5 Film Klasik Paling Berpengaruh yang Terlupakan, Sudah Nonton?

- Film klasik Ménilmontant menjadi pionir dalam penghapusan teks antaradegan dan gaya editing inovatif tanpa dialog.
- Olivia oleh Jacqueline Audry merupakan salah satu film pertama yang eksplisit mengangkat tema ketertarikan lesbian di layar lebar.
- Film bisu Napoléon karya Abel Gance menggunakan teknik Polyvision yang revolusioner, namun jarang ditonton zaman sekarang.
Banyak film klasik yang meninggalkan jejak besar dalam dunia perfilman, tetapi tidak semuanya mendapatkan tempat di ingatan publik. Beberapa film pernah menjadi pionir dalam teknik penyutradaraan, tema berani, atau gaya visual yang memengaruhi banyak sineas besar setelahnya.
Namun seiring berjalannya waktu, karya-karya tersebut perlahan tenggelam dan hanya dikenal oleh segelintir pengamat film atau pencinta sinema lama. Padahal, tanpa film-film ini, wajah sinema modern bisa saja berbeda.
Melalui daftar berikut, kita diajak menengok kembali lima film klasik yang sangat berpengaruh, tapi entah kenapa nyaris lenyap dari radar budaya populer. Siapa tahu salah satunya sudah pernah kamu tonton, nih!
1. Menilmontant (1926)

Di era film bisu, kebanyakan sutradara mengandalkan teks antaradegan (intertitle) untuk menjelaskan alur cerita. Namun, karya Dimitri Kirsanoff ini menunjukkan bahwa sebuah film bisa menyampaikan kisah emosional tanpa satu pun teks. Dibuka dengan adegan pembunuhan brutal menggunakan kapak, film ini mengandalkan close-up dramatis untuk membangun ketegangan.
Film ini mengikuti perjalanan dua saudari yang mencoba pulih dari trauma tersebut, dan gaya editing yang inovatif membuat cerita tetap mengalir meski tanpa dialog. Film berdurasi 40 menit ini dianggap sebagai film Prancis pertama yang sepenuhnya menghilangkan intertitle. Meski sangat berpengaruh, kini Ménilmontant hampir terlupakan oleh publik.
2. Olivia (1951)

Di tengah dominasi sutradara pria pada masanya, Jacqueline Audry hadir sebagai pelopor dengan karya-karya berani bertema gender dan seksualitas. Salah satu filmnya yang menonjol adalah Olivia
Olivia mengangkat kisah cinta terlarang di sekolah asrama perempuan, dan menjadi salah satu film pertama yang mengangkat tema ketertarikan lesbian secara eksplisit di layar lebar. Diadaptasi dari novel karya Dorothy Strachey, Olivia menyoroti obsesi seorang murid terhadap gurunya, dan berhasil menyentuh sisi emosional dengan gaya visual klasik.
Sayangnya, meskipun menjadi salah satu tonggak dalam sejarah representasi LGBTQ+ di sinema, film ini tidak mendapat pengakuan luas dan kini nyaris tenggelam dalam sejarah.
3. Napoleon (1927)

Durasi yang mencapai 5 setengah jam mungkin jadi kenapa Napoléon jarang ditonton zaman sekarang. Padahal, film bisu karya Abel Gance ini dianggap sebagai karya monumental yang menginspirasi banyak sineas besar, termasuk Sergei Eisenstein. Dikenal sebagai film biografi epik, Napoléon menampilkan skala produksi yang luar biasa untuk zamannya.
Gance menggunakan teknik bernama Polyvision yaitu format layar lebar tiga panel yang sangat revolusioner. Hasilnya, pengalaman visual yang memukau, meski membutuhkan stamina ekstra untuk menonton hingga habis. Kini, nama Napoléon lebih sering dikaitkan dengan film modern seperti karya Ridley Scott, sementara versi klasiknya mulai dilupakan.
4. Suspense (1913)

Nama Lois Weber mungkin tak sepopuler Alfred Hitchcock, tapi ia adalah salah satu pionir film thriller di era awal Hollywood. Film pendek Suspense memperkenalkan teknik split-screen yang revolusioner dan menjadi contoh awal dari adegan kejar-kejaran mobil yang penuh ketegangan.
Dalam film ini, Weber juga berani mengangkat kekerasan terhadap perempuan sebagai tema utama. Ia memerankan seorang ibu muda yang terjebak di rumah bersama bayinya saat seorang pria asing berusaha masuk dengan niat jahat.
Meski hanya berdurasi singkat, film ini penuh inovasi teknis dan muatan sosial yang mendalam. Sayangnya, seperti banyak karya sutradara perempuan lain pada masa itu, film ini jarang dibicarakan.
5. The Seashell and the Clergyman (1928)

Sebelum Un chien andalou (1929) karya Buñuel dan Dalí muncul, film surealis pertama sejatinya adalah The Seashell and the Clergyman karya Germaine Dulac. Dengan teknik editing yang abstrak dan penuh imajinasi, Dulac menyusun kisah tentang obsesi seorang pendeta terhadap istri orang lain dalam gaya visual yang menggugah.
Dulac menyisipkan sudut pandang feminis dalam ceritanya, sebuah langkah yang sangat progresif pada masanya. Film ini menampilkan citra-citra surealis nan memikat yang membawa penonton ke dunia bawah sadar yang ganjil. Sayangnya, kontribusi besar Dulac sebagai pionir film surealis dan sineas queer perempuan masih jarang dirayakan secara luas hingga kini.
Kelima film ini pernah menjadi tonggak penting dalam sejarah sinema karena membuka jalan bagi inovasi dan keberanian bercerita di masanya. Sayangnya, kini terpinggirkan oleh arus utama dan kurang dikenal oleh generasi penonton modern. Kamu sendiri masih tertarik untuk menontonya? Coba tulis di kolom komentar, ya!