3 Faktor Sukses Film Superman versi James Gunn

Film Superman (2025) versi James Gunn berhasil debut di Letterboxd dengan rating 4.0. Keunggulan film ini juga diamini pengguna IMDb yang secara kolektif memberi nilai >7,5 mengungguli adaptasi kontemporer komik DC itu seperti Superman Returns (2006) dan Man of Steel (2013).
Ini sebuah gebrakan bagus mengingat beberapa tahun belakangan, DC Studios kalah telak dibanding rivalnya, Marvel. Kesuksesan komersial Superman pun diprediksi bisa awal baru yang bagus untuk DC. Lantas, apa sebenarnya ramuan sukses Superman versi James Gunn? Setidaknya ini 3 faktor yang bisa jadi alasannya.
1. Memanjakan penggemar versi OG-nya

Superman versi James Gunn mengadopsi banyak elemen dari komik. Salah satunya kembalinya trunk (celana dalam) merah dalam kostum yang dipakai David Corenswet. Pada adaptasi DC sebelumnya — Man of Steel (2013) dan Batman v Superman (2016), Justice League (2017) garapan Zack Snyder — detail itu ditinggalkan. Superman versi Snyder terlihat mengenakan kostum yang lebih modern dan minimalis. Detail lain yang ditinggalkan Snyder adalah eksistensi Krypto, anjing super yang jadi teman setia Superman. Padahal, terbukti ketika disertakan dalam film versi Gunn, Krypto jadi semacam daya tarik tersendiri.
Superman yang diperankan David Corenswet di film terbarunya juga diklaim penonton mengingatkan mereka pada Christopher Reeves. Reeves adalah aktor pertama dalam sejarah Hollywood yang memerankan pahlawan super ikonik tersebut. Perannya melekat karena ia tercatat bermain di beberapa seri film sekaligus. Reeves juga mampu menciptakan dua persona berbeda, yakni saat jadi Clark Kent, si jurnalis kikuk dan Superman, alien dengan kekuatan super.
2. Ide-ide woke-nya menyegarkan

Superman versi James Gunn dapat label woke (sadar sosial dan umumnya condong ke politik sayap kiri). Ada beberapa elemen yang diklaim menunjukkan kecenderungan ini. Mulai dari keputusan Gunn menitikberatkan identitas Clark Kent sebagai alien yang bisa dianalogikan sebagai representasi imigran sampai posisinya yang tegas memihak kemanusiaan dan antiperang.
Masih ditambah fakta bahwa Superman versi baru ini menguarkan kualitas-kualitas maskulinitas positif. Ia dipotret lengkap dengan berbagai sisi rentan: bisa terluka, punya kelemahan yang terekspos, dan lebih melankolis. Nilai-nilai woke, seiring dengan popularitasnya yang naik beberapa tahun belakangan sering dipotret agak berlebihan dan terlalu kentara, sehingga tak jarang justru dicibir. Berkaca dari itu, Superman (2025) menyertakan nilai dan ide woke dalam porsi yang proporsional. Caranya juga cukup kreatif dan menyegarkan, tak kelewat cringe, cukup mulus dan mudah diterima. Kebanyakan dikemas dalam bentuk satire yang nampol, tapi tetap bikin tergelak.
3. Diramaikan karakter-karakter pendukung yang solid

Superman (2025) rasanya bakal hambar tanpa kontribusi karakter-karakter pendukung yang solid. Lex Luthor (Nicholas Hoult), Mr. Terrific (Edi Gathegi), Green Lantern (Nathan Fillion), dan Jimmy Olsen (Skyler Gisondo) sukses mencuri perhatian penonton. Berkat performa apik mereka, gak sedikit fans yang mendambakan screentime lebih bahkan film spin-off sendiri untuk beberapa karakter. Terutama Mr. Terrific yang memukau penonton dengan gaya dingin dan kegeniusannya.
Sayangnya, beberapa karakter perempuan seperti Lois Lane (Rachel Boschanan), Hawkgirl (Isabela Merced) dan The Engineer (María Gabriela de Faría) agak tenggelam di film ini. Karakter mereka kurang pengembangan, terlalu pasif dan tak banyak dapat momen yang memorable. Ini juga bisa jadi salah satu konsekuensi keputusan James Gunn memperkenalkan terlalu banyak karakter dalam satu film berdurasi 2 jam 9 menit.
Gak sedikit pula yang menganggap Superman versi baru ini bukan karya terbaik DC Studios dan James Gunn. Ada yang bilang ini terlalu kekanak-kanakan dan kurang dalam, ada yang keberatan dengan elemen woke-nya dan masih banyak kritik lain. Namun, satu yang pasti, secara komersial, Superman (2025) sukses besar dan bisa jadi awal yang cerah untuk pahlawan-pahlawan super DC.