ilustrasi kesehatan mental (pexels.com/Anna Tarazevich)
Sejak tahun 2020, memang ada secercah kemajuan. Negara-negara memperbarui kebijakan, mulai mengadopsi pendekatan berbasis hak, hingga menyediakan dukungan psikososial saat krisis kesehatan. Namun, ketika bicara soal hukum dan anggaran, langkah ini tersendat.
Hanya 45 persen negara yang punya undang-undang sesuai standar hak asasi manusia internasional.
Anggaran kesehatan mental masih stagnan di angka 2 persen dari total bujet kesehatan sejak 2017.
Kesenjangan mencolok: di negara kaya, pemerintah bisa membelanjakan US$ 65 per orang; di negara miskin hanya US$ 0,04.
Tenaga kerja pun jauh dari cukup. Rata-rata hanya ada 13 pekerja kesehatan mental per 100.000 penduduk, dengan kekurangan paling terasa di negara berkembang.
Transformasi layanan berbasis komunitas—yang lebih manusiawi dan berfokus pada pemulihan—masih sangat lambat. Kurang dari 10 persen negara berhasil beralih penuh ke model ini. Sebagian besar masih menggantungkan nasib pasien pada rumah sakit psikiatri: hampir separuh masuk secara paksa, dan lebih dari 20 persen terjebak dalam rawat inap lebih dari setahun.
Di sisi lain, integrasi layanan kesehatan mental ke perawatan primer mulai berjalan. Sebanyak 71 persen negara sudah memenuhi sebagian besar kriteria WHO. Namun, data yang ada masih timpang. Di negara miskin, hanya kurang dari 10 persen orang dengan psikosis yang mendapat perawatan, sementara di negara kaya lebih dari separuhnya bisa mengakses layanan.
Meski banyak kesenjangan, tetapi beberapa titik terang muncul. Lebih dari 80 persen negara kini memasukkan dukungan kesehatan mental dalam respons darurat—naik drastis dari 39 persen pada 2020. Program pencegahan bunuh diri di sekolah, promosi kesehatan mental sejak masa kanak-kanak, hingga layanan telehealth mulai berkembang, walau akses masih timpang.