Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

9 Film tentang Pelanggaran HAM Berat yang Dilakukan Negara 

I'm Still Here (dok. Venice Film Festival/I'm Still Here)

Pelanggaran hak asasi manusia berat bukan sembarang istilah. Arti dan konsekuensinya cukup jelas dalam hukum. Menurut PBB, pelanggaran HAM sendiri meliputi pembunuhan, penyiksaan, perbudakan, diskriminasi sistematis, penahanan tidak sah, penghilangan paksa, dan migrasi paksa. Kata berat ditambahkan bilamana itu terjadi dalam skala besar dan bisa dapat label kejahatan HAM internasional apabila dilakukan oleh entitas resmi sebesar negara. Indonesia sendiri mengakui definisi itu dalam Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang Hak Asasi Manusia. 

Meski begitu, dalam praktiknya undang-undang itu tidak sepenuhnya diterapkan dalam semua kasus. Masih banyak kasus pelanggaran HAM berat di dunia dan negeri ini yang belum terselesaikan. Sebagai pengingat kalau kita masih punya banyak tugas di ranah penegakan HAM, perkaya wawasanmu dengan nonton 9 film berikut. Bicara pelanggaran HAM berat yang terjadi di berbagai wilayah di dunia, bersiaplah menerima kenyataan kalau hidup kita tak bisa lepas dari politik. 

1. Quo Vadis, Aida? (2020)

Quo Vadis, Aida? (dok. Palace Films/Quo Vadis, Aida?)

Quo Vadis, Aida? adalah penerima nominasi Oscar 2021 yang mencoba menceritakan kembali peristiwa genosida di Srebrenica pada 1995. Srebrenica adalah sebuah kota di Republik Sprska (wilayah yang sebagian dihuni etnik Serbia dan hendak memisahkan diri dari teritori Bosnia-Herzegovina yang baru merdeka). Kota itu berada di bawah kendali PBB selama konflik berlangsung dan jadi tempat orang-orang dari etnik Serbia berlindung.

Namun, saat logistik PBB tak memadai, PBB menerima tawaran militer Serbia di bawah komando Ratko Mladić untuk memindahkan para pengungsi ke tempat aman. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Film ditulis dari perspektif karakter fiktif bernama Aida (Jasna Djuricic), perempuan paruh baya Bosnia yang bekerja sebagai penerjemah di markas PBB di Srebrenica. 

2. Beast of No Nation (2015)

Beasts of No Nation (dok. Criterion/Beasts of No Nation)

Beast of No Nation berlatarkan sebuah negara di Afrika Barat yang lagi dan lagi terjebak dalam kudeta militer berdarah. Seorang bocah bernama Agu (Abraham Attah) terpisah dari keluarganya saat konflik mencapai pemukimannya. Setelah menyaksikan kengerian di desanya, ia yang tersesat seorang diri berpapasan dengan tentara gerilya pemberontak dan direkrut sebagai tentara pada usia yang amat belia.

Film tentang pelanggaran HAM berat ini diadaptasi dari novel berjudul sama karya Uzodinma Iweala. Film independen ini berhasil meraih beberapa nominasi bergengsi. Salah satunya Marcello Mastroianni Award (penghargaan untuk aktor muda atau pendatang baru di Venice Film Festival) untuk Abraham Attah. 

3. The Settlers (2023)

The Settlers (dok. MUBI/The Settlers)

The Settlers akan membawamu kembali ke awal abad 20, ketika koloni Eropa menduduki wilayah-wilayah strategis di Amerika Selatan. Salah satunya Tierra del Fuego yang kini jadi bagian dari Argentina dan Chile. Film mengikuti tiga pria utusan seorang pebisnis sekaligus politisi Spanyol yang hendak mengamankan lahan-lahan strategis di wilayah itu. 

Untuk melancarkan rencananya, ketiga pria itu harus menyingkirkan penduduk pribumi yang hidup nomaden. Berlangsung selama kurang lebih 2 dekade, bayangkan saja berapa banyak nyawa orang tak berdosa yang melayang demi kepentingan pemerintah kolonial Eropa di sana. The Settlers memang fiktif, tetapi terinspirasi dari berbagai testimoni dan catatan sejarah kelam pada masa itu. 

4. Sometimes in April (2005)

Sometimes in April (dok. Prime Video/Sometimes in April)

Sometimes in April adalah salah satu film yang mengangkat kasus perang sipil berdarah di Rwanda pada 1994. Dimulai dari ketegangan antaretnik yang tak pernah mereda, sebuah aksi pemberontakan berakhir jadi kuburan massal untuk rakyat sipil tak berdosa. Sometimes in April ditulis dari sudut pandang pria beretnik Hutu Augustin Muganza (Idris Elba) yang menyaksikan sendiri bagaimana milisi dari pihaknya melakukan genosida dan penyiksaan sistemik terhadap etnik Tutsi tanpa belas kasih.

Sepuluh tahun setelah kejadian itu, ia masih dihantui rasa bersalah dan trauma. Parahnya lagi, ia diminta kakak laki-lakinya untuk membelanya di pengadilan atas keterlibatannya dalam pelanggaran HAM berat itu. Selain film ini, konflik berdarah itu juga difilmkan dengan judul Hotel Rwanda (2004). 

5. From Ground Zero (2024)

From Ground Zero (dok. TIFF/From Ground Zero)

From Ground Zero adalah antologi film pendek karya puluhan seniman Palestina selama agresi Israel di Gaza 2023--2024. Film ini sempat ditolak tayang di Cannes Film Festival dan akhirnya berhasil dapat layar di Toronto International Film Festival 2024. Sutradara asal Gaza, Rashid Masharawi adalah kuratornya. Ia harus berjibaku dengan ketidakpastian dan keterbatasan logistik selama proses pembuatan film ini. From Ground Zero (2024) dipilih Palestina sebagai perwakilan mereka di Oscar 2025. 

6. Eksil (2022)

film Eksil (dok. Lola Amaria Production/Eksil)

Eksil adalah film tahun 2022 yang tayang di bioskop-bioskop Indonesia pada awal 2024. Film ini memang tidak menunjukkan kengerian seperti beberapa judul sebelumnya, tetapi sudah cukup membuat penonton merinding. Sesuai judulnya, film ini adalah serial wawancara Lola Amaria (sang sutradara) dengan sejumlah mahasiswa Indonesia yang kehilangan status kewarganegaraan mereka karena dianggap berpaham kiri.

Ini terjadi sejak Soeharto merebut kursi presiden pada 1960-an. Bersamaan dengan itu, di negeri sendiri, pembunuhan massal terhadap orang yang dianggap simpatisan komunis sedang terjadi. Lengkapi dengan nonton dua dokumenter berjudul The Act of Killing (2012) dan The Look of Silence (2014) untuk memperkaya konteks. 

7. I'm Still Here (2024)

I'm Still Here (dok. Venice Film Festival/I'm Still Here)

Tak hanya Indonesia yang pernah jatuh ke lubang perang paham berdarah selama Perang Dingin. Warga Brasil pun harus merasakannya saat junta militer mengambil alih pemerintahan mereka pada 1970-an. Eunice Paiva (Fernanda Torres) adalah salah satu perempuan yang harus menghadapi perubahan drastis dalam hidupnya sejak sang suami dicap sebagai simpatisan sosialis dan dihilangkan secara paksa oleh pemerintah.I'm Still Here juga dipilih sebagai submisi resmi Brasil untuk Oscar 2025 setelah tuai pujian pada penayangannya di Venice Film Festival. 

8. Argentina, 1985 (2022)

Argentina, 1985 (dok. Prime Video/Argentina, 1985)

Berhasil raih nominasi Oscar, Argentina, 1985 adalah reka ulang perjuangan sekelompok pengacara menuntut keadilan atas penghilangan paksa warga sipil oleh pemerintah junta. Film tidak fokus pada kejadian mengerikan, melainkan proses legal para pengacara ini mengumpulkan bukti dan testimoni di tengah tekanan dari pihak-pihak yang hendak mereka tuntut. Seperti di Brasil, kasus pelanggaran HAM berat di Argentina yang dilakukan otoritas itu juga berhasil diselesaikan dengan pengakuan, permintaan maaf resmi, dan hukuman setimpal untuk para pelaku. 

9. First They Killed My Father (2017)

First They Killed My Father (dok. Netflix/First They Killed My Father)

Film garapan Angelina Jolie ini diadaptasi dari memoar Loung Ung, aktivis HAM yang pernah mengalami kejadian pahit saat perang paham mengguncang Kamboja pada 1970-an. Ia yang lahir dari seorang ayah pegawai pemerintah dikirim ke kamp pekerja di bawah komando Khmer Merah bersama keluarganya. Terpisah dari orangtua dan saudaranya, dipaksa bekerja dengan logistik terbatas sampai direkrut jadi tentara anak mewarnai masa kecilnya.  

Ada yang berhasil diselesaikan, tak sedikit yang masih menggantung dan bahkan tak diakui, itulah kompleks dan mengerikannya kasus pelanggaran HAM berat. Berstatus bukan korban tidak bisa jadi alasan untuk tidak berempati. Melihat skala dan proses ekskalasinya, kasus ini bisa menimpa siapa saja. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwi Ayu Silawati
EditorDwi Ayu Silawati
Follow Us