Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

15 Obat-obatan Ini Bisa Picu Depresi, Bijaklah Menggunakannya

ilustrasi obat yang dapat memicu depresi (unsplash.com/Towfiqu barbhuiya)
ilustrasi obat yang dapat memicu depresi (unsplash.com/Towfiqu barbhuiya)
Intinya sih...
  • Obat-obatan tertentu dapat memicu atau memperburuk gejala depresi
  • Beberapa jenis obat yang dikaitkan dengan gejala depresi antara lain beta-blocker, benzodiazepine, dan stimulan
  • Depresi bukanlah persoalan sepele. Konsultasikan dengan dokter jika merasa mengalami gejala depresi

Banyak orang tidak menyadari bahwa beberapa obat resep ternyata bisa memicu atau memperburuk gejala depresi sebagai efek samping, bahkan pada orang yang sebelumnya tidak rentan mengalami depresi.

Para peneliti telah mencatat lebih dari 200 jenis obat yang memiliki efek samping berupa depresi. Meskipun obat-obatan ini sering kali penting dan menyelamatkan nyawa, tetapi risiko peningkatan depresi, terutama bagi mereka yang sudah punya masalah kesehatan mental, perlu dipikirkan dan diawasi dengan hati-hati.

Walaupun bukan daftar lengkap, berikut ini beberapa jenis obat yang telah dikaitkan dengan gejala depresi.

1. Beta-blocker

Obat beta-blocker biasanya diresepkan untuk menurunkan tekanan darah tinggi, tetapi bisa juga digunakan untuk mengatasi migrain, nyeri dada (angina), detak jantung tidak teratur, dan tremor. Dalam beberapa kasus, beta-blocker juga diberikan dalam bentuk tetes mata untuk mengobati glaukoma.

Contoh jenis obat ini: metoprolol dan propranolol.

Ada perdebatan mengenai sejauh mana obat-obatan ini dapat menyebabkan depresi, tetapi umumnya dikaitkan dengan gejala-gejala depresi seperti masalah seksual dan kelelahan.

2. Benzodiazepine

Benzodiazepine umumnya digunakan untuk mengatasi kecemasan dan sulit tidur, atau untuk melemaskan otot jika diperlukan. Namun, dalam beberapa kasus, obat ini bisa memicu gejala depresi.

Obat ini juga bisa menimbulkan ketergantungan, sehingga ketika seseorang mencoba berhenti meminumnya, mereka bisa mengalami gejala putus obat.

Contoh umum benzodiazepine: alprazolam, temazepam, dan diazepam.

3. Stimulan

Stimulan adalah obat yang bekerja dengan cara meningkatkan aktivitas sistem saraf pusat. Obat ini sering digunakan untuk mengobati ADHD, asma, obesitas, narkolepsi, hidung tersumbat, serta tekanan darah rendah akibat anestesi.

Contoh stimulan yang umum: kafein dan obat resep seperti dextroamphetamine, Adderall (campuran dextroamphetamine dan amphetamine), serta methylphenidate.

Beberapa obat stimulan bisa menyebabkan efek samping berupa depresi, terutama jika digunakan secara tidak tepat atau dihentikan secara mendadak. Gejala putus obat bisa mencakup depresi, sulit tidur, dan kelelahan.

Efek negatif lainnya bisa berupa paranoia, cemas berlebih, halusinasi, serta gangguan fisik seperti sakit kepala, penurunan berat badan, dan kegugupan.

4. Kortikosteroid

ilustrasi obat yang dapat memicu depresi (pixabay.com/Steve Buissinne)
ilustrasi obat yang dapat memicu depresi (pixabay.com/Steve Buissinne)

Kortikosteroid adalah golongan obat antiinflamasi yang digunakan untuk mengobati kondisi inflamasi dan autoimun. Obat ini biasanya digunakan untuk mengobati kondisi seperti artritis reumatoid, penyakit radang usus, asma, alergi, peradangan organ yang mengancam jiwa, dan banyak lagi.

Jenis yang umum termasuk: kortison, hidrokortison, dan prednison.

Penggunaan obat ini, terutama dalam dosis tinggi atau jangka panjang, umumnya dikaitkan dengan risiko efek samping depresi yang lebih besar.

5. Statin

Meskipun statin sering diresepkan untuk menurunkan kolesterol, tetapi obat lain, seperti fibrat, colesevelam, ezetimibe, dan asam nikotinat juga dapat digunakan untuk tujuan ini.

