Kasus Alergi Makanan Dikatakan Terus Meningkat, Apa Penyebabnya?

Ada beberapa teori yang mencoba menjelaskan fenomena ini

Dikabarkan kalau lebih banyak populasi yang memiliki alergi makanan. Satu tinjauan ilmiah berskala besar dari data rumah sakit menemukan kasus anafilaksis meningkat di Amerika Serikat (AS), Australia, dan Eropa, di antara wilayah lain.

Sebagai gambaran, di AS, kunjungan rumah sakit untuk alergi makanan meningkat tiga kali lipat dari 1993 hingga 2006. Antara 2013 dan 2019, Inggris mengalami peningkatan 72 persen dalam jumlah rawat inap anak-anak yang disebabkan oleh anafilaksis, dari 1.015 rawat inap menjadi 1.746.

Tak cuma di negara Barat saja, menurut laporan dalam International Journal of Environmental Research and Public Health tahun 2018, tercatat peningkatan alergi pada anak-anak di Asia dan Afrika.

1. Apa makanan yang paling banyak menyebabkan alergi?

Kasus Alergi Makanan Dikatakan Terus Meningkat, Apa Penyebabnya?ilustrasi kacang-kacangan (pexels.com/martabranco)

Dilansir Medical News Today, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) menyebut ada makanan alergen paling umum, yaitu susu, telur, kerang-kerangan, kacang pohon, kacang tanah, gandum, dan kedelai. FDA memperkirakan bahwa makanan tersebut dan turunannya bertanggung jawab atas sekitar 90 persen dari semua reaksi alergi.

Akan tetapi, alergen makanan bisa berbeda-beda di tiap daerah. Misalnya, laporan dalam International Journal of Environmental Research and Public Health tahun 2018, beberapa orang di Asia memiliki alergi terhadap sarang burung atau gandum hitam, sebagai contoh.

Reaksi alerginya bisa bervariasi, mulai dari gejala ketikdaknyamanan seperti gatal-gatal dan diare, hingga reaksi yang berpotensi mengancam nyawa seperti anafilaksis. 

Pada anafilaksis, tubuh bereaksi berlebihan terhadap zat alergen. Ini menyebabkan gejala ekstrem di berbagai bagian tubuh, semuanya pada saat bersamaan. Seseorang yang mengalami anafilaksis selalu membutuhkan perhatian medis segera.

2. Bertambahnya kasus alergi makanan mungkin karena pengenalan alergen makanan yang tertunda

Kasus Alergi Makanan Dikatakan Terus Meningkat, Apa Penyebabnya?ilustrasi anak dengan alergi (pexels.com/olly)

Alasan di balik peningkatan prevalensi alergi makanan tidak sepenuhnya dipahami. Namun, para peneliti di berbagai negara telah mengajukan beberapa teori.

Satu teori adalah bahwa orangtua menghindari atau terlambat memperkenalkan anak-anak mereka pada makanan yang berpotensi menyebabkan alergi, yang berarti anak-anak bereaksi secara tidak normal terhadap alergi begitu mereka terpapar makanan alergen. Ini adalah dasar dari studi yang dipimpin oleh Gideon Lack dari King's College London, Inggris, yang studinya ini dinamakan Learning Early About Peanut Allergy (LEAP).

Penelitian menunjukkan bahwa di antara anak-anak yang menghindari makan kacang, sebanyak 17 persen mengembangkan alergi kacang saat mereka berusia 5 tahun, sedangkan hanya 3 persen yang memasukkan kacang ke dalam makanan mereka sejak tahun mereka lahir mengembangkan alergi pada usia 5 tahun. Peserta anak sudah memiliki alergi telur dan/atau eksem, keduanya merupakan prediktor kuat untuk alergi kacang.

Teorinya adalah bahwa makan makanan alergi selama periode penyapihan secara efektif "melatih" sistem kekebalan usus untuk menoleransi bakteri dan zat asing seperti makanan baru.

Temuan studi LEAP menghasilkan perubahan pada pedoman di AS tentang konsumsi kacang selama masa bayi, yang sebelumnya dikatakan para ahli selama bertahun-tahun harus dihindari.

Baca Juga: 10 Mitos Alergi Ini Perlu Diperhatikan, Cek Dulu Faktanya!

3. Teori higienitas

Kasus Alergi Makanan Dikatakan Terus Meningkat, Apa Penyebabnya?ilustrasi ibu dan anak berjalan-jalan di taman (pexels.com/Gustavo Fring)

Dilansir News Medical Life Sciences, ada pula teori "hygiene hypothesis", yang berpendapat bahwa kurangnya paparan mikroorganisme selama masa kanak-kanak memengaruhi mikrobioma usus (total populasi mikroba pada manusia) dan menyebabkan sistem kekebalan mengidentifikasi protein makanan sebagai agen infeksi secara keliru. Infeksi parasit, khususnya, biasanya dilawan oleh mekanisme kekebalan yang sama yang digunakan untuk mengatasi alergi.

Teori ini mengusulkan bahwa setelah lahir, tubuh bersentuhan dengan beragam bakteri di udara, di tanah, dan dalam makanan, yang mengisi usus untuk membentuk mikrobiota usus. Mikrobiota sangat penting sehingga jumlahnya melebihi 27 hingga 37 triliun sel dalam tubuh kita sekitar tiga kali lipat, dengan masing-masing dari kita membawa sekitar 3 triliun bakteri di dalam tubuh.

Teori ini mendalilkan bahwa kebersihan yang berlebihan atau penggunaan antibiotik yang dipraktikkan sebagai bagian dari kehidupan modern telah membatasi paparan berbagai bakteri yang telah berevolusi bersama manusia. Paparan ini membantu tubuh mengembangkan sistem kekebalan yang diatur dengan baik, yang tidak bereaksi abnormal terhadap alergen yang tidak berbahaya dan menganggapnya sebagai ancaman.

4. Teori hubungan antara alergi dan vitamin D

Kasus Alergi Makanan Dikatakan Terus Meningkat, Apa Penyebabnya?ilustrasi orangtua dan anak bermain di ruang terbuka (pexels.com/Alexandr Podvalny)

Teori lainnya, yang juga berhubungan dengan kehidupan modern, berhubungan dengan fakta bahwa ada elemen geografis pada peningkatan prevalensi alergi makanan. Para peneliti mulai memperhatikan bahwa prevalensi alergi tampaknya berkaitan dengan ketersediaan sinar matahari.

Peneliti Australia, Katie Allen dan Carlos Camargo melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa kurangnya paparan sinar matahari, yang dapat menyebabkan kekurangan vitamin D, dapat meningkatkan risiko anak terkena alergi telur sebanyak tiga kali lipat dan risiko alergi kacang hingga 11 kali lipat.

Sumber teori ini adalah vitamin D dapat membantu sistem kekebalan tubuh, sehingga tubuh kurang rentan terhadap alergi. Kehidupan perkotaan dan waktu yang dihabiskan di dalam ruangan mengurangi paparan lingkungan alami dan sinar matahari, dan ketika anak-anak terpapar sinar matahari, orangtua sering mengikuti rekomendasi untuk menutupi kulit anak dengan tabir surya.

Ketika populasi meningkat dan menjadi lebih padat, paparan kita terhadap ruang hijau dan lingkungan alami berkurang, yang berarti sistem kekebalan kehilangan banyak kesempatan untuk menghadapi mikroba dan akses ke sinar matahari.

Meskipun para peneliti umumnya berpikir peningkatan prevalensi alergi makanan didorong oleh banyak faktor, penelitian menunjukkan bahwa peningkatan urbanisasi tampaknya menjadi prediktor kuat pada populasi tertentu. Di AS contohnya, prevalensi kekurangan vitamin D diperkirakan hampir dua kali lipat lebih dibanding satu dekade lalu.

5. Diagnosis alergi makanan

Kasus Alergi Makanan Dikatakan Terus Meningkat, Apa Penyebabnya?ilustrasi skin prick test untuk membantu mengidentifikasi alergen (foodallergy.org)

Alergi makanan tentunya tidak boleh dianggap remeh. Bila curiga dirimu atau anak mengalami alergi makanan tertentu, baiknya konsultasikan ke dokter untuk membantu mengetahui makanan pemicu alergi.

Dilansir Mayo Clinic, tidak ada tes sempurna untuk mengonfirmasi atau mengesampingkan alergi makanan. Dokter akan mempertimbangkan sejumlah faktor sebelum menegakkan diagnosis. Faktor-faktor ini termasuk:

  • Gejala: beri tahu dokter secara rinci mengenai gejala yang dirasakan, setelah konsumsi makanan apa, berapa banyak, dan sebagainya.
  • Riwayat alergi dalam keluarga.
  • Pemeriksaan fisik: untuk mengidentifikasi atau mengesampingkan kemungkinan masalah medis lainnya.
  • Tes kulit: tes tusuk kulit bisa menentukan reaksi terhadap makanan tertentu. Dalam tes ini, sejumlah kecil makanan yang dicurigai ditempatkan di kulit lengan bawah atau punggung. Dokter kemudian akan menusuk kulit dengan jarum untuk memungkinkan sejumlah kecil zat masuk ke bawah permukaan kulit. Jika kamu alergi terhadap zat tertentu yang sedang diuji, akan ada benjolan atau reaksi yang meningkat. Namun, perlu diingat bahwa reaksi positif terhadap tes ini saja tidak cukup untuk mengonfirmasi alergi makanan.
  • Tes darah: dapat mengukur respons sistem kekebalan terhadap makanan tertentu dengan mengukur antibodi terkait alergi yang dikenal sebagai imunoglobulin E (IgE).
  • Diet eliminasi: kamu mungkin diminta untuk menghilangkan makanan yang dicurigai memicu alergi selama satu atau dua minggu, kemudian menambahkan kembali makanan tersebut ke dalam pola makan satu per satu. Proses ini dapat membantu menghubungkan gejala dengan makanan tertentu. Namun, diet eliminasi tidak dapat memberi tahu reaksi terhadap makan merupakan alergi atau sensitivitas makanan. Selain itu, bila kamu pernah mengalami reaksi parah terhadap makanan di masa lalu, diet eliminasi mungkin tidak aman.
  • Tantangan makanan oral: dokter akan memberikan makanan dalam jumlah kecil namun meningkat yang diduga menyebabkan gejala alergi. Bila tidak ada reaksi, makanan yang dicurigai bisa kembali dikonsumsi.

Jika setelah pemeriksaan ditemukan bahwa kamu atau anak punya alergi makanan tertentu, tak perlu khawatir karena dokter bisa membantu mengendalikan kondisi ini, baik dari frekuensi kekambuhan atau tingkat keparahan reaksi yang dialami.

Itulah penjelasan mengenai peningkatan prevalensi alergi makanan selama beberapa tahun belakangan dan berbagai teori yang mencoba menjelaskan fenomena ini. Semoga bermanfaat!

Baca Juga: Urtikaria Aquagenik, Alergi Air yang Bikin Penderitanya Sulit Mandi

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya