5 Gangguan Mental Minim Perhatian, Dampingi Mereka!

#IDNTimesHealth Yuk, peduli dengan mereka yang mengalaminya

Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization menyebutkan, antara 76 hingga 85 persen orang yang memiliki gangguan mental di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah tidak mendapatkan pengobatan. Padahal, selayaknya penyakit fisik, gangguan mental juga perlu ditangani dengan serius.

Selain tindakan medis, perhatian dan dukungan sosial juga sangat penting untuk dapat mengobati gangguan mental. Berikut ini di antaranya gangguan mental yang minim perhatian di mata masyarakat, ketahui faktanya agar tidak lagi menganggapnya sepele. 

1. Anoreksia

5 Gangguan Mental Minim Perhatian, Dampingi Mereka!ilustrasi orang dengan anoreksia (parkview.com)

Anoreksia adalah gangguan mental, juga termasuk salah satu jenis gangguan makan (eating disorder), kondisi saat penderitanya memiliki ketakutan besar menjadi gemuk. Penderita anoreksia selalu merasa kelebihan berat badan meskipun pada kenyataannya tubuh mereka sangat kurus. 

Beberapa gejala yang ditunjukkan oleh orang dengan anoreksia:

  • Menolak merasa lapar dan menghindari makanan
  • Hanya memakan makanan yang memiliki sedikit kalori
  • Mengeluhkan hal-hal terkait berat badan
  • Memotong makanan menjadi bagian-bagian kecil
  • Berulang kali menimbang berat badan dan sering bercermin memeriksa diri

Pembatasan asupan makanan yang dilakukan penderita anoreksia akan menimbulkan dampak buruk bagi tubuh. Mulai dari dehidrasi, periode menstruasi berhenti, otot semakin melemah, pengeroposan tulang, detak jantung yang kurang dari normal, hingga kematian.

Merujuk artikel ilmiah Excess Mortality, Causes of Death and Prognostic Factors in Anorexia Nervosa, anoreksia berada di urutan kedua penyebab kematian tertinggi setelah bunuh diri.

Kemudian, menurut keterangan laman WebMD, anoreksia biasanya ditemukan pada remaja dan perempuan. Faktor psikologis, lingkungan, dan sosial menjadi penyebab potensial yang berkontribusi terhadap anoreksia, tetapi untuk sebab utama anoreksia sampai saat ini belum dapat diidentifikasi oleh para peneliti.

2. Autisme

5 Gangguan Mental Minim Perhatian, Dampingi Mereka!ilustrasi anak autis yang terlalu fokus (pexels.com/Mikhail Nilov)

Ada dua sudut pandang terkait autisme. Satu, menganggap autisme merupakan gangguan mental. Sedangkan lainnya beranggapan bahwa, autisme bukanlah gangguan mental, melainkan gangguan perkembangan saraf.

Kondisi yang mencakup autisme di antaranya gangguan autistik, gangguan disintegratif masa kanak-kanak, dan sindrom Asperger. Gangguan spektrum autisme biasanya muncul dengan banyak tanda jelas pada usia 2-3 tahun, paling awal di usia 18 bulan. Serta lebih banyak ditemukan pada jenis kelamin laki-laki dibanding perempuan.

Menurut keterangan dari National Institute of Mental Health (NIMH) sebagian besar pengidap autisme biasanya menunjukkan gejala seperti:

  • Cenderung tidak peduli terhadap orang lain (tidak melihat atau tidak mendengarkan)
  • Ketidaksesuaian ekspresi wajah dan gerak tubuh
  • Memiliki minat yang terlalu terfokus
  • Gagal atau lambat dalam menanggapi interaksi verbal 
  • Kurang atau lebih sensitif terhadap input sensorik, seperti cahaya dan kebisingan

Karena kelemahan tersebut, pengidap autisme seringkali mengalami perundungan. Keterangan dari laman Autism Speaks, sebuah studi menunjukkan, 60 persen anak murid dengan autisme telah mengalami perundungan dibandingkan dengan 25 persen dari keseluruhan murid.

Perundungan yang dialami ini dapat menyebabkan perasaan rendah diri, menurunnya prestasi, gangguan emosional, kecemasan, dan trauma yang bisa jadi terus terbawa hingga dewasa.

3. PTSD

5 Gangguan Mental Minim Perhatian, Dampingi Mereka!ilustrasi perempuan yang mengalami PTSD (pexels.com/Kat Jayne)

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), panduan otoritatif untuk mendiagnosis gangguan mental yang diterbitkan oleh American Psychiatric Association menyatakan, untuk mendiagnosis seseorang terkena gangguan stres pasca trauma (post-traumatic stress disorder) atau PTSD, harus ada potensi cedera, ancaman bagi kehidupan, atau kekerasan seksual. Namun, semakin banyak penelitian yang menunjukkan, tidak diperlukan peristiwa mengancam jiwa untuk seseorang dapat mengalami PTSD.

Merangkum keterangan dari artikel Love is War: Post Infidelity Stress Disorder, mendapati perselingkuhan pasangan membuat kekacauan emosi juga fisik. Trauma pada pasangan yang menjadi korban perselingkuhan ini disebut dengan post-infidelity stress disorder atau PISD. Meskipun perselingkuhan bukan hal yang mengancam jiwa, faktanya, mereka yang mengalami perselingkuhan menunjukkan gejala serupa dengan PTSD yang dialami oleh para veteran perang maupun penyintas kecelakaan mobil. 

