Bronkodilator: Manfaat, Jenis, Penggunaan, Efek Samping

Biasanya dipakai oleh orang dengan asma atau PPOK

Bronkodilator adalah jenis obat yang membuat pernapasan menjadi lebih mudah. Cara kerja bronkodilator adalah dengan mengendurkan otot-otot di paru-paru dan melebarkan saluran udara (bronkus).

Bronkodilator sering digunakan untuk mengobati kondisi jangka panjang yang mana saluran udara menjadi menyempit dan meradang. Ini dapat meliputi:

  • Asma, yaitu kondisi paru-paru umum yang disebabkan oleh peradangan pada saluran udara.
  • Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), yakni penyakit paru-paru yang menyumbat saluran udara.

1. Bentuk dan jenis

Dilansir Cleveland Clinic, ada dua bentuk bronkodilator, yaitu:

  • Bronkodilator kerja pendek (short-acting): Bronkodilator kerja pendek meredakan atau menghentikan gejala asma yang tiba-tiba (akut) dengan cepat . Penggunaannya efektif selama 3 hingga 6 jam. Bronkodilator kerja pendek juga disebut sebagai inhaler penyelamat. Inhaler adalah tabung obat dalam wadah plastik dengan corong. Ketika inhaler disemprotkan, itu memberikan dosis obat yang konsisten.
  • Bronkodilator kerja panjang (long-acting): Bronkodilator kerja panjang menjaga saluran udara tetap terbuka selama 12 jam. Inhaler ini digunakan setiap hari untuk mencegah serangan asma.

Selain itu, ada tiga jenis bronkodilator. Ini meliputi beta 2-agonist, antikolinergik, dan theophylline.

Beta 2-agonist

Beta 2-agonist tersedia dalam bentuk kerja pendek dan kerja panjang.

Short-acting beta 2-agonist (SABA) dengan cepat membuka saluran udara untuk menghentikan gejala asma. Orang terkadang menyebut SABA sebagai obat "pereda" atau "penyelamat" karena ini adalah obat terbaik untuk mengobati gejala asma yang tiba-tiba, parah, atau baru.

SABA bekerja dalam 15 hingga 20 menit dan bertahan selama 4 hingga 6 jam. Ini boleh digunakan dalam waktu 15 hingga 20 menit sebelum olahraga untuk mencegah gejala asma yang timbul akibat aktivitas fisik.

Dalam bentuk inhalasi, obat SABA meliputi:

  • Albuterol.
  • Levalbuterol.
  • Kombinasi albuterol dan ipratropium bromide.

Sementara itu, long-acting beta-2 agonist (LABA) bisa digunakan dua kali sehari untuk kontrol jangka panjang dan pemeliharaan saluran udara. LABA juga harus digunakan dengan kortikosteroid inhalasi untuk mengobati asma. Kortikosteroid membantu mengurangi pembengkakan di saluran udara dan paru-paru. LABA juga efektif dalam mengobati asma akibat olahraga.

LABA tersedia sebagai inhaler bubuk kering (dry powder inhaler/DPI). Obat-obatan ini meliputi:

  • Salmeterol.
  • Formoterol.
  • Obat kombinasi, termasuk fluticasone dan salmeterol, budesonide dan formoterol, serta fluticasone dan vilanterol.

Antikolinergik

Antikolinergik tersedia sebagai ipratropium bromide dan tiotropium bromide. Mereka memblokir efek asetilkolin. Asetilkolin adalah neurotransmiter yang dibuat tubuh.

Ipratropium bromida tersedia dalam bentuk nhaler dan larutan nebulizer. Ini bisa digunakan hingga empat kali dalam sehari.

Tiotropium bromide tersedia dalam bentuk inhaler. Tergantung jenis yang diresepkan oleh dokter, kamu bisa menggunakannya sekali sehari atau 4 kali sehari.

Antikolinergik bukanlah obat pereda cepat, tetapi efektif dalam mengendalikan gejala asma yang sulit.

Theophylline

Theophylline tersedia dalam bentuk pil yang diminum dengan air. Kamu meminumnya satu kali setiap hari untuk membantu mengendalikan gejala asma yang parah. Namun, theophylline tidak lagi menjadi metode pengobatan yang disukai.

Saat mengonsumsi theophylline, kamu harus melakukan tes darah untuk memastikan kamu menerima jumlah obat yang tepat.

Baca Juga: Ternyata Ada 12 Jenis Asma, Apakah Kamu Sudah Tahu?

