Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kritik Sosial yang Dilontarkan Drama Korea D.P.

serial D.P. (dok. Netflix/D.P.)
serial D.P. (dok. Netflix/D.P.)

Sejak pertama dirilis pada 2021, drama Korea D.P. berhasil membuka ruang diskusi soal kebijakan wajib militer yang dibebankan pada penduduk laki-laki Korea Selatan dengan rentang usia 18—35 tahun. Saat akhirnya diperbarui ke musim kedua pada 28 Juli 2023, argumen yang mereka bawa semakin jelas. 

Meski tak setenar drakor Squid Game (2021) dan film Parasite (2019), kritik sosial yang D.P. lontarkan ternyata lebih komprehensif. Apa saja isu yang bisa digarisbawahi dari drakor andalan Netflix itu? 

1. Penyalahgunaan kekuasaan, kultur perundungan, dan budaya senioritas

serial D.P. (dok. Netflix/D.P.)
serial D.P. (dok. Netflix/D.P.)

Isu paling kentara dari D.P. adalah penyalahgunaan kekuasaan dan kultur perundungan. Sebagai sebuah institusi yang menekankan hierarki dan terpisah dari sistem kenegaraan sipil, militer secara tidak langsung jadi ceruk ideal untuk praktik-praktik penyalahgunaan kekuasaan. D.P. dengan piawai menggambarkan proses itu. Adegan-adegan mengganggu ketika para rekrutan baru harus jadi bulan-bulanan seniornya, baik secara verbal, psikis, dan fisik menghiasi musim perdananya. 

Pada musim kedua, penyalahgunaan kekuasaan dan manipulasi informasi yang dilakukan para petinggi jadi fokus baru. Salah satu kasus kunci yang jadi titik berat musim keduanya terinspirasi dari kejadian nyata pada 2005.

Melansir laporan Korea JoongAng Daily, seorang tentara Korsel yang teridentifikasi bernama Kim Dong Min pernah melukai dan menghilangkan nyawa rekan-rekannya usai dirinya dirundung. Seolah melupakan fakta soal perundungan yang terjadi, militer sibuk menekankan persona sang pelaku yang dianggap bermasalah, seperti introver, sulit beradaptasi, dan tidak sopan.

Pendekatan defensif militer yang mengabaikan isu perundungan digambarkan pula oleh kreator D.P. Ditambah dengan kritik lugas soal minimnya proteksi dan jaminan untuk kesejahteraan serta keselamatan para conscript (tentara wajib militer) selama melakoni tugasnya selama kurang lebih 24 bulan.

Serial D.P. juga menampilkan kultur hazing atau perundungan yang terjadi di institusi pendidikan pada salah satu episode di musim kedua. Ini secara tak langsung turut memperparah kondisi di barak militer Korea Selatan. 

2. Bahaya maskulinitas toksik dan glorifikasi kekerasan

serial D.P. (dok. Netflix/D.P.)
serial D.P. (dok. Netflix/D.P.)

Maskulinitas toksik juga jadi sumber masalah di drakor D.P.  Ini yang kemudian menjelaskan ayah sang lakon, An Jun Ho, melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pada sang ibu.

Melansir Monument Makhanya dalam tulisannya yang berjudul 'Causes and Consequences of Toxic Masculinity: Can HeForShe Be a Solution for Gender-Based Violence?' di jurnal IntechOpen, maskulinitas toksik merupakan faktor utama yang mendorong kekerasan berbasis gender.

Ini karena segala stereotip maskulin yang melekat pada laki-laki, seperti mendominasi dan melihat agresi/kekerasan sebagai bentuk normal dari ekspresi diri dan resolusi konflik, berdampak negatif ke masyarakat. Otomatis, ini pula yang membuat kehidupan di barak militer seperti neraka untuk para conscript di serial D.P. 

Kreator D.P. juga beberapa kali melontarkan kritik terhadap glorifikasi kekerasan. Ini terekspresikan lewat karakter Park Beo Gum, An Jun Ho, Han Ho Yeol, dan Jo Suk Bong. Mereka diceritakan sebagai orang-orang yang berusaha menggunakan jalan-jalan nirkekerasan (damai) dalam proses resolusi konflik. Namun, pendekatan itu jelas tidak populer di tengah kultur kekerasan yang tumbuh dan diglorifikasi di lingkungan mereka. 

3. Ketimpangan sosial ekonomi

serial D.P. (dok. Netflix/D.P.)
serial D.P. (dok. Netflix/D.P.)

Tidak seperti Squid Game dan Parasite yang menjadikan isu ketimpangan sosial ekonomi sebagai titik berat, D.P. hanya menyenggol beberapa hal soal ini. Misalnya, pada salah satu episode di musim pertama, duo An Jun Ho dan Han Ho Yeol menemukan fakta bahwa ada banyak pemuda dari keluarga kaya yang bisa menghindar dari wajib militer dengan kepemilikan paspor luar negeri.

Pada musim kedua, salah satu petinggi juga hendak menggunakan cara itu untuk memastikan putranya punya opsi untuk tidak melaksanakan wajib militer saat usianya sudah memenuhi syarat kelak. An Jun Ho dan Han Ho Yeol juga lahir dari keluarga yang berbeda secara kelas sosial dan ekonomi. Ketimpangan sosial ekonomi memang hanya jadi elemen pelengkap, tetapi cukup penting untuk tetap disertakan. 

D.P. memang melontarkan banyak kritik tajam pada sistem politik dan sosial Korea Selatan. Namun, mereka bermain aman dengan tidak menyentuh atau sedikit pun mempertanyakan urgensi kebijakan wajib militer Korsel pada era yang relatif damai ini. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwi Ayu Silawati
EditorDwi Ayu Silawati
Follow Us