Dampak Kesehatan Jangka Panjang pada Ibu Hamil dan Bayi di Area Perang

Bisa menyebabkan konsekuensi seumur hidup

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), diperkirakan ada 50.000 perempuan hamil di Gaza. Calon ibu yang mengandung anak-anak mereka pada saat relatif damai namun kini harus melahirkan di tengah kekacauan perang.

Mengutip dari International Planned Parenthood Federation (IPPF), diperkirakan 19.000 perempuan hamil merupakan bagian dari 1,1 juta penduduk yang terpaksa mengungsi dari Gaza utara karena perintah evakuasi Israel pada 13 Oktober, tanpa adanya tempat yang aman untuk melahirkan.

Banyak perempuan hamil mengalami keguguran karena stres dan syok, dan ketersediaan fasilitas medis untuk melahirkan dengan aman di sistem layanan kesehatan Gaza yang sudah kewalahan makin berkurang dengan cepat,

Perang, selain menghilangkan kedamaian dalam kehidupan masyarakat, juga mempunyai banyak dampak jangka panjang. Dari dampak kesehatan hingga terhadap kesehatan mental, perang hanya membawa kesengsaraan. Perempuan dan anak-anak sering kali menjadi korban terbesar di negara-negara yang dilanda perang.

Mulai dari trauma mental ekstrem hingga kekerasan dan risiko infeksi, berikut adalah beberapa dampak yang bisa dialami oleh perempuan hamil dan bayi di negara-negara yang dilanda perang, yang bisa menyebabkan konsekuensi seumur hidup, dan sering kali kematian.

1. Bahaya fisik

Perang membawa risiko potensi bahaya. Bayi, terkadang kehilangan ibunya saat lahir dan bayi bisa meninggal juga.

Hampir 15.000 bayi diperkirakan akan lahir di Gaza antara 7 Oktober hingga akhir tahun 2023, semuanya berada dalam “risiko besar di tengah meningkatnya kekerasan” dan dengan “perawatan medis, air dan makanan pada tingkat krisis,” kata organisasi Save the Children pada Selasa (14/11/2023) dalam sebuah rilis.

Selain itu, sekitar 15 persen perempuan yang melahirkan kemungkinan besar mengalami kehamilan atau komplikasi terkait kelahiran.

Proyeksi tersebut didasarkan pada data PBB baru-baru ini yang memperkirakan bahwa sekitar 180 perempuan melahirkan setiap hari di wilayah enklave Palestina yang terkepung dan menyumbang angka kelahiran ganda di wilayah pendudukan Palestina.

"Bayi-bayi yang dilahirkan berada dalam mimpi buruk, bencana kemanusiaan. Keluarga mereka terputus dari kebutuhan dasar. Perempuan hamil melahirkan tanpa perawatan medis dan bayi prematur meninggal di inkubator," kata Jason Lee, direktur Save the Children di wilayah pendudukan Palestina.

2. Gangguan hipertensi saat hamil

Dampak Kesehatan Jangka Panjang pada Ibu Hamil dan Bayi di Area Perangilustrasi ibu hamil (freepik.com/pch.vector)

Perempuan hamil yang mengalami kecemasan mungkin berisiko lebih tinggi mengalami gangguan hipertensi saat hamil, seperti hipertensi gestasional, preeklamsia, dan eklampsia (Journal of Affective Disorders, 2021).

Ibu hamil yang mengalami kecemasan mempunyai risiko 32 persen lebih besar terkena hipertensi gestasional, 52 persen lebih besar risiko terjadinya preeklamsia, dan 81 persen lebih besar risiko terjadinya eklamsia dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak mengalami kecemasan.

Berada di tengah situasi perang diketahui dapat meningkatkan risiko terjadinya kecemasan.

3. Trauma mental

Di zona perang, sedang hamil kehamilan dan berpikir untuk memulai hidup baru di ruang yang sama dapat menyebabkan trauma mental. Trauma ini, pada gilirannya, bisa memengaruhi ibu dan bayinya di kemudian hari.

Merujuk laporan bertajuk "The effects of armed conflict on the health of women and children" dalam jurnal The Lancet tahun 2021, perempuan dan anak-anak yang terkena dampak konflik bersenjata mengalami peningkatan tingkat pengalaman traumatis, yang mencakup paparan langsung terhadap kekerasan, gangguan struktur keluarga, dan disintegrasi sosial.

