6 Film yang Terlihat Sengaja Dibuat untuk Bikin Penonton Emosi

- The Dark Tower (2017): Adaptasi novel Stephen King yang membingungkan dan kehilangan jiwa kisah aslinya.
- Joker: Folie a Deux (2024): Sekuel Joker yang memaksakan musikalitas dan kehilangan fokus narasi psikologisnya.
- X-Men Origins: Wolverine (2009): Penggambaran Deadpool yang diubah total dan mengecewakan banyak pihak.
Tidak semua film dibuat untuk menyenangkan penonton. Beberapa justru terasa seperti eksperimen yang dengan sengaja menguji batas kesabaran kita, entah lewat alur yang membingungkan atau adaptasi yang menghancurkan sumber aslinya. Film-film seperti ini sering kali membuat penonton keluar dari bioskop dengan wajah bingung, kesal, atau bahkan marah besar.
Yang lebih menyebalkan lagi, kadang film-film tersebut datang dari proyek yang seharusnya punya potensi besar, entah karena ceritanya diangkat dari karya populer, dibintangi aktor ternama, atau punya basis penggemar setia. Namun hasilnya justru terasa seperti tamparan. Berikut adalah deretan film yang tampaknya sengaja dibuat untuk bikin penonton emosi dan berhasil melakukannya.
1. The Dark Tower (2017)

Adaptasi novel Stephen King biasanya punya peluang sukses besar, tapi The Dark Tower justru seperti sengaja bikin bingung. Film ini mencoba merangkum berbagai buku dari seri aslinya dalam durasi yang sempit. Hasilnya malah jadi campur aduk dan kehilangan jiwa dari kisah aslinya yang penuh fantasi gelap dan filosofi kompleks.
Bagi penonton yang belum pernah baca bukunya, film ini terasa seperti teka-teki tanpa petunjuk. Sedangkan bagi penggemar beratnya, ini seperti pengkhianatan total. Bukan cuma tidak memuaskan, film ini bahkan jauh dari kualitas adaptasi King yang legendaris seperti The Shawshank Redemption (1994) atau Carrie (1976).
2. Joker: Folie a Deux (2024)

Film Joker pertama saja sudah menimbulkan perdebatan tajam, antara mahakarya sinematik atau glorifikasi kekerasan yang problematik. Namun sekuelnya, Folie à Deux, justru memutuskan untuk membawa cerita ini ke ranah musikal, lengkap dengan kehadiran Lady Gaga sebagai Harley Quinn.
Banyak penonton merasa bahwa film ini seolah sengaja ingin menguji kesabaran mereka. Alih-alih memperdalam narasi psikologis si Joker, film ini malah mengaburkan fokusnya lewat nyanyian dan koreografi yang terkesan dipaksakan. Bagi sebagian orang, ini bukan lagi film, tapi eksperimen sosial yang bikin jengkel!
3. X-Men Origins: Wolverine (2009)

Hugh Jackman sebagai Wolverine memang sudah jadi favorit penonton, tapi X-Men Origins justru mengecewakan banyak pihak. Salah satu momen paling bikin kesal adalah penggambaran Deadpool yang diubah total hingga jadi karakter absurd tanpa mulut, padahal kekuatan Deadpool justru dari celetukannya.
Film ini seperti memanfaatkan nama besar karakter hanya untuk mencetak uang, tanpa memperhatikan kualitas cerita. Bahkan Ryan Reynolds sendiri membunuh versi ini di Deadpool 2 (2018) sebagai bentuk parodi sarkastik. Kalau aktornya saja menyesalinya, bagaimana dengan penonton?
4. Freddy vs Jason (2003)

Bayangkan dua ikon horor bertemu dalam satu film yakni Freddy Krueger dan Jason Voorhees. Ekspektasi tentu tinggi, tapi kenyataannya Freddy vs Jason terasa seperti bencana yang disengaja. Alih-alih menjadi pertarungan seru, film ini malah terjebak dalam naskah lemah dan karakter pendukung yang membosankan.
Tidak ada satu pun dari dua monster ini yang benar-benar bersinar. Film ini hanya mengandalkan nostalgia dan gimmick, tanpa rasa hormat pada warisan horor yang dibawa masing-masing karakter. Bukannya jadi perayaan, film ini justru seperti pemakaman dua franchise sekaligus.
5. The Last Airbender (2010)

Adaptasi dari serial animasi Avatar: The Last Airbender ini seperti resep bencana dari awal. M. Night Shyamalan mencoba meringkas satu musim penuh ke dalam film berdurasi pendek, yang membuat alur cerita terasa dipaksakan dan emosi karakter jadi hambar.
Yang paling bikin emosi adalah keputusan casting yang kontroversial. Pasalnya, tokoh-tokoh utama yang terinspirasi dari budaya Asia dan Inuit malah diperankan oleh aktor kulit putih, sedangkan peran antagonis justru diberikan pada aktor non-kulit putih. Reaksi publik tentunya marah besar. Film ini sukses membuat kecewa baik fans setia maupun penonton baru.
6. Ghostbusters (2016)

Gagasan membuat versi baru Ghostbusters dengan pemeran utama perempuan sebenarnya bukan ide buruk. Namun menjadikan film legendaris sebagai ajang percobaan tanpa membawa elemen cerita yang segar, justru mengundang kemarahan dari dua kubu yakni penonton yang seksis dan yang idealis.
Alih-alih jadi pembaruan menarik, film ini malah membuka ruang perdebatan tanpa ujung tentang representasi gender dan kebutuhan remake. Sayangnya, kegagalan film ini justru digunakan sebagai pembenaran oleh para pembenci. Padahal masalah utamanya bukan pada gender, melainkan eksekusi film yang kurang matang.
Beberapa film mungkin dibuat dengan niat baik, tapi cara penyampaiannya justru membuat penonton merasa seperti sedang diuji kesabaran dan logikanya. Film-film ini terasa seperti disengaja untuk memancing emosi. Jadi, menurutmu, film mana yang paling bikin kamu nyaris melempar popcorn ke layar?