Gejala khas dari PTSD di antaranya:

  • Kilas balik (flashback) kejadian menyakitkan tersebut 
  • Merasa takut dan tidak percaya orang lain
  • Kesulitan tidur hingga mimpi buruk
  • Menolak atau menghindari pembicaraan terkait kejadian tersebut
  • Mati rasa secara emosional
  • Merasa putus asa dan diliputi pikiran negatif tentang diri sendiri

Permasalahan pasangan akibat perselingkuhan yang kemudian berlanjut pada perceraian, juga membawa dampak buruk terhadap anak-anak mereka. 

Stephen Joseph Ph.D., seorang profesor psikologi di University of Nottingham Inggris menuliskan dalam artikelnya yang berjudul Trauma of Divorce and Its Effect on Children, hasil survei yang dilakukannya terhadap lebih dari 400 anak muda. Anak-anak tersebut diminta untuk menjawab pertanyaan seputar peristiwa yang menjengkelkan bagi mereka.

Selain peristiwa yang mengancam jiwa, rupanya perpisahan orangtua menjadi salah satu peristiwa yang disebutkan oleh anak-anak ini. Hasilnya, 29 persen anak laki-laki dan 39 persen anak perempuan yang melaporkan perceraian orangtuanya mengalami PTSD berat karena orangtua mereka bercerai.

4. Bipolar

5 Gangguan Mental Minim Perhatian, Dampingi Mereka!ilustrasi perempuan dengan bipolar (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Bipolar adalah gangguan mental yang berulang dalam sebuah siklus. Seperti bandul jam, orang dengan bipolar (ODB) berayun dari satu suasana hati yang ekstrem ke suasana hati ekstrem lainnya, atau dikenal dengan sebutan mania dan depresif.

Merangkum keterangan laman National Health Service (NHS) dan Mayo Clinic, ketika dalam fase mania, ODB mengalami:

  • Merasa sangat bahagia, energik, dan bersemangat melakukan banyak ide
  • Memiliki kepercayaan diri (euforia) yang berlebihan
  • Membuat keputusan buruk seperti, membelanjakan uang secara berlebihan atau menyalurkan hasrat seksual pada hal-hal berisiko tinggi
  • Banyak berbicara hal tak biasa
  • Berdelusi

Sebaliknya, ketika fase depresif:

  • Hilangnya minat pada hampir semua kegiatan
  • Sedih, kosong, dan merasa tidak berguna
  • Merasa lelah dan kehilangan energi
  • Kemampuan berpikir dan berkonsentrasi menurun
  • Adanya pikiran hingga percobaan untuk bunuh diri

Kurangnya pemahaman terkait gangguan bipolar akan menghambat pengidapnya untuk menerima pengobatan yang tepat dan dapat memunculkan stigma negatif. ODB kerap kali dianggap aneh, berlebihan, gila, dan jauh dari Tuhan. Hal ini bisa semakin memperburuk kondisi ODB dan meningkatkan keinginan untuk bunuh diri.

5. Alzheimer

5 Gangguan Mental Minim Perhatian, Dampingi Mereka!ilustrasi pria yang mengidap alzheimer (pexels.com/Kindel Media)

Alzheimer memang bukan termasuk dalam gangguan mental. Ini adalah adalah penyakit neurologis-progresif yang merusak sel-sel otak sehingga membuat pengidapnya mengalami penurunan fungsi mental. 

Untuk memahami alzheimer, otak manusia secara sederhana dianalogikan seperti pabrik dengan sel-sel sebagai pekerja di dalamnya. Pada pengidap alzheimer, beberapa sel gagal menjalankan tugasnya, sehingga menimbulkan kerusakan yang semakin lama menjalar dan berdampak ke area otak lainnya. 

Bersumber dari NHS, para peneliti meyakini alzheimer dipicu oleh dua jenis protein yang menumpuk secara abnormal di sekitar dan di dalam sel-sel otak:

  • Amyloid, protein yang mengendap dan membentuk plak di sekitar sel-sel otak
  • Tau, protein ini membuat struktur kusut di dalam sel-sel otak

Karena kerusakan sel-sel tersebut, pengidap alzheimer akan mengalami:

  • Kehilangan memori, seperti tidak dapat mengenali keluarga, teman, atau benda-benda umum
  • Kesulitan bahkan untuk melakukan hal-hal sederhana 
  • Tidur yang terganggu
  • Perubahan perilaku dan suasana hati, seperti menjadi keras kepala dan menarik diri
  • Pada tingkat yang lebih serius dapat mengalami kesulitan berbicara, berjalan, hingga komplikasi

Pikun yang menjadi tanda alzheimer acap kali disalahartikan sebagai hal lumrah dari penuaan. Penting dipahami bahwa alzheimer tidak dapat dinormalisasi sebagai bagian dari penuaan, meskipun mayoritas penderita alzheimer berada pada rentang usia 65 tahun ke atas. 

Meningkatkan pemahaman serta perhatian terhadap isu gangguan mental menjadi tugas bersama untuk mencegah dari semakin terperosoknya kualitas hidup manusia. Mari kita dampingi dan temani mereka, ya, jangan dihindari. Agar, kesembuhan bisa diraih untuk kebaikannya di masa depan. 

Baca Juga: Gangguan Delusi, Kondisi Mental yang Bikin Seseorang Terus Berkhayal

Syifa Salsabila Photo Writer Syifa Salsabila

meraki.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Debby Utomo

Berita Terkini Lainnya