5 Film dan Serial yang Representasi Kulturalnya Dianggap Buruk

Ada yang bilang kalau kamu belum pernah ke suatu tempat, jangan coba-coba membuat film atau buku yang berlatar tempat tersebut. Tujuannya jelas untuk menghindari bias stereotip dan stigma yang melekat pada satu tempat dan penduduknya. Mirisnya, gak semua orang mengamini nasihat bijak itu.
Alhasil, tak sedikit film yang referensi kulturalnya justru jadi senjata makan tuan. Kebanyakan karena tak melakukan riset yang benar-benar mendalam dan dimanjakan posisi mereka sebagai orang kulit putih. White gaze istilahnya, yakni ketika orang kulit putih beranggapan kalau perspektif mereka soal orang di luar komunitasnya itu benar dan objektif, padahal bisa jadi sebaliknya.
Kelima film dan serial berikut bisa jadi contoh nyatanya. Mari pelajari polanya dan jadikan pelajaran.
1. Emilia Perez (2024)

Secara plot dan format, Emilia Pérez memang tipe film Oscar-worthy (layak dapat Oscar). Betul saja, mereka masuk shortlist Oscar, mendominasi European Film Awards, dan berjaya dalam perolehan nominasi Golden Globes. Namun, siapa sangka banyak yang menyayangkan cara Jacques Audiard merepresentasikan Meksiko.
Sebagai orang Prancis, Audiard dalam sebuah wawancara mengaku tidak melakukan banyak riset soal Meksiko, alih-alih belajar bahasa Spanyol. Ia juga tidak mendapuk aktor asli Meksiko untuk ketiga peran utama dalam film tersebut. Pemilihan Selena Gomez yang bahasa Spanyolnya dalam film tidak sempurna pun jadi bahan hujatan empuk.
2. American Sniper (2014)

Berjaya di Oscar dengan raihan 6 nominasi, American Sniper ternyata masuk salah satu film yang problematik. Tidak hanya meromantisasi perang, film karya Clint Eastwood yang diadaptasi dari memoar seorang veteran Perang Irak itu juga gagal menyajikan representasi berimbang dan objektif. Terutama penduduk sipil yang jadi korban perang.
Dalam beberapa adegan, mereka justru didemonisasi. Secara strategis, film "menyensor" fakta bahwa Amerika Serikat yang memulai perang di negara tersebut. Eastwood justru membingkai film tersebut dengan propaganda bahwa Amerika sedang melakukan operasi militer memerangi terorisme, padahal Perang Irak awalnya bukan soal itu.
3. Emily in Paris (2020—2024)

Emily in Paris juga jadi bulan-bulanan warganet, terutama orang-orang Prancis asli yang merasa tak terwakili. Ditulis dari sudut pandang perempuan Amerika Serikat yang bekerja di Paris, banyak adegan dan percakapan yang amat stereotipikal.
Selain cara berpakaiannya yang dianggap cringe, fakta bahwa Emily tidak bisa berbahasa Prancis sama sekali meski bekerja di perusahaan lokal bikin banyak pihak gerah. Itu dianggap sebagai penggambaran yang tidak realistis. Ketimbang bekerja, Emily (Lily Collins) justru seperti seseorang yang sedang berlibur.
Terlebih lagi, produser memotret Kota Paris sebagai tempat yang super estetik, tanpa masalah kebersihan, dan ketimpangan sosial. Kamu lebih baik nonton film-film garapan sineas Prancis asli untuk tahu keadaan Kota Paris yang sebenarnya.
4. Borat (2006)

Menggondol satu nominasi Oscar, Borat sempat disebut salah satu film komedi terbaik. Namun, setelah diperhatikan, sebenarnya film ini amat problematik.
Pertama, film ini membahas Kazakhstan, tetapi sama sekali tak melibatkan aktor asal negara Asia Tengah tersebut. Lakonnya justru diperankan Sacha Baren Cohen yang seorang Yahudi Ashkenazi.
Kedua, dialog, adegan, dan gurauan di dalamnya banyak yang bernada stereotipikal dan ofensif. Tak hanya orang Asia Tengah yang dipotret secara serampangan, beberapa karakter Eropa Timur dalam film tersebut juga jadi korban. Cohen sepertinya tidak merasa kalau Borat adalah blunder. Ia merilis sekuelnya pada 2020.
5. Slumdog Millionaire (2009)

Slumdog Millionaire memang mencuri perhatian, tetapi ternyata tak lepas dari kritik karena representasi kulturalnya yang menurut sebagian orang tidak tepat. Terutama karena film ini terkesan seperti poverty-porn dan memberikan kesan kalau India adalah negara yang terbelakang. Sebagai sutradara non-India, Danny Boyle dianggap menggunakan white gaze saat menggarap film tersebut.
Selama ini, film-film Hollywood memang sering memotret India dengan cara stereotipikal. Mereka akan fokus pada kemiskinan, ketimpangan kelas, dan norma konservatif yang berlaku di sana. Namun, kasus Slumdog Millionaire sebenarnya sebuah perdebatan sengit. Tak sedikit yang menganggap isu-isu sosial dan kemiskinan dalam film tersebut sesuai dengan realitas.
Film memang produk hiburan yang bersifat fiktif. Namun, gak salah ketika penonton berharap mereka dibuat sejeli mungkin, apalagi untuk film-film yang memang mengeklaim terinspirasi dari kisah nyata atau mewakili komunitas tertentu. Apa pendapatmu?