Ada beberapa laporan yang mengaitkan obat-obatan ini dengan depresi. Diperkirakan bahwa obat-obatan ini dapat menyebabkan depresi dengan menurunkan kadar kolesterol di otak, yang memiliki banyak fungsi penting.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa statin dapat menyebabkan suasana hati tertekan, kecemasan, masalah tidur, dan percobaan bunuh diri. Namun, tinjauan skala besar yang melibatkan data dari lebih dari 70 penelitian menemukan bahwa statin tampaknya tidak menyebabkan gejala depresi pada populasi umum.

6. Antikonvulsan

Obat antikejang (antikonvulsan) digunakan dalam pengobatan kejang, meskipun dapat juga digunakan dalam pengobatan kondisi lain, seperti gangguan bipolar dan nyeri neuropatik.

Karena antikonvulsan memengaruhi zat kimia di otak yang juga diyakini bertanggung jawab untuk mengatur suasana hati, obat-obatan ini terkadang dapat menyebabkan depresi.

Contoh jenis antikonvulsan yang dikaitkan dengan peningkatan risiko depresi: carbamazepine, topiramate, dan gabapentin, serta barbituat dan vigabatrin.

7. Obat-obatan yang memengaruhi hormon

Obat-obatan yang memengaruhi hormon termasuk bentuk kontrasepsi seperti pil KB, serta terapi penggantian hormon estrogen untuk gejala menopause.

Variasi kadar hormon pada perempuan sering dikaitkan dengan gejala depresi, meskipun tidak sepenuhnya dipahami bagaimana interaksi ini terjadi. Penelitian menunjukkan bahwa kontrasepsi yang hanya mengandung progestin tidak mungkin menyebabkan gejala depresi.

8. Obat-obatan untuk kanker

ilustrasi obat yang dapat menyebabkan depresi (pixabay.com/Kris)
ilustrasi obat yang dapat menyebabkan depresi (pixabay.com/Kris)

Hubungan antara kanker dan depresi cukup rumit. Saat seseorang hidup dengan kanker, merasa sedih atau murung sesekali adalah hal yang wajar.

Pengobatan kanker juga tidak sederhana. Ada banyak jenis obat yang digunakan, baik untuk menghancurkan sel kanker secara langsung maupun untuk mengatasi gejala dan efek samping pengobatan.

Beberapa obat kanker, seperti yang termasuk dalam kelompok obat taxane, diketahui bisa menyebabkan gangguan fungsi kognitif.

Obat kanker lainnya yang mungkin terkait dengan gejala depresi meliputi: procarbazine, tamoxifen, vincristine, vinblastine, paclitaxel, dan docetaxel.

9. Antibiotik

Antibiotik fluoroquinolone dapat menyebabkan efek samping pada sistem saraf pusat, termasuk perasaan depresi.

Pada tahun 2016, badan pengawas obat Amerika Serikat (FDA) memperbarui peringatan pada kemasan antibiotik jenis ini, dengan menambahkan risiko seperti depresi, pikiran untuk bunuh diri, dan gangguan kesehatan mental lainnya ke dalam daftar efek samping.

Dari berbagai jenis fluoroquinolone, dua yang paling sering dikaitkan dengan efek samping berupa depresi adalah: levofloxacin dan ciprofloxacin.

Selain itu, penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan penisilin, jenis antibiotik lain, berkaitan dengan risiko depresi yang lebih tinggi. Bahkan, makin sering seseorang mengonsumsi penisilin, makin besar pula risiko mengalami depresi.

10. Obat untuk penyakit Parkinson

Depresi cukup sering dialami oleh pasien penyakit Parkinson. Ini karena kondisi penyakit Parkinson itu sendiri bisa mengubah zat kimia di otak yang berperan dalam suasana hati dan rasa cemas.

Selain itu, beberapa obat untuk mengatasi Parkinson juga bisa memperburuk gejala depresi. Menurut sebuah studi, levodopa bisa memperparah depresi, terutama jika dikonsumsi dalam dosis tinggi.

Namun, studi yang sama menyebutkan bahwa obat jenis agonis dopamin, yang bekerja dengan meningkatkan kadar dopamin di otak, tidak terbukti memicu depresi. Contoh obat jenis ini termasuk pramipexole, ropinirole, dan rotigotine.

