Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kenapa Sinematografi Naturalisme Populer saat Ini?

cuplikan film Anora (dok. Universal Pictures/Anora)
cuplikan film Anora (dok. Universal Pictures/Anora)

Sejak film independen merangsek ke ranah mainstream lewat prestasi mereka di ajang penghargaan mayor, tren sinematografi naturalisme ikut naik daun. Nomadland (2020) adalah salah satu contohnya. Didominasi warna-warna muted (bersaturasi rendah), kesan kalem dan realistisnya justru menguar hebat, berpadu sempurna dengan plotnya yang memang terinspirasi pengalaman nyata.

Bahkan film bikinan studio besar seperti Wicked (2024) saja mulai mengadopsi gaya ini. Sempat dikritik karena color grading-nya dianggap terlalu pucat, Wicked ternyata sengaja dibuat seperti itu untuk memberikan kesan imersif dan realistis. Mengapa naturalisme begitu disukai saat ini? 

1. Memunculkan kesan realistis dan imersif

Nomadland (dok. Searchlight Pictures/Nomadland)
Nomadland (dok. Searchlight Pictures/Nomadland)

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, gaya sinematografi naturalisme berpadu sempurna dengan film-film bergenre realisme. Ini karena efek realistis dan imersifnya yang membuat penonton seperti sedang berada dalam latar film tersebut ketimbang jadi penonton di depan layar. Beberapa sutradara yang setia menggunakan gaya sinematik ini antara lain Chloe Zhao (Nomadland, Songs My Brothers Taught Me, The Rider), Sean Baker (The Florida Project, Anora, Tangerine), Jonas Carpignano (A Chiara, A Ciambra)Eliza Hittman (Never Rarely Sometimes Always, Beach Rats), dan Andrea Arnold (Bird, American Honey). 

Para sineas beraliran realisme itu juga secara terbuka mengeklaim film-film mereka menggunakan pencahayaan alami. Ini bukan hanya terobosan berani, tetapi juga butuh komitmen tinggi. Menentukan dan mempersiapkan waktu untuk pengambilan gambar pun harus dipikir dengan seksama. Chloe Zhao misalnya harus memastikan ia mengambil gambar pada sore jelang matahari terbenam untuk bisa dapat warna ungu semburat jingga di Nomadland (2020). Sean Baker juga mengambil waktu sore hari agar dapat golden hour untuk film Tangerine (2015). 

2. Lebih hemat biaya sekaligus memampatkan ukuran file

The Florida Project (dok. A24/The Florida Project)
The Florida Project (dok. A24/The Florida Project)

Dengan pencahayaan alami, bujet pembuatan film bisa ditekan. Terutama karena bisa mengurangi jumlah kru serta peralatan pencahayaan yang biasanya menyita banyak biaya. Apalagi, banyak film yang menggunakan prinsip sinematografi naturalisme menggunakan handheld camera guna memberikan kesan autentik dan spontan. Tangerine diambil gambarnya dengan kamera iPhone.The Blair Witch Project (1999) sebagian besar di-shoot dengan handycam Sony DCR-TRV120. 

Film-film yang diambil gambarnya dengan prinsip naturalisme akan berwarna sedikit gelap sehingga lebih efisien dari segi ukuran file ketimbang yang berwarna vibrant. Pertama, ini akan memudahkan untuk kebutuhan penayangan di situs streaming. Kedua, berkurangnya saturasi warna juga akan memperpanjang masa pakai alat-alat yang dipakai untuk memutar film di bioskop seperti lampu proyektor dan layar perak. 

3. Naturalisme tidak selalu gelap dan kusam

Midsommar (dok. A24/Midsommar)
Midsommar (dok. A24/Midsommar)

Sinematografi naturalisme memang identik dengan warna bersaturasi rendah, tetapi tidak selamanya pucat dan kusam. The Florida Project (2017) misalnya bisa tetap terlihat vibrant meski menggunakan prinsip ini. Begitu pula dengan Midsommar (2019) yang meski bergenre horor dan membawa kita menyusuri tempat serta kejadian ganjil menggunakan gaya sinematik naturalisme.

Pada dasarnya, tujuan dari gaya naturalisme adalah menciptakan kesan serealistis mungkin seperti apa yang mata telanjang kita bisa lihat di dunia nyata. Meski diisi warna-warna mencolok, The Florida Project dan Midsommar tidak memunculkan kesan yang serupa dengan film-filmnya Wes Anderson macam The Grand Budapest Hotel (2014) dan Asteroid City (2023). 

Beberapa film dengan color grading gelap dan suram seperti Insidious (2011) serta Joker (2019) misalnya juga tidak bisa dibilang menggunakan prinsip naturalisme. Sebaliknya, kita bisa melihat bagaimana sineas mencoba mendramatisasi kejadian dalam film dan justru memisahkan penonton dengan realitas. Singkatnya, ini semua soal intensi si empu film. Apa yang hendak mereka sampaikan atau ingin penonton rasakan, salah satunya diekspresikan lewat sinematografi. 

Kebetulan naturalisme jadi salah satu gaya pengambilan gambar yang makin diminati karena beberapa alasan. Mulai dari kesan imersif sampai faktor biaya. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Diana Hasna
EditorDiana Hasna
Follow Us