2. Penggunaan

Bronkodilator: Manfaat, Jenis, Penggunaan, Efek Sampingilustrasi bronkodilator nebulizer (pexels.com/Gustavo Fring)

Menurut StatPearls Publishing, orang biasanya menggunakan bronkodilator inhalasi karena bentuk ini memungkinkan obat mencapai paru-paru dengan cepat. Hal ini juga memungkinkan kita mengambil dosis obat yang lebih kecil dan menghasilkan lebih sedikit efek samping daripada ketika orang meminumnya secara oral.

Jenis bronkodilator terbaik untuk digunakan mungkin bergantung pada usia, preferensi, dan tingkat kesadaran kita. Diskusikan ini dengan dokter.

Penting untuk dicatat, gunakan bronkodilator dengan benar untuk memastikan obat sampai ke paru-paru. Cara paling umum penggunaan bronkodilator meliputi:

  • Inhaler dosis terukur (metered dose inhaler/MDI): Ini adalah tabung kecil bertekanan yang berisi obat-obatan. Perangkat melepaskan obat saat seseorang menekan tabungnya. Propelan MDI membawa dosis obat ke paru-paru.
  • Nebulizer: Nebulizer menggunakan obat bronkodilator dalam bentuk cairan dan mengubahnya menjadi aerosol yang kemudian dihirup melalui corong.
  • Inhaler bubuk kering: Inhaler bubuk kering tidak memiliki propelan, dan bronkodilator berbentuk bubuk.
  • Inhaler kabut lembut: Beberapa bronkodilator tersedia dalam inhaler kabut lembut. Inhaler ini mengirimkan awan aerosol ke paru-paru tanpa propelan. Studi dalam International Journal of Chronic Obstructive Pulmonary Disease tahun 2008 menunjukkan bahwa aerosol dari inhaler kabut lembut bergerak lebih lambat dan lebih tahan lama dibanding MDI, yang berarti inhaler kabut lembut memberikan lebih banyak obat ke paru-paru dan lebih sedikit di bagian belakang tenggorokan.
  • Bentuk lainnya: Bentuk bronkodilator lainnya termasuk tablet dan sirop.

Menentukan cara terbaik menggunakan bronkodilator sangat penting untuk memastikan kamu mendapatkan dosis obat yang tepat. Misalnya, kalau kamu tidak bisa mengoordinasikan penggunaan MDI secara efektif, beberapa obat mungkin berakhir di belakang tenggorokan atau mulut, bukan di paru-paru.

Cara menggunakan inhaler bronkodilator dengan benar

Penting untuk menggunakan inhaler bronkodilator dengan benar untuk mendapatkan dosis obat yang lengkap. Langkah-langkah berikut akan membantu menggunakan inhaler bronkodilator dengan benar:

  • Kocok inhaler sekitar 10 hingga 15 kali. Pastikan tutupnya kencang.
  • Lepaskan tutupnya.
  • Tarik napas dalam-dalam dan embuskan sepenuhnya.
  • Letakkan mulut di sekitar corong.
  • Tekan inhaler sekali.
  • Tarik napas perlahan dan dalam melalui mulut. Jika mendengar suara seperti klakson, artinya kamu bernapas terlalu cepat dan harus melambat.
  • Tahan napas selama 10 detik. Hitung perlahan untuk memungkinkan obat mencapai saluran udara paru-paru.
  • Ulangi langkah-langkah ini untuk setiap embusan yang direkomendasikan oleh dokter. Tunggu sekitar 1 menit di antara setiap embusan.
  • Pasang kembali tutup inhaler saat kamu selesai menggunakannya.
  • Jika kamu menggunakan inhaler kortikosteroid, kumur air atau obat kumur setelah selesai. Membilas mulut membantu mengurangi efek samping apa pun.

3. Efek samping

Bronkodilator terkadang dapat menyebabkan efek samping, meskipun biasanya ringan atau berumur pendek, mengutip NHS Inform.

Efek samping bronkodilator dapat bervariasi tergantung pada obat spesifik yang digunakan. Pastikan untum membaca selebaran yang disertakan dengan obat untuk mengetahui efek samping spesifiknya. Atau, tanyakan kepada dokter atau apoteker.

Beta-2 agonist

Efek samping utama dari beta-2 agonist, seperti salbutamol, dapat meliputi:

  • Gemetar, khususnya di tangan.
  • Ketegangan saraf.
  • Sakit kepala.
  • Jantung berdebar (palpitasi).
  • Kram otot.

Efek samping di atas sering kali membaik dan hilang sepenuhnya setelah menggunakan beta-2 agonist selama beberapa hari atau minggu. Hubungi dokter jika efek samping terus berlangsung, karena dosis mungkin perlu disesuaikan.

Efek samping yang lebih serius tergolong jarang. Namun, jika terjadi, ini bisa meliputi penyempitan saluran udara secara tiba-tiba (bronkospasme paradoks). Dosis yang berlebihan kadang dapat menyebabkan serangan jantung dan tingkat kalium yang sangat rendah dalam darah (hipokalemia).

