Harus diakui, kita hidup dalam budaya yang menghargai kesempurnaan. Banyak orang yang percaya jika melakukan sesuatunya tanpa cela, maka akan mendapat kebahagiaan dan kesuksesan.
Kesempurnaan memiliki korelasi dengan perfeksionisme. Perfeksionisme sendiri sering diartikan sebagai kebutuhan untuk menjadi sempurna dan penganutnya percaya jika mencapai kesempurnaan adalah sesuatu yang bisa diwujudkan. Sementara, para ahli cenderung mendefinisikan perfeksionisme sebagai kombinasi dari standar pribadi dan evaluasi diri yang terlalu tinggi dan terlalu kritis.
Melansir Good Therapy, seorang penulis dan profesor riset dari University of Houston Graduate College of Social Work, Amerika Serikat (AS), Dr. Brené Brown, membedakan antara perfeksionisme dan perilaku sehat. Menurutnya, perfeksionisme tidak sama dengan usaha untuk menjadi yang terbaik.
Kesempurnaan bukan mengenai pencapaian dan pertumbuhan yang positif. Dr. Brown menjelaskan, perfeksionisme digunakan oleh banyak orang sebagai perisai untuk melindungi diri dari perasaan malu, disalahkan, atau dihakimi.
Sementara itu, analisis terbaru menyatakan bahwa perfeksionisme dapat memberi efek negatif bagi kesehatan mental seperti meningkatkan risiko depresi, kecemasan, hingga dorongan bunuh diri. Simak ulasan khusus tentang serba-serbi perfeksionisme dari perspektif kesehatan.