Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

10 Sutradara yang Kariernya Melejit berkat Cannes Film Festival

Xavier Dolan pada set film Mommy (dok. Metafilms/Mommy)

Cannes Film Festival adalah salah satu platform terstrategis untuk dapat eksposur. Dengan sejarah penyelenggaraannya yang sudah memasuki tahun ke-78 dan proses seleksi yang ketat, kualitas film yang berhasil tayang di sana jelas tak main-main. Tak heran pula kalau banyak sutradara jebolan Cannes Film Festival yang kariernya melejit, seperti sepuluh nama berikut.

Tak langsung berkompetisi merebutkan Palem Emas, banyak di antara mereka yang jadi newbie dengan berpartisipasi untuk kategori khusus pendatang baru (Caméra d'Or), film indie (Un Certain Regard), dan kompetisi paralel Cannes (Semaine de la Critique, Director's Fortnight, serta ACID Cannes). Mari, bahas satu per satu sepak terjang mereka dalam festival bergengsi itu. 

1. Ruben Ostlund pertama kali berpartisipasi pada Cannes Film Festival lewat film Involuntary

Involuntary (dok. Plattform Produktion/Involuntary)

Bergelar salah satu sutradara paling tersohor dari Swedia, Ruben Östlund ternyata jebolan Un Certain Regard Cannes Film Festival. Ia berhasil menembus persaingan ketat lewat film antologi Involuntary pada 2008. Karena kepiawaiannya membuat cerita psychodrama, ia melanjutkannya lewat film fitur keduanya, Play (2011), yang tayang pada Director's Fortnight.

Gebrakan kembal terjadi saat Force Majeure (2014). Karyanya berhasil dapat Jury Prize untuk kategori Un Certain Regard. Sejak itu, film-film fiturnya jadi langganan Cannes. The Square (2017) dan Triangle of Sadness (2022) masing-masing diputar perdana pada Cannes Film Festival dan berkompetisi untuk kategori utama. Film terakhirnya itu bahkan berhasil meraih Palem Emas.

2. Xavier Dolan debut Cannes Film Festival pada usia 20 tahun

I Killed My Mother (dok. Mifilifilms/I Killed My Mother)

Partisipasi perdana Xavier Dolan pada Cannes Film Festival bermula dari pemutaran perdana film I Killed My Mother (2009) pada Director's Fortnight. Lalu, ia melanjutkan dengan film Heartbeats (2010) dan Laurence Anyways (2012) yang berhasil tayang untuk kategori Un Certain Regard. Dolan akhirnya meraih trofi pertamanya pada festival itu lewat film Mommy (2014). 

Berkompetisi untuk kategori utama, Mommy mengantarkan dolan membawa piala Grand Prix (film terbaik kedua). Ia sempat berpartisipasi lagi pada Cannes 2019 lewat film Matthias & Maxime. Selain sutradara, Dolan juga berprofesi sebagai aktor, baik untuk filmnya sendiri maupun arahan sineas lain. 

3. Justine Triet tembus Cannes lewat salah satu kompetisi paralelnya

Age of Panic (dok. Unifrance/Age of Panic)

Sebelum memenangkan Palem Emas pada 2023 berkat film Anatomy of a Fall, Justine Triet lebih dulu dikenal lewat film-film arthouse macam Age of Panic (2013), In Bed with Victoria (2016), dan Sibyl (2019). Age of Panic adalah film pertamanya yang berhasil tayang di Cannes, tepatnya pada salah satu festival paralelnya, yakni ACID Cannes.

Dua film berikutnya memang kurang sukses secara komersial, tetapi Anatomy of a Fall jadi gebrakan terbesar Triet. Film itu menandai partisipasi pertamanya pada kompetisi utama dan langsung rebut Palme d'Or. Tak hanya jadi momen istimewa untuk dirinya sendiri, Triet mencetak sejarah sebagai sutradara perempuan ketiga yang berhasil meraih piala bergengsi tersebut.

4. Alice Rohrwacher, sutradara Italia yang hampir semua filmnya premier pada Cannes

film Corpo Celeste (dok. Unifrance/Corpo Celeste)
film Corpo Celeste (dok. Unifrance/Corpo Celeste)

Alice Rohrwacher menembus Cannes Film Festival lewat jalur kompetisi paralel, tepatnya Director's Fortnight. Film Corpo Celeste (2011) yang terpilih itu bahkan membuatnya meraih gelar Best New Director. Ia kembali ke Cannes pada 2014 dengan film The Wonders dan itu jadi partisipasi perdananya untuk kategori utama dan momen pertamanya meraih trofi Grand Prix. 

Empat tahun berselang, Rohrwacher sukses besar karena film Happy as Lazzaro (2018) dapat gelar Naskah Terbaik. Pada 2021 dan 2023, Rohrwacher kembali ke Cannes dengan film Futura (kolaborasi dengan beberapa sutradara lain) dan La Chimera. Keduanya berkompetisi untuk kategori utama. 

5. Andrea Arnold mengoleksi tiga Jury Prize sejauh ini

Red Road (dok. BAFTA/Red Road)

Bukan sutradara sembarangan, sebelum jadi langganan Cannes, Andrea Arnold sudah pernah menembus Oscar dengan film pendeknya Wasp (2003). Arnold sendiri memulai kariernya dengan merilis film-film pendek powerful, macam Dog dan Milk yang menandai spesialisasinya pada genre realisme sosial.