Antikolinergik

Efek samping utama dari antikolinergik seperti ipratropium bisa termasuk:

  • Mulut kering.
  • Konstipasi.
  • Batuk.
  • Sakit kepala.

Efek samping yang lebih jarang antara lain:

  • Mual.
  • Heartburn.
  • Sulit menelan (disfagia).
  • Palpitasi.
  • Iritasi tenggorokan.
  • Sulit berkemih.

Glaukoma mungkin dapat memburuk jika obat-obatan masuk ke mata saat menggunakan inhaler atau nebulizer.

Theophylline

Theophylline dapat menyebabkan efek samping yang serius jika terlalu banyak menumpuk di tubuh. Kamu mungkin memerlukan tes kadar darah sesekali selama perawatan. Ini akan memastikan bahwa kadar theophylline dalam tubuh aman.

Orang tua lebih berisiko mengembangkan efek samping dari theophylline. Ini karena hati mereka mungkin tidak dapat mengeluarkannya dari tubuh.

Efek samping utama theophylline meliputi:

  • Mual dan muntah.
  • Diare.
  • Palpitasi.
  • Detak jantung cepat (takikardia).
  • Detak jantung tidak teratur (aritmia).
  • Sakit kepala.
  • Masalah tidur (insomnia).

Hubungi dokter jika memiliki efek samping ini, karena dosis mungkin perlu ditinjau ulang.

4. Penggunaan bronkodilator pada ibu hamil

Bronkodilator: Manfaat, Jenis, Penggunaan, Efek Sampingilustrasi penggunaan bronkodilator untuk asma (freepik.com/freepik)

Centers for Disease Control and Prevention (CDC) merekomendasikan bahwa perempuan dengan asma untuk terus menggunakan obat selama kehamilan.

Data dari National Birth Defects Prevention Study menunjukkan tingkat yang lebih tinggi dari beberapa, tetapi tidak sebagian besar, cacat lahir pada bayi yang lahir dari orang yang menggunakan bronkodilator selama kehamilan. Ini termasuk:

  • Atresia esofagus, yang memengaruhi kerongkongan.
  • Atresia anorektal, yang memengaruhi anus.
  • Omphalocele, yang memengaruhi dinding perut.

Meski begitu, tidak jelas apakah asma menyebabkan kondisi tersebut atau obat yang digunakan untuk mengontrol asma.

Menurut Asthma and Allergy Foundation of America, para peneliti telah mengungkap korelasi antara asma dan risiko hasil kehamilan negatif yang lebih tinggi. Artinya, bagi orang yang asmanya tidak membaik selama kehamilan, melanjutkan penggunaan obat biasanya merupakan pilihan yang lebih aman.

Ibu hamil dianjurkan untuk mendiskusikan risiko dan manfaat dari perawatan asma dengan dokter.

5. Interaksi dengan obat lain

Bronkodilator dapat berinteraksi dengan obat lain. Ini dapat memengaruhi cara kerjanya atau meningkatkan risiko efek samping.

Beberapa obat yang dapat berinteraksi dengan bronkodilator (terutama theophylline) meliputi:

  • Beberapa diuretik: Sejenis obat yang membantu mengeluarkan cairan dari tubuh.
  • Beberapa antidepresan: Termasuk monoamine oxidase inhibitor (MAOI) dan antidepresan trisiklik (TCA).
  • Digoxin: Obat yang digunakan untuk mengobati aritmia.
  • Benzodiazepine: Sejenis obat penenang yang dapat digunakan sebagai pengobatan jangka pendek untuk kecemasan atau insomnia.
  • Litium: Obat untuk mengobati depresi berat dan gangguan bipolar.
  • Quinolone: Sejenis obat antibiotik.

Ini bukan daftar lengkap semua obat yang dapat berinteraksi dengan bronkodilator. Juga, tidak semua interaksi ini berlaku untuk setiap jenis bronkodilator. Tanyakan lebih lanjut kepada dokter atau apoteker.

Kondisi paru-paru seperti asma dan PPOK memengaruhi saluran udara. Bronkodilator adalah obat yang dapat membantu mengontrol gejala kondisi paru-paru.

Selalu ikuti rencana pengobatan dari dokter. Jika bronkodilator tidak mengendalikan gejala, segera hubungi dokter. Dokter dapat menjawab segala pertanyaan kamu, mengatasi masalah apa pun, dan menemukan rencana perawatan yang tepat buatmu.

Baca Juga: Studi: Gangguan Tidur Perparah Gejala PPOK hingga Fatal

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya