5 Kemenangan Sutradara di Oscar yang Menuai Kontroversi

Pembacaan nominasi Oscar 2025 memang sudah berlalu, tetapi gaungnya masih terasa hingga kini. Salah satu perbincangan utama adalah Emilia Pérez (2024) yang disutradarai oleh Jacques Audiard. Tak hanya meraih nominasi terbanyak dengan 13 nominasi, film musikal kriminal Netflix ini juga memicu berbagai kontroversi.
Kontroversi yang melingkupi Emilia Pérez beragam, mulai dari representasi identitas transgender hingga penggambaran budaya Meksiko. Audiard dikritik karena dianggap tak melakukan riset mendalam tentang konteks Meksiko, sehingga beberapa pihak menilai film ini sebagai "karikatur yang tidak sensitif." Tak heran jika pencalonannya di kategori Best Director Oscar 2025 turut dipertanyakan oleh publik.
Jauh sebelum konflik Audiard lewat Emilia Pérez, Oscar sendiri sebenarnya telah diwarnai kontroversi sejak lama. Lima sutradara yang memenangkan penghargaan bergengsi ini bahkan tak lepas dari sorotan dan perdebatan sengit. Siapa saja mereka?
1. Robert Benton lewat Kramer vs. Kramer (1979) di Oscar 1980

Jauh sebelum Marriage Story (2019), Kramer vs. Kramer telah lebih dulu mengoyak emosi penonton lewat drama perceraian yang getir. Film ini mengisahkan Ted Kramer (Dustin Hoffman), seorang eksekutif yang ambisius, harus menghadapi kenyataan pahit ditinggalkan istrinya, Joanna (Meryl Streep). Tak hanya kehilangan pasangan, Ted juga harus berjuang menjadi orangtua tunggal bagi putra mereka, Billy (Justin Henry).
Di Oscar 1980, Kramer vs. Kramer berjaya dengan membawa pulang lima piala, termasuk Best Picture dan Best Director untuk Robert Benton. Kemenangan Benton ini dianggap kontroversial, karena ia berhasil mengalahkan sutradara-sutradara hebat lainnya, seperti Francis Ford Coppola dengan Apocalypse Now (1979) dan Bob Fosse dengan All That Jazz (1979). Banyak yang merasa Coppola lebih pantas mendapatkan penghargaan tersebut, mengingat Apocalypse Now adalah film epik berlatar Perang Vietnam yang hingga kini masih dipuji.
2. Robert Redford lewat Ordinary People (1980) di Oscar 1981

Setahun setelah kemenangan kontroversial Robert Benton di Oscar 1980, ajang Academy Awards 1981 kembali diwarnai polemik. Kala itu, sorotan tertuju pada Robert Redford yang meraih penghargaan Best Director lewat film debutnya, Ordinary People. Keberhasilannya ini dianggap kontroversial karena Redford adalah seorang aktor kawakan yang baru pertama kali menyutradarai film.
Lebih mencengangkan lagi, Redford berhasil mengungguli Martin Scorsese, sutradara yang telah lama malang melintang di dunia perfilman dan dinilai lebih layak melalui mahakaryanya, Raging Bull (1980). Hal ini memicu perdebatan sengit mengenai standar penilaian Academy dan preferensi mereka terhadap film dengan tema yang lebih konvensional. Walaupun demikian, tak bisa dimungkiri bahwa Ordinary People adalah film berkualitas tinggi.
Ordinary People sendiri berkisah tentang keluarga Jarrett yang tampak sempurna dari luar. Namun, di balik fasadnya, keluarga ini menyimpan luka mendalam akibat kematian putra sulung mereka. Film ini menggambarkan dengan apik dinamika keluarga yang kompleks dan upaya mereka untuk saling memahami di tengah kesedihan, bertolak belakang dengan Raging Bull yang sajikan psikodrama seorang petinju.
3. Kevin Costner lewat Dance with Wolves (1990) di Oscar 1991

Serupa Robert Redford lewat Ordinary People, Kevin Costner juga mencetak sejarah manis lewat film debutnya sebagai sutradara, Dances with Wolves. Film berlatar Perang Saudara Amerika ini sukses besar di box office dan meraih 12 nominasi Oscar, termasuk Best Director dan Best Picture. Pada akhirnya, Dances with Wolves menyabet 7 piala emas, termasuk dua penghargaan bergengsi tersebut.
Dances with Wolves mengisahkan Letnan John Dunbar (Costner), seorang perwira Union yang ditempatkan di sebuah pos terpencil di wilayah Dakota selama Perang Saudara. Di sana, ia menjalin persahabatan yang erat dengan suku Indian Lakota dan belajar memahami budaya mereka yang kaya. Dunbar, yang awalnya merasa terasing, akhirnya menemukan kedamaian dan makna hidup yang baru di tengah masyarakat Lakota.
Namun, serupa Redford pula, kemenangan Costner turut memicu kontroversi karena ia mengalahkan Martin Scorsese dengan Goodfellas (1990). Banyak kritikus dan penonton menganggap film gangster ini adalah salah satu film terbaik Scorsese, dan ia belum pernah memenangkan Oscar pada saat itu. Meskipun Scorsese pada akhirnya berhasil meraih pengakuan lewat The Departed (2006), perdebatan mengenai siapa yang lebih pantas menang tetap menjadi topik hangat hingga kini.
4. Roman Polanski lewat The Pianist (2002) di Oscar 2003

Dari era 70-an, 80-an, dan 90-an, kita beranjak ke era 2000-an di mana kontroversi Oscar datang dari The Pianist. The Pianist sendiri adalah film drama perang biografi yang mengisahkan perjuangan seorang pianis Yahudi Polandia bernama Władysław Szpilman (Adrien Brody) dalam bertahan hidup di Warsawa yang diduduki Nazi selama Perang Dunia II. Meski tak bisa hadir di acara tersebut, kemenangan Roman Polanski, sebagai sutradara, di kategori Best Director tetap menggemparkan Hollywood.
Kemenangan ini diwarnai kontroversi, karena pada saat itu, Polanski berstatus sebagai buronan setelah mengaku bersalah atas kasus pelecehan anak pada 1977. Banyak yang menilai bahwa penghargaan tersebut tak pantas diberikan kepada seseorang yang memiliki catatan kriminalitas serius, sementara yang lain berpendapat bahwa karya Polanski, The Pianist, memang layak mendapatkan apresiasi tertinggi. Kini, sang sineas diketahui telah dikeluarkan dari keanggotaan Academy sejak 2018.
5. Tom Hooper lewat The King's Speech (2010) di Oscar 2011

David Fincher memang telah tiga kali gagal meraih Piala Oscar sebagai Best Director. Namun, tak ada yang bisa melupakan ketika Tom Hooper, sutradara The King's Speech, berhasil mengungguli Fincher di Oscar 2011. Kemenangan Hooper ini menjadi salah satu momen paling kontroversial dalam sejarah Oscar, terutama karena The Social Network (2010) arahan Fincher dianggap sebagai film yang lebih inovatif dan berbobot.
The King's Speech sendiri berkisah tentang perjuangan Raja George VI dari Inggris (Colin Firth) dalam mengatasi gagap bicara. Dengan bantuan sang terapis, Lionel Logue (Geoffrey Rush), sang raja berusaha keras memperbaiki kemampuan bicaranya menjelang momen-momen penting bagi kerajaan. Meski ceritanya inspiratif, dibanding The Social Network yang mengangkat asal-usul kompleks Facebook, film ini terlihat medioker oleh sebagian orang.
Setelah kemenangan kontroversialnya di Oscar, karier Tom Hooper justru mengalami pasang surut. Film-filmnya setelah The King's Speech, seperti Les Misérables (2012) dan The Danish Girl (2015), juga menuai berbagai macam kritikan meski masih masuk nominasi. Puncaknya adalah film Cats (2019) yang dianggap sebagai salah satu film terburuk di tahun tersebut dan membuatnya mendapatkan tiga penghargaan Razzie sekaligus.
Kontroversi seputar kemenangan sutradara di ajang Oscar menunjukkan bahwa penghargaan bergengsi ini tak lepas dari perdebatan dan kritik. Mulai dari isu representasi hingga keputusan yang dianggap tak adil, Oscar terus menjadi sorotan publik.
Meski begitu, perdebatan ini juga mencerminkan betapa pentingnya penghargaan tersebut dalam industri perfilman. Dengan memahami kontroversi yang terjadi, kita dapat lebih menghargai kompleksitas dan dinamika di balik layar Hollywood.