11. Proton pump inhibitor

Obat-obatan ini paling sering diresepkan untuk mengobati penyakit refluks gastroesofageal (GERD) dan kadang-kadang dikaitkan dengan depresi karena alasan yang tidak jelas.

12. Obat antikolinergik

ilustrasi obat yang bisa menyebabkan depresi (pixabay.com/Charles Thompson)
ilustrasi obat yang bisa menyebabkan depresi (pixabay.com/Charles Thompson)

Obat antikolinergik adalah jenis obat yang bekerja pada berbagai fungsi tubuh, salah satunya memperlambat gerakan usus. Obat ini sering digunakan untuk mengatasi sindrom iritasi usus besar (IBS), misalnya dicyclomine.

Karena memengaruhi sistem saraf pusat, obat ini mungkin bisa menyebabkan gejala depresi, terutama pada lansia. Beberapa laporan kasus menunjukkan adanya hubungan antara obat antikolinergik dan gangguan suasana hati, meskipun penelitian terbaru belum menemukan kaitan yang jelas. Namun, ada temuan lain yang menunjukkan bahwa penggunaan jangka panjang obat jenis ini bisa meningkatkan risiko demensia.

13. Obat migrain

Obat-obatan untuk mengatasi serangan migrain kadang juga digunakan untuk mengelola depresi, karena pengobatan migrain dan depresi memiliki beberapa kesamaan, termasuk penggunaan antidepresan.

Namun, bukti soal apakah obat migrain bisa menyebabkan depresi masih belum jelas. Beberapa penelitian menunjukkan ada kaitan, sementara yang lain tidak.

Obat migrain yang bernama flunarizine pernah dikaitkan dengan gejala depresi dalam studi-studi lama. Obat ini bekerja dengan menghambat saluran kalsium. Sebuah studi menunjukkan bahwa saluran kalsium di otak punya peran penting dalam berbagai proses saraf, dan kemungkinan ada kaitannya dengan beberapa kondisi kesehatan mental seperti depresi.

Sementara itu, triptan, obat yang bekerja dengan menargetkan reseptor serotonin, digunakan untuk meredakan serangan migrain dengan mengurangi rasa sakit dan peradangan di pembuluh darah. Satu studi menyebutkan bahwa obat ini berkaitan dengan gejala depresi, tetapi hubungannya dianggap tidak signifikan.

14. Antidepresan

ilustrasi obat-obatan yang dapat memicu depresi (unsplash.com/Matteo Badini)

Memulai konsumsi antidepresan kadang justru bisa membuat gejala depresi terasa lebih buruk di awal. Meskipun terdengar aneh dan bisa membuat frustrasi, ini adalah hal yang normal dan biasanya hanya sementara.

Biasanya, perbaikan suasana hati mulai terasa dalam beberapa minggu, tetapi efek maksimal dari obat baru akan terlihat dalam 4 sampai 8 minggu.

Contoh antidepresan yang umum: sertraline dan escitalopram.

15. Semaglutide

Ozempic dan Wegovy adalah obat yang mengandung bahan aktif yang sama, yaitu semaglutide, dan termasuk dalam kelompok obat glucagon-like peptide-1 (GLP-1) agonist.

Ozempic digunakan untuk mengobati diabetes tipe 2 dan mengurangi risiko kardiovaskular pada pasien diabetes dewasa, sementara Wegovy dipasarkan untuk menurunkan berat badan dan mencegah penyakit jantung.

Meskipun awalnya ditujukan untuk keperluan medis tertentu, tetapi obat-obatan ini menjadi sangat populer karena efek penurunan berat badannya, termasuk obat serupa bernama liraglutide.

Namun, sebuah studi kohort retrospektif lintas seksional menemukan korelasi statistik antara individu yang diberi obat GLP-1 dan juga diberi antidepresan. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami sepenuhnya hubungan antara obat GLP-1 dengan depresi. Sementara itu, FDA telah melaporkan menerima pertanyaan tentang efek samping depresi di antara pengguna Ozempic.

Jika kamu merasa mengalami gejala depresi, apakah itu terkait dengan obat yang dikonsumsi atau tidak, konsultasikan dengan dokter. Jangan berhenti minum obat tanpa sepengetahuan dokter. Apabila mengalami depresi berat atau punya pikiran untuk bunuh diri, jangan ragu untuk segera mencari bantuan medis.

Setiap situasi berbeda, jadi dokter akan melihat riwayat dan gejala untuk menentukan langkah selanjutnya. Dalam beberapa kasus, ini mungkin melibatkan beralih ke obat yang berbeda atau menyesuaikan dosis obat.

Dokter juga akan mencoba menentukan apakah gejala depresi terkait dengan obat baru atau penyebab lain. Jika ada gangguan depresi yang mendasarinya, dokter mungkin merekomendasikan perawatan seperti antidepresan dan psikoterapi.

Depresi bukanlah persoalan sepele. Bila kamu merasakan tendensi untuk melakukan bunuh diri, atau melihat teman atau kerabat yang memperlihatkan tendensi tersebut, amat disarankan untuk menghubungi dan berdiskusi dengan pihak terkait, seperti psikolog, psikiater, maupun klinik kesehatan jiwa.

Saat ini, tidak ada layanan hotline atau sambungan telepon khusus untuk pencegahan bunuh diri di Indonesia. Kementerian Kesehatan Indonesia pernah meluncurkan hotline pencegahan bunuh diri pada 2010. Namun, hotline itu ditutup pada 2014 karena rendahnya jumlah penelepon dari tahun ke tahun, serta minimnya penelepon yang benar-benar melakukan konsultasi kesehatan jiwa. Walau begitu, Kemenkes menyarankan warga yang membutuhkan bantuan terkait masalah kejiwaan untuk langsung menghubungi profesional kesehatan jiwa di Puskesmas atau Rumah Sakit terdekat. Kemenkes juga telah menyiagakan lima RS Jiwa rujukan yang telah dilengkapi dengan layanan telepon konseling kesehatan jiwa:

RSJ Amino Gondohutomo Semarang (024) 6722565
RSJ Marzoeki Mahdi Bogor (0251) 8324024, 8324025
RSJ Soeharto Heerdjan Jakarta (021) 5682841
RSJ Prof Dr Soerojo Magelang (0293) 363601
RSJ Radjiman Wediodiningrat Malang (0341) 423444.

Selain itu, terdapat pula beberapa komunitas di Indonesia yang secara swadaya menyediakan layanan konseling sebaya dan support group online yang dapat menjadi alternatif bantuan pencegahan bunuh diri dan memperoleh jejaring komunitas yang dapat membantu untuk gangguan kejiwaan tertentu.Kamu juga bisa menghubungi LSM Jangan Bunuh Diri, lembaga swadaya masyarakat yang didirikan sebagai bentuk kepedulian terhadap kesehatan jiwa.

Tujuan dibentuknya komunitas ini adalah untuk mengubah perspektif masyarakat terhadap mental illness dan meluruskan mitos serta agar masyarakat paham bunuh diri sangat terkait dengan gangguan atau penyakit jiwa. Kalian dapat menghubungi komunitas ini melalui nomor telepon 021-06969293 atau melalui email janganbunuhdiri@yahoo.com.

Referensi

Dima Mazen Qato, Katharine Ozenberger, and Mark Olfson, “Prevalence of Prescription Medications With Depression as a Potential Adverse Effect Among Adults in the United States,” JAMA 319, no. 22 (June 12, 2018): 2289, https://doi.org/10.1001/jama.2018.6741.

"7 Common Medications That May Cause Depression as a Side Effect." Amen Clinics. Diakses Juni 2025.

"Blood pressure drugs and ED: What you need to know." Harvard Health Publishing. Diakses Juni 2025.

"Depression With Drugs." Verywell Mind. Diakses Juni 2025.

"Mental health medications." National Institute of Mental Health. Diakses Juni 2025.

"Drugs That Cause Depression." Hims. Diakses Juni 2025.

Yunhye Oh, Yoo-Sook Joung, and Jinseob Kim, “Association Between Attention Deficit Hyperactivity Disorder Medication and Depression: A 10-year Follow-up Self-controlled Case Study,” Clinical Psychopharmacology and Neuroscience 20, no. 2 (April 25, 2022): 320–29, https://doi.org/10.9758/cpn.2022.20.2.320.

Mouath A Alturaymi et al., “The Association Between Prolonged Use of Oral Corticosteroids and Mental Disorders: Do Steroids Have a Role in Developing Mental Disorders?,” Cureus, April 15, 2023, https://doi.org/10.7759/cureus.37627.

Cassie Redlich et al., “Statin Use and Risk of Depression: A Swedish National Cohort Study,” BMC Psychiatry 14, no. 1 (December 1, 2014), https://doi.org/10.1186/s12888-014-0348-y.

