Depresi Anaklitik, Perasaan Tertekan yang Bisa Dialami Bayi

Terjadi ketika bayi dipisahkan dari ibunya dalam waktu lama

Seorang bayi yang terpisah dari objek yang mereka sukai dalam jangka panjang dapat mengalami gangguan, baik secara sosial, emosional, intelektual, bahkan fisik. Bicara soal depresi, tak cuma orang dewasa saja yang rentan. Bayi pun juga berisiko mengalami depresi, salah satunya adalah depresi anaklitik atau anaclitic depression.

Depresi anaklitik biasanya mengacu pada gangguan fisik maupun psikis yang terjadi ketika bayi berpisah dari ibu atau pengasuh utamanya dalam waktu lama. Berikut adalah fakta lengkap terkait depresi anaklitik yang menarik untuk diketahui.

1. Apa itu depresi anaklitik?

Depresi Anaklitik, Perasaan Tertekan yang Bisa Dialami Bayiilustrasi bayi dengan depresi anaklitik (pexels.com/William Fortunato)

Kata "anaclitic" dalam psikoanalisis memiliki arti "bersandar". Literatur ilmiah yang berfokus pada kajian depresi anaklitik mendefinisikannya sebagai objek yang disukai bayi (dalam konteks ini adalah ibu atau pengasuh utama).

Dengan kata lain, depresi anaklitik adalah kondisi saat bayi yang terpisah dalam jangka panjang dari ibu atau pengasuh utama, yang cenderung menunjukkan gangguan fisik, intelektual, sosial, dan emosional.

Meski terdengar mengkhawatirkan, tetapi melalui penelitian tahun 2017 yang bertajuk Anaclitic Depression, menyebut bahwa depresi ini bersifat sementara. Studi tahun 1967 dalam jurnal Psychosomatic Medicine yang berfokus pada penelitian bayi hewan termasuk primata, marmut, dan tikus menunjukkan gejala yang mirip dengan yang ditunjukkan oleh bayi manusia dengan depresi anaklitik.

2. Sejarah singkat depresi anaklitik

Depresi Anaklitik, Perasaan Tertekan yang Bisa Dialami Bayiilustrasi depresi anaklitik (pexels.com/samer daboul)

Dilansir Healthline, bahasan mengenai depresi anaklitik digagas oleh René Spitz pada tahun 1945, melalui artikel yang dipublikasikan dalam jurnal the Psychoanalytic Study of the Child.

Tahun 1946, Spitz mendeskripsikan studinya terhadap 123 bayi berusia sekitar 6 sampai 8 bulan yang dipisahkan dari ibunya selama 3 bulan. Peneliti memperhatikan pola perilaku bayi-bayi tersebut yang disebutnya sebagai striking syndrome.

Pola perilaku yang ditunjukkan oleh para bayi tersebut di antaranya adalah menangis, menjerit, menarik diri, dan tidak responsif. Sementara itu, beberapa bayi juga mengalami penurunan berat badan, tidur tidak nyenyak, dan lebih rentan mengalami flu atau eksem. Secara bertahap, dapat disimpulkan jika perkembangan umum cenderung mengalami penurunan.

Baca Juga: 9 Gejala Depresi yang Mungkin Luput dari Perhatian

3. Gejala

Depresi Anaklitik, Perasaan Tertekan yang Bisa Dialami Bayiilustrasi depresi anaklitik (pexels.com/Cleyder Duque)

Pada dasarnya gejala depresi anaklitik hampir mirip dengan gejala depresi pada umumnya, yakni:

  • Perasaan cemas, sedih, dan menangis.
  • Insomnia.
  • Kehilangan nafsu makan.
  • Penurunan berat badan.
  • Hambatan perkembangan.
  • Ekspresi wajah cenderung datar dan tanpa emosi.
  • Penarikan dan penolakan untuk berinteraksi dengan lingkungan.

4. Penanganan

Depresi Anaklitik, Perasaan Tertekan yang Bisa Dialami Bayiilustrasi menangani bayi dengan depresi anaklitik (pexels.com/Cleyder Duque)

Depresi anaklitik tampaknya akan mereda dan hilang ketika bayi dan ibu atau pengasuh utamanya dipertemukan kembali. Selama penelitian berlangsung, Spitz menemukan fakta menarik, yakni ketika bayi dan ibu bersama kembali, dengan cepat sang bayi menjadi lebih bahagia dan interaktif. Selain perubahan yang mengesankan ini, peneliti juga mengukur lonjakan yang nyata dalam perkembangan bayi.

Spitz juga menjelaskan mengenai progressive syndrome, yaitu ketika momen pertemuan bahagia antara bayi dan ibu setelah titik kritis 3 bulan perkembangan menjadi tidak dapat diubah. Bahkan, tidak menutup kemungkinan hal ini bisa menyebabkan kematian hampir pada sepertiga bayi.

5. Apakah orang dewasa bisa mengalami depresi anaklitik?

Depresi Anaklitik, Perasaan Tertekan yang Bisa Dialami Bayiilustrasi orang dewasa bertengkar (pexels.com/Liza Summer)

Tidak banyak penelitian yang berfokus pada kasus depresi anaklitik pada orang dewasa. Salah satu studi dalam jurnal Psychology and Psychotherapy Theory Research and Practice tahun 2002 menunjukkan, orang-orang dengan keterikatan yang aman lebih kecil kemungkinannya mengembangkan depresi.

Dengan kata lain, depresi anaklitik pada orang dewasa lebih mungkin terjadi ketika seseorang mengembangkan gaya keterikatan yang sibuk atau keterikatan cemas.

Adapun gejala depresi anaklitik pada orang dewasa meliputi:

  • Kecenderungan memiliki keyakinan perfeksionisme.
  • Merasa perlu memenuhi standar tinggi orang lain.
  • Perasaan kesepian sering melanda.
  • Takut ditinggalkan.
  • Ketidakberdayaan.
  • Kelemahan.

Karena dasar dari depresi anaklitik yang terjadi pada orang dewasa tampaknya berasal dari gaya keterikatan, maka untuk mengatasinya adalah dengan mempelajari cara membangun keterikatan yang aman seperti pengaturan diri, empati, dan komunikasi selaras dengan orang lain.

Pada dasarnya hubungan antara bayi dan ibu atau pengasuhnya tidak bisa dipisahkan. Jika sampai terpisahkan, tak menutup kemungkinan depresi anakliktik bisa dialami bayi. Meskipun sifatnya sementara, tetapi dampak yang terjadi cenderung bersifat negatif, seperti terganggunya perkembangan anak secara umum.

Baca Juga: Depresi Geriatri, Masalah Kesehatan Mental yang Sering Dialami Lansia 

Indriyani Photo Verified Writer Indriyani

Full-time learner, part-time writer and reader. (Insta @ani412_)

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Nurulia
  • Bayu Aditya Suryanto

Berita Terkini Lainnya