konstipasi atau sembelit, diare, anus mengalami iritasi atau terasa gatal, dan inkontinensia urine.

Baca Juga: Kondisi Tinja Berlemak saat Buang Air Besar, Kenali Steatorrhea

3. Penyebab

ilustrasi inkontinensia tinja atau fecal incontinence (besturogyn.com)

Dilansir Mayo Clinic, terdapat sejumlah kondisi yang menyebabkan perubahan pada fungsi tubuh yang mengarah pada inkontinensia tinja, di antaranya:

  • Kerusakan sfingter anus: cedera pada cincin otot yang terletak di ujung rektum (sfingter anus). Kerusakan ini dapat terjadi pada persalinan normal, terutama jika dilakukan episiotomi atau menggunakan forsep saat persalinan.

  • Kerusakan saraf yang mengendalikan sfingter anus: dapat terjadi akibat trauma dari persalinan, mengejan berlebihan saat buang air, cedera tulang belakang, stroke, kondisi medis, seperti diabetes atau multiple sclerosis.

  • Konstipasi kronis: dapat menyebabkan tinja keras terbentuk di rektum dan menjadi terlalu besar untuk dilewati. Otot-otot rektum dan usus meregang dan akhirnya melemah. Konstipasi kronis juga dapat menyebabkan kerusakan saraf yang memicu inkontinensia tinja.

  • Hilangnya kapasitas penyimpanan di rektum: biasanya, rektum membentang untuk menampung tinja. Jika rektum terluka atau kaku karena operasi, pengobatan radiasi atau penyakit radang usus, rektum tidak dapat meregang sebanyak yang diperlukan, dan kelebihan tinja dapat bocor.
  • Diare: feses yang encer saat diare dapat menyebabkan atau memperburuk inkontinensia tinja.

  • Operasi: seperti operasi untuk menangani wasir (hemoroid) maupun operasi lain yang melibatkan rektum dan anus, yang berisiko mengakibatkan kerusakan otot dan saraf.

  • Prolaps rektal: kondisi rektum yang turun hingga ke anus.

  • Rectocele: kondisi rektum yang menonjol hingga area vagina pada perempuan.

4. Faktor risiko

ilustrasi perempuan (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Ada beberapa faktor yang meningkatkan risiko seseorang untuk mengembangkan inkontinensia tinja, termasuk:

  • Usia: walaupun bisa dialami usia berapa pun, tetapi ini lebih sering dialami orang dewasa usia 65 tahun ke atas.
  • Perempuan: inkontinensia tinja bisa menjadi komplikasi persalinan. Ada studi yang menemukan bahwa perempuan yang menjalani terapi penggantian hormon memiliki sedikit peningkatan risiko inkontinensia tinja.
  • Kerusakan saraf: orang-orang yang sudah lama mengalami diabetes, multiple sclerosis, atau trauma punggung dari cedera atau operasi mungkin punya risiko inkontinensia tinja, mengingat kondisi-kondisi tersebut bisa merusak saraf-saraf yang membantu mengontrol buang air besar.
  • Demensia: inkontinensia tinja sering terjadi pada stadium akhir penyakit Alzheimer dan demensia.
  • Disabilitas fisik: kondisi ini bisa membuat seseorang sulit mencapai kamar mandi tepat waktu. Suatu cedera yang menyebabkan disabilitas fisik juga mungkin bisa menyebabkan kerusakan saraf rektal yang menyebabkan inkontinensia tinja.

5. Diagnosis

ilustrasi prosedur barium enema (mydr.com.au)

Dokter akan melakukan riwayat medis menyeluruh dan evaluasi fisik untuk mendiagnosis inkontinensia tinja. Dokter akan bertanya tentang frekuensi inkontinensia dan kapan itu terjadi, serta diet, obat-obatan, dan masalah kesehatan yang dialami.

Beberapa tes ini bisa membantu menegakkan diagnosis:

  • Pemeriksaan digital daerah dubur
  • Kultur tinja
  • Barium enema: yaitu sinar-X fluoroskopi dari usus besar, termasuk usus besar dan rektum, dengan kontras barium
  • Tes darah
  • Elektromiografi: untuk menguji fungsi otot dan saraf terkait
  • USG anorektal
  • Proctography: pencitraan video sinar-X selama buang air besar

Baca Juga: Diare dengan Tinja yang Berminyak? Hati-hati Gejala Giardiasis

Verified Writer

Rifa

.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya