5 Film Barat Serupa Mungkin Kita Perlu Waktu, Kisahnya Reflektif!

- Film Mungkin Kita Perlu Waktu mendapat respons positif berkat tema kesehatan mental yang menyentuh dan tak biasa.
- Ordinary People, In the Bedroom, dan Another Earth mengeksplorasi luka keluarga dalam ritme pelan, tapi mengena, serta pentingnya kejujuran emosional di tengah budaya yang cenderung menghindari pembicaraan soal perasaan.
- Waves dan The Son juga menyajikan kisah tentang kehilangan dan trauma, serta kompleksitas hubungan manusia yang sering kali tak terucap.
Pencinta film drama Indonesia kembali dimanjakan lewat kehadiran Mungkin Kita Perlu Waktu yang resmi tayang di bioskop sejak Kamis (15/5/2025). Disutradarai Teddy Soeriaatmadja, film ini menghadirkan pengalaman sinematik yang mendalam sekaligus menyayat hati. Sejak penayangan perdananya, Mungkin Kita Perlu Waktu langsung menuai respons positif berkat penyajian tema kesehatan mental yang menyentuh dan tak biasa.
Cerita berpusat pada Ombak (Bima Azriel), remaja yang tenggelam dalam rasa bersalah setelah kakaknya meninggal dalam kecelakaan mobil. Dibawakan dengan pendekatan intim dan observasional, Mungkin Kita Perlu Waktu menolak eksploitasi emosi berlebihan dan memilih memperlihatkan luka para karakter secara subtil. Nuansa kelam, tata suara hening, hingga interaksi antarkarakter yang penuh jeda menjadikan film yang turut dibintangi oleh Lukman Sardi, Sha Ine Febriyanti, dan Tissa Biani ini berbeda dari drama keluarga kebanyakan.
Kalau kamu menyukai gaya penceritaan lambat, tapi penuh makna seperti Mungkin Kita Perlu Waktu, ada sejumlah film Barat yang bisa kamu nikmati. Berikut lima rekomendasi film serupa yang sama-sama mengulik trauma, rasa kehilangan, dan hubungan antaranggota keluarga yang rumit dalam balutan drama emosional yang kuat.
1. Ordinary People (1980)

Meski usianya sudah lebih dari empat dekade, film karya Robert Redford yang meraih Best Picture di Oscar 1981 ini tetap terasa relevan untuk disaksikan hingga kini. Ordinary People mengikuti keluarga Jarrett pasca kematian putra sulung mereka dalam kecelakaan perahu. Sang adik, Conrad (Timothy Hutton, menang Best Supporting Actor lewat aktingnya di film ini), dihantui rasa bersalah dan depresi berat hingga sempat mencoba bunuh diri.
Di tengah suasana duka yang tak terselesaikan, ayahnya, Calvin (Donald Sutherland), mencoba menjadi penengah, sementara sang ibu, Beth (Mary Tyler Moore), justru menolak mengakui luka emosional yang mereka alami. Seiring berjalannya cerita, kamu akan diajak melihat bagaimana tiap anggota keluarga ini menyimpan trauma dengan cara berbeda. Beth sibuk menjaga citra keluarga sempurna, sementara Conrad berusaha mencari makna hidup lewat sesi terapi yang penuh gejolak batin.
Bagi kamu yang terpukau oleh Mungkin Kita Perlu Waktu, Ordinary People bisa menjadi referensi luar biasa. Keduanya sama-sama mengeksplorasi luka keluarga dalam ritme pelan, tapi mengena. Sama seperti Mungkin Kita Perlu Waktu, film ini juga menyorot pentingnya kejujuran emosional di tengah budaya yang cenderung menghindari pembicaraan soal perasaan.
2. In the Bedroom (2001)

Jika Mungkin Kita Perlu Waktu punya Teddy Soeriaatmadja mampu menelisik luka menganga sebuah keluarga pasca-tragedi, In the Bedroom dari Todd Field menawarkan potret serupa dari kacamata budaya Barat. Film ini mengisahkan Matt (Tom Wilkinson) dan Ruth Fowler (Sissy Spacek), pasutri yang dihadapkan pada hubungan putra mereka, Frank (Nick Stahl), dengan Natalie (Marisa Tomei), ibu tunggal yang usianya lebih tua. Ketidaksetujuan mereka terhadap hubungan tersebut berpuncak pada terbunuhnya Nick di tangan mantan suami Natalie.
Tak seperti drama Hollywood pada umumnya, In the Bedroom enggan menghadirkan tangisan histeris atau adegan pengadilan penuh teriakan. Justru lewat bisikan, tatapan kosong, dan percakapan yang serba menggantung, Field, yang menulis naskahnya berdasarkan cerpen Killings karya Andre Dubus, membuat penontonnya ikut larut dalam tekanan psikologis yang dialami para tokoh. Bahkan akhir filmnya terasa ambigu, apakah karakternya menemukan resolusi atas kepedihan, atau malah terperosok lebih jauh ke dalam kegelapan yang tak berujung?
3. Another Earth (2011)

Another Earth memang memasukkan elemen fiksi ilmiah dan dunia paralel yang terlihat kontras dengan Mungkin Kita Perlu Waktu. Namun, sejatinya, film kreasi Mike Cahill ini juga berbicara tentang rasa bersalah, kehilangan, dan pencarian makna hidup setelah tragedi. Perjalanan emosional karakter utama di dua film ini pun terasa mirip: sunyi, lambat, dan sangat manusiawi.
Film ini mengikuti Rhoda (Brit Marling), remaja genius yang baru saja diterima di MIT, yang hidupnya berubah drastis setelah kecelakaan fatal yang ia sebabkan. Dalam keadaan mabuk, Rhoda menabrak mobil yang menewaskan seorang ibu dan anaknya, serta membuat sang ayah, John (William Mapother), koma. Saat kejadian itu terjadi, muncul fenomena langit misterius berupa sebuah planet mirip Bumi yang perlahan-lahan mendekat.
Sama seperti Ombak dalam Mungkin Kita Perlu Waktu, Rhoda terjebak dalam penyesalan dan rasa hancur yang diam-diam ia pelihara. Ia mencoba menebus rasa bersalah dengan mendekati John tanpa memberitahu identitas aslinya, dan menawarkan diri menjadi asisten rumah tangganya. Di sisi lain, kemunculan planet kembaran Bumi menjadi katalisator untuk pertanyaan-pertanyaan eksistensial tentang takdir dan pilihan hidup yang menghantuinya.
4. Waves (2019)

Hilangkan latar keluarga religius dan setting lokal dalam Mungkin Kita Perlu Waktu, dan tempatkan keluarga kulit hitam kelas menengah di pinggiran Florida sebagai gantinya, maka kamu akan mendapat sesuatu yang tak kalah menyayat dari Waves. Disutradarai oleh Trey Edward Shults, film ini awalnya mengajak penonton mengikuti Tyler (Kelvin Harrison Jr.), remaja atlet dengan masa depan cerah dan keluarga suportif. Namun, tekanan dari ayahnya, cedera yang disembunyikan, serta hubungan cintanya yang mulai retak perlahan menghancurkan segalanya.
Seperti halnya Mungkin Kita Perlu Waktu yang menggeser fokus ke Ombak dan proses penyembuhannya, Waves juga berpindah perspektif di tengah jalan. Fokus bergeser ke Emily (Taylor Russell), adik Tyler yang selama ini tenggelam dalam bayang-bayang tragedi kakaknya, dan Luke (Lucas Hedges), pacar barunya. Layaknya dinamika Ombak dan Aleiqa (Tissa Biani), teman sekelas yang diam-diam ia taksir, dalam film karya Teddy tersebut, relasi Emily dan Luke juga menjadi semacam medium untuk menelisik luka masing-masing karakter.
5. The Son (2022)

Terakhir, tetapi tak kalah direkomendasikan untuk penyuka Mungkin Kita Perlu Waktu, ada The Son yang dibintangi oleh Hugh Jackman, Laura Dern, dan Vanessa Kirby. Film ini merupakan bagian dari trilogi drama karya Florian Zeller, dan seperti pendahulunya, The Father, The Son mengangkat tema kompleks tentang relasi antaranggota keluarga yang tengah terpuruk. Kali ini, fokusnya tertuju pada hubungan ayah dan anak laki-laki yang hancur perlahan karena depresi yang tak kasatmata.
Jackman memerankan Peter, pria yang menjalani kehidupan baru bersama pasangan dan anaknya yang masih bayi, yang suatu hari mendapat kabar dari mantan istrinya (Dern) bahwa anak remaja mereka, Nicholas (Zen McGrath), telah bolos sekolah selama berminggu-minggu. Berharap perubahan lingkungan bisa menjadi titik balik, Peter pun memutuskan membawa Nicholas tinggal bersamanya. Namun, seperti Ombak dalam Mungkin Kita Perlu Waktu, Nicholas menyimpan luka dalam yang tak bisa sembuh hanya karena niat baik orang-orang di sekitarnya.
Kehadiran Nicholas membuat dinamika rumah tangga Peter berubah drastis. Beth (Kirby), pasangan Peter, diam-diam merasa kewalahan menghadapi emosi Nicholas yang tak dapat dirprediksi. Sementara Peter mencoba menjadi ayah yang suportif, ia justru makin sering bersikap manipulatif, menuntut, dan bahkan menekan anaknya secara psikologis.
Jika kamu menyukai Mungkin Kita Perlu Waktu karena kedalaman emosinya yang sunyi dan menyentuh, lima film di atas bisa jadi pelengkap sempurna untuk malam-malam reflektifmu. Tak hanya menyajikan kisah tentang kehilangan dan trauma, kelimanya juga menyelami kompleksitas hubungan manusia yang sering kali tak terucap. Siapa tahu, setelah menontonnya, kamu akan melihat luka dan harapan dari sudut yang berbeda.