Banyak orang terkena dampak pengungsian, termasuk pengurungan berkepanjangan di kamp pengungsi. Kecenderungan menuju konflik kompleks yang berlarut-larut di lingkungan perkotaan dengan dampak yang lebih besar terhadap warga sipil cenderung menyebabkan lebih banyak paparan terhadap pengalaman traumatis bagi semua warga sipil.

Paparan terhadap konflik bersenjata dikaitkan dengan peningkatan prevalensi gangguan kecemasan, seperti gangguan stres pasca trauma, dan depresi di kalangan anak-anak, remaja, dan perempuan, baik selama dan setelah konflik.

Diperkirakan bahwa rata-rata prevalensi gangguan kecemasan dan depresi berat di antara populasi yang terkena dampak konflik adalah dua hingga empat kali lebih tinggi dari perkiraan prevalensi global, dengan dampak paparan konflik yang besar terhadap kesehatan mental perempuan. Beberapa penelitian melaporkan dampak konflik yang lebih besar terhadap perempuan dibandingkan laki-laki, sering kali dikaitkan dengan kekerasan berbasis gender.

Beban kesehatan mental yang dialami anak-anak dan remaja telah didokumentasikan di antara tentara anak-anak dan di antara mereka yang terpapar konflik. Dampak konflik bersenjata antar generasi juga menjadi perhatian utama, misalnya karena meningkatnya tingkat kekerasan keluarga dan rusaknya struktur keluarga. Kekerasan seksual dan rumah tangga telah didokumentasikan sebagai faktor pemicu masalah kesehatan mental pada anak-anak dan remaja. Masalah kesehatan mental pengasuh seperti depresi ibu dan stres pasca trauma berhubungan dengan hasil psikososial yang lebih buruk pada anak-anak yang terkena dampak konflik. Namun, terdapat kesenjangan data yang besar mengenai dampak konflik, misalnya pada depresi di kalangan anak-anak dan remaja.

Baca Juga: Daftar Penyakit yang Menghantui Pengungsi Palestina

4. Penyakit menular

Dampak Kesehatan Jangka Panjang pada Ibu Hamil dan Bayi di Area Perangilustrasi ibu hamil sakit (freepik.com/senivpetro)

Gangguan pada pasokan makanan, pasokan medis, pasokan air, dan sistem sanitasi adalah beberapa masalah yang dihadapi oleh orang-orang di zona perang. Hal ini makin mengarah pada risiko penyakit menular. Di zona perang, perempuan sering kali menjadi sasaran kekerasan. Karena tidak adanya staf perawat dan layanan darurat, mereka juga berisiko tinggi terkena infeksi.

Dilansir Al Jazeera, berikut ini daftar penyakit yang mengancam pengungsi Palestina:

  • ​Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA): Sebanyak 54.866 kasus telah tercatat sejauh ini.
  • Diare: Lebih dari 33.551 kasus diare telah dilaporkan dan setidaknya setengahnya terjadi pada anak-anak di bawah usia 5 tahun, menurut WHO.
  • Ruam kulit: Sebanyak 12.635 kasus telah terjadi.
  • Kudis dan kutu: Terdapat 8.944 kasus infeksi parasit yang telah dilaporkan.
  • Cacar air: Setidaknya 1.005 kasus cacar air telah dilaporkan.

5. Komplikasi kehamilan

Pengeboman, perkelahian jalanan, dan serangan udara merajalela di negara-negara yang dilanda perang. Hal ini dapat menyebabkan stres prenatal yang ekstrem dan menyebabkan komplikasi pada kehamilan, yang sering kali menyebabkan kematian.

Menurut WHO, setiap 2 menit, seorang perempuan meninggal saat hamil atau melahirkan. Laporan tersebut, yang melacak kematian ibu secara nasional, regional, dan global dari tahun 2000 hingga 2020, menunjukkan bahwa diperkirakan terdapat 287.000 kematian ibu di seluruh dunia pada tahun 2020.

Secara total, kematian ibu masih terkonsentrasi di negara-negara termiskin di dunia dan di negara-negara yang terkena dampak konflik. Pada tahun 2020, sekitar 70 persen dari seluruh kematian ibu terjadi di Afrika sub-Sahara. Di sembilan negara yang menghadapi krisis kemanusiaan yang parah, angka kematian ibu melebihi dua kali lipat rata-rata dunia (551 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup, dibandingkan dengan 223 kematian ibu secara global).

