5 Film Klasik dengan Pesan Feminis yang Patut Diapresiasi

Di balik gemerlap film-film yang menampilkan pahlawan laki-laki dan kisah cinta konvensional, ada sejumlah karya klasik membawa pesan feminis yang kuat. Film-film ini mungkin tidak selalu populer di masanya, tapi keberanian mereka dalam menyorot perjuangan perempuan membuatnya layak dikenang, bahkan wajib ditonton ulang hari ini.
Apa yang membuat film-film ini begitu istimewa bukan hanya karena siapa yang membuatnya, tapi bagaimana mereka menggambarkan dunia dari perspektif yang jarang terlihat di layar lebar. Di tengah industri film yang masih didominasi laki-laki, kelima film ini menjadi bukti bahwa suara perempuan bisa begitu kuat, puitis, dan tak terlupakan.
Ini rekomendasi film klasik dengan pesan feminis yang patut diapresiasi. Kamu bisa menontonnya untuk melihat keindahan pesan feminisme dalam film-film klasik!
1. The Seashell and the Clergyman (1928)

Germaine Dulac mungkin tak sepopuler Salvador Dalí atau Man Ray, tapi ia pelopor dalam sinema surealis dan feminis. The Seashell and the Clergyman merupakan film eksperimental bisu yang menggunakan teknik inovatif, seperti potongan cepat, bayangan dramatis, dan visual terisolasi, untuk menyampaikan pesan penindasan dan hasrat.
Film ini memperlihatkan bagaimana seorang pria mengidam-idamkan seorang perempuan, tetapi visual surealisnya menyelamatkan sang perempuan dari objekifikasi. Ini disebut-sebut sebagai film surealis pertama, bahkan mendahului Un Chien Andalou. Dulac memanfaatkan gaya visual yang aneh dan menantang sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi laki-laki dan struktur patriarki.
2. Madchen in Uniform (1931)

Film Jerman ini jadi karya penting dalam sejarah sinema feminis dan queer. Berlatar di sekolah asrama khusus perempuan, film ini mengikuti kisah seorang siswi yang jatuh cinta pada guru perempuanya. Disutradarai Leontine Sagan, Mädchen in Uniform menggambarkan dengan penuh empati tentang identitas serta tekanan sosial terhadap perempuan.
Mädchen in Uniform sempat dilarang oleh rezim Nazi, karena dianggap terlalu progresif. Namun, seiring waktu Mädchen in Uniform menjadi karya ikonik karena keberaniannya menyuarakan pengalaman perempuan dan cinta sesama jenis. Film ini juga menyoroti bagaimana perempuan kerap dipaksa mengikuti jalan hidup yang sudah ditentukan, meskipun keinginan mereka berkata lain.
3. One Sings, The Other Doesn't (1977)

Disutradarai Agnès Varda, One Sings, The Other Doesn’t hadir sebagai respons atas perjuangan perempuan Prancis untuk mendapatkan hak atas tubuhnya, terutama soal legalisasi aborsi. Ceritanya mengikuti dua sahabat perempuan yang mencoba mengumpulkan uang agar salah satu dari mereka bisa melakukan aborsi secara aman.
Dengan pendekatan yang lembut dan manusiawi, film ini menyampaikan betapa pentingnya akses kesehatan reproduksi bagi perempuan. Lebih dari sekadar isu aborsi, film ini juga memperlihatkan perjalanan dua sahabat dalam menghadapi kehidupan, seperti menjadi ibu, menghadapi kehilangan, membangun relasi baru, hingga turun ke jalan untuk menyuarakan hak.
4. Born in Flames (1983)

Dengan durasi hanya 80 menit, Born in Flames adalah film yang penuh semangat perlawanan. Berlatar di New York pasca-revolusi yang katanya telah membawa kesetaraan, film ini justru menunjukkan bahwa perempuan masih menghadapi diskriminasi. Lewat siaran radio bajakan, para tokohnya menyuarakan kegelisahan mereka terhadap ketidakadilan yang terus terjadi.
Lizzie Borden menyatukan genre fiksi ilmiah, dokumenter, dan crime untuk menciptakan dunia, di mana perempuan dari berbagai latar belakang bersatu melawan opresi. Isu rasisme, homofobia, dan seksisme dibahas secara berani. Dengan gaya yang terasa mentah tapi nyata, film ini menjadi semacam manifesto feminis yang masih relevan hingga hari ini.
5. Daughters of the Dust (1991)

Julie Dash mencetak sejarah sebagai perempuan kulit hitam pertama yang filmnya dirilis secara luas di bioskop AS. Daughters of the Dust membawa penonton ke awal abad ke-20, mengikuti kehidupan para perempuan Gullah, komunitas Afrika—Amerika yang tinggal di wilayah pesisir. Film ini menyajikan cerita yang selama ini jarang diangkat oleh Hollywood.
Dengan struktur cerita non-linier, Dash menyoroti pergulatan antar generasi, yaitu antara mempertahankan akar budaya atau mengejar masa depan di tempat baru. Eksperimen naratif dan sinematiknya membuktikan bahwa Dash adalah pembuat film visioner. Film ini menunjukkan identitas perempuan kulit hitam dan kekuatan mereka dalam menghadapi perubahan.
Kalau kamu suka film dengan cerita yang kuat dan pesan mendalam, lima film ini bukan hanya layak ditonton, tapi juga perlu diapresiasi. Siapa tahu, film-film ini kamu bisa melihat isu perempuan dari sudut pandang yang belum pernah kamu pikirkan sebelumnya.