Tidak seperti sutradara-sutradara sebelumnya, Arnold langsung berkompetisi untuk kategori utama saat debut Cannes. Ia bahkan meraih tiga Jury Prize sejauh ini lewat film Red Road (2006), Fish Tank (2009), dan American Honey (2016). Film dokumenter Cow (2021) diundang tayang perdana di Cannes, tetapi tidak dikompetisikan. Terbaru, film Bird (2024) jadi jagoannya untuk perebutan Palme d'Or tahun ini.

6. Sejak 2000-an, Hirokazu Koreeda jadi langganan Cannes Film Festival

Distance (dok. IFC Films/Distance)

Perjalanan Koreeda pada Cannes Film Festival bermula dari Distance (2001) yang dapat nominasi Palem Emas. Disusul Nobody Knows (2004), film tersebut melambungkan nama aktor cilik Yuya Yagira. Koreeda juga pernah berpartisipasi untuk kategori Un Certain Regard lewat film nyentrik Air Doll (2009). Koreeda kembali ke kompetisi utama bersama Like Father, Like Son (2013).

Sejak itu, ia tak terbendung lagi. Our Little Sister (2015), After the Storm (2016), Shoplifters (2018), Broker (2022), dan Monster (2023) berpartisipasi dalam perebutan Palme d'Or. Koreeda mengoleksi beberapa penghargaan Cannes berkat karya-karya briliannya itu. Ada Jury Prize untuk Like Father, Like Son; Palem Emas untuk Shoplifters; dan Naskah Terbaik untuk Monster

7. Kaouther Ben Hania si jebolan ACID Cannes

Beauty and the Dogs (dok. MUBI/Beauty and the Dogs)

Sebelum meraih dua nominasi Oscar, Kaouther Ben Hania ternyata debut pada ACID Cannes lewat film Challat of Tunis (2013). Ia berhasil masuk ke festival utama pada 2017 saat film one-take imersifnya, Beauty and the Dogs, dinyatakan berhak tayang untuk kategori Un Certain Regard. Sempat merilis The Man Who Sold His Skin (2020) yang dapat nominasi Oscar, Ben Hania baru kembali ke Cannes Film Festival 3 tahun berikutnya lewat dokumenter Four Daughters (2023). Film itu meraih Golden Eye, penghargaan tertinggi untuk film dokumenter pada Cannes Film Festival. 

8. Mia Hansen-Løve debut pada Director's Fortnight

All is Forgiven (dok. Film at Lincoln Center/All is Forgiven)

Sebagai pendatang baru, Hansen-Love tak serta-merta berkompetisi pada official selections alias kategori utama. Film fitur debutnya, All Is Forgiven (2007), berhasil tayang pada segmen paralel Cannes, Director's Fortnight. Keterlibatannya pada Cannes dilanjut Father of My Children (2009) yang dapat Jury Prize untuk kategori Un Certain Regard. Sempat vakum lama dari Cannes, Hansen Love kembali pada 2021 lewat Bergman Island dan One Fine Morning setahun berikutnya.

9. Apichatpong Weerasethakul, perwakilan reguler Asia Tenggara pada Cannes Film Festival

Tropical Malady (dok. Celluloid Dreams/Tropical Malady)

Weerasethakul mungkin satu-satunya sutradara Asia Tenggara yang jadi langganan Cannes Film Festival. Keterlibatan perdananya terjadi pada 2002 lewat film Blissfully Yours yang tayang untuk kategori Un Certain Regard. Dua tahun berikutnya, ia berhasil membawa Jury Prize untuk kategori utama berkat Tropical Malady (2004).

Puncaknya terjadi pada 2010 saat Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Lives memenangkan Palem Emas. Sejak itu, Weerasethakul tak kesulitan dapat jatah penayangan perdana pada Cannes. Tiga filmnya, Mekong Hotel (2012), Cemetery of Splendour (2015), dan Memoria (2021), tercatat berpartisipasi pada Cannes Film Festival. 

10. Yorgos Lanthimos meroket berkat Dogtooth yang berkompetisi untuk kategori Un Certain Regard

Dogtooth (dok. MK2 Films/Dogtooth)

Sebelum dikenal sebagai langganan Oscar dan ikon A24, Yorgos Lanthimos meroket usai film fitur ketiganya, Dogtooth, memenangkan penghargaan utama untuk kategori Un Certain Regard pada Cannes Film Festival 2009. Kesuksesannya disusul The Lobster (2016) yang dapat Jury Prize untuk kategori utama. Setahun kemudian, Lanthimos kembali meraih gelar lewat The Killing of a Sacred Deer (2017) yang dinobatkan sebagai film dengan naskah terbaik pada festival itu.

Dari debutan jadi langganan Cannes Film Festival mungkin kata-kata yang cocok menggambarkan kesepuluh sutradara di atas. Memang tak ada yang instan di dunia ini. Sebelum kariernya meroket, mereka semua harus memulai dari kategori nonutama dulu. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwi Ayu Silawati
EditorDwi Ayu Silawati
Follow Us