Stephanie Cham, Hayley J. Koslik, and Beatrice A. Golomb, “Mood, Personality, and Behavior Changes During Treatment With Statins: A Case Series,” Drug Safety - Case Reports 3, no. 1 (December 29, 2015), https://doi.org/10.1007/s40800-015-0024-2.

Riccardo De Giorgi et al., “Statins in Depression: An Evidence-Based Overview of Mechanisms and Clinical Studies,” Frontiers in Psychiatry 12 (July 27, 2021), https://doi.org/10.3389/fpsyt.2021.702617.

Frank J. E. Vajda et al., “Antiepileptic Drugs and Depression During Pregnancy in Women With Epilepsy,” Acta Neurologica Scandinavica 142, no. 4 (July 10, 2020): 350–55, https://doi.org/10.1111/ane.13315.

Brett L. Worly, Tamar L. Gur, and Jonathan Schaffir, “The Relationship Between Progestin Hormonal Contraception and Depression: A Systematic Review,” Contraception 97, no. 6 (February 26, 2018): 478–89, https://doi.org/10.1016/j.contraception.2018.01.010.

"Can Medications Cause Depression?" PsychCentral. Diakses Juni 2025.

Piotr Wierzbiński et al., “Depressive and Other Adverse CNS Effects of Fluoroquinolones,” Pharmaceuticals 16, no. 8 (August 4, 2023): 1105, https://doi.org/10.3390/ph16081105.

Katherine Dinan and Timothy Dinan, “Antibiotics and Mental Health: The Good, the Bad and the Ugly,” Journal of Internal Medicine 292, no. 6 (July 12, 2022): 858–69, https://doi.org/10.1111/joim.13543.

"11 Medications That Can Cause Depression as a Side Effect." GoodRx. Diakses Juni 2025.

Alexandru Hanganu et al., “Influence of Depressive Symptoms on Dopaminergic Treatment of Parkinsonâ€TMS Disease,” Frontiers in Neurology 5 (September 25, 2014), https://doi.org/10.3389/fneur.2014.00188.

Alice Laudisio et al., “Use of Proton-pump Inhibitors Is Associated With Depression: A Population-based Study,” International Psychogeriatrics 30, no. 1 (September 13, 2017): 153–59, https://doi.org/10.1017/s1041610217001715.

Koji Hori et al., “Demonstrating the Role of Anticholinergic Activity in a Mood Disorder,” Neurodegenerative Diseases 15, no. 3 (January 1, 2015): 175–81, https://doi.org/10.1159/000381525.

Blayne Welk and Eric McArthur, “Are Anticholinergic Medications Used for Overactive Bladder Associated With New Onset Depression? A Population‐based Matched Cohort Study,” Pharmacoepidemiology and Drug Safety 29, no. 12 (October 5, 2020): 1710–14, https://doi.org/10.1002/pds.5147.

Hans Wouters et al., “Long-Term Exposure to Anticholinergic and Sedative Medications and Cognitive and Physical Function in Later Life,” The Journals of Gerontology Series A, January 21, 2019, https://doi.org/10.1093/gerona/glz019.

Rebecca Burch, “Antidepressants for Preventive Treatment of Migraine,” Current Treatment Options in Neurology 21, no. 4 (March 21, 2019), https://doi.org/10.1007/s11940-019-0557-2.

Arturo Andrade et al., “Genetic Associations Between Voltage-Gated Calcium Channels and Psychiatric Disorders,” International Journal of Molecular Sciences 20, no. 14 (July 19, 2019): 3537, https://doi.org/10.3390/ijms20143537.

D Millson et al., “Are Triptans With Enhanced Lipophilicity Used for the Acute Treatment of Migraine Associated With an Increased Consulting Rate for Depressive Illness?,” Cephalalgia 20, no. 8 (October 1, 2000): 732–37, https://doi.org/10.1111/j.1468-2982.2000.00111.x.

Osvaldo P. Almeida et al., “Cross‐sectional, Case‐control and Longitudinal Associations Between Exposure to Glucagon‐like Peptide‐1 Receptor Agonists and the Dispensing of Antidepressants,” Diabetes Obesity and Metabolism 26, no. 7 (April 23, 2024): 2925–32, https://doi.org/10.1111/dom.15616.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Nuruliar F
EditorNuruliar F
Follow Us