Pendarahan hebat, tekanan darah tinggi, infeksi terkait kehamilan, komplikasi akibat aborsi yang tidak aman, dan kondisi mendasar yang dapat diperburuk oleh kehamilan (seperti HIV/AIDS dan malaria) merupakan penyebab utama kematian ibu. Hal ini sebagian besar dapat dicegah dan diobati dengan akses terhadap layanan kesehatan yang berkualitas tinggi.

6. Malnutrisi

Dampak Kesehatan Jangka Panjang pada Ibu Hamil dan Bayi di Area Perangilustrasi ibu hamil (pixabay.com/Pexels)

Perempuan hamil yang kekurangan gizi mempunyai peningkatan risiko keguguran dan penderitaan yang diakibatkannya, disertai anemia dan bahkan kematian saat melahirkan.

Malnutrisi merupakan salah satu faktor bersama dengan faktor lainnya seperti infeksi, ketakutan ekstrem, keadaan lingkungan, dan kekurangan vitamin. Lebih lanjut, kekurangan gizi dapat menyebabkan berat badan rendah dan pertumbuhan terhambat.

Mengutip dari UNICEF, pola makan yang buruk dan kekurangan nutrisi penting—seperti yodium, zat besi, folat, kalsium dan zink—dapat menyebabkan anemia, preeklamsia, pendarahan dan kematian pada ibu. Hal ini juga dapat menyebabkan lahir mati, berat badan lahir rendah, wasting, dan keterlambatan perkembangan pada anak. Hal ini dapat menimbulkan konsekuensi kesehatan jangka panjang di kemudian hari.

Gizi yang buruk selama menyusui mempersulit ibu untuk mengisi kembali simpanan nutrisinya dan memenuhi kebutuhan makanan tambahannya.

7. Stres berdampak pada bayi bahkan sebelum ia dilahirkan

Anak-anak dari wilayah yang dilanda perang terkena dampak trauma bahkan sebelum mereka dilahirkan (Child Development, 2016).

Pengalaman hidup ibu yang penuh tekanan dikaitkan dengan penanda epigenetik pada gen kunci yang mengatur respons tubuh terhadap stres, baik pada ibu maupun bayi baru lahir.

Sejumlah sampel darah tali pusat, plasenta, dan darah ibu di Republik Demokratik Kongo dikumpulkan saat lahir dan diuji untuk mengetahui dampak trauma perang dan stres kronis. Para peneliti mengamati metilasi DNA, sebuah proses epigenetik yang membuat gen kurang lebih mampu merespons sinyal biokimia dalam tubuh.

Selama kehamilan, respons tubuh ibu terhadap stres diteruskan ke janin, sehingga memengaruhi perkembangan otak anak, berat lahir, dan fungsi sumbu HPA anak bahkan setelah mereka lahir.

Para peneliti melihat berat lahir bayi sebagai indikator perkembangan anak secara keseluruhan. Mereka menemukan bahwa perbedaan metilasi DNA yang terkait dengan stres memprediksi berat badan lahir rendah.

“Paparan stres berdampak berbeda pada jaringan ibu dan janin, yang menunjukkan bahwa dampak stres berbeda-beda bergantung pada fase kehidupan individu,” kata Darlene A. Kertes, penulis utama studi dari University of Florida.

Ia menambahkan bahwa stres yang dialami pada usia sangat muda memengaruhi cara tubuh merespons stres sepanjang hidup.

Ini adalah pertama kalinya para peneliti mendokumentasikan efek stres, baik sebelum atau sesudah kelahiran, terhadap metilasi gen yang disebut CRH pada manusia. CRH membuat hormon yang memicu respons stres tubuh. Studi ini juga mengonfirmasi efek stres pada beberapa gen lain yang diketahui terlibat dalam respons stres.

Peristiwa traumatis juga dapat berdampak lintas generasi.

Perang dan konflik tidak hanya berdampak pada kesehatan dan kesejahteraan masyarakat yang mengalaminya secara langsung,” ujar Darlene. “Hal ini berpotensi menimbulkan konsekuensi jangka panjang bagi generasi mendatang.”

Baca Juga: Pasokan Air Bersih di Gaza Menipis, Risiko Kesehatan Mengintai

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya