5 Sutradara Hebat yang Kariernya Hancur karena Satu Film Flop

Menjadi sutradara di Hollywood bukan hanya soal visi artistik, tapi juga soal bertahan hidup di tengah tekanan industri. Satu film sukses bisa mengangkat nama ke puncak, tetapi satu film gagal bisa membuat karier tenggelam begitu saja. Tidak peduli seberapa besar reputasi yang sudah dibangun, industri ini cepat melupakan mereka yang tidak memenuhi ekspektasi pasar.
Beberapa sutradara dalam daftar ini pernah mengarahkan film-film legendaris, memenangkan penghargaan, bahkan menjadi ikon. Namun setelah satu proyek besar yang mengecewakan, mereka seperti terperangkap dalam penjara sutradara, istilah tak resmi bagi para pembuat film yang dicoret dari daftar kepercayaan studio besar.
Nama mereka masih dikenang, tapi kesempatan kedua jarang benar-benar datang. Siapa saja mereka yang terjebak dalam bayang-bayang kegagalan ini?
1. Martin Brest

Martin Brest sebelumnya dikenal sebagai sutradara jenius di balik Scent of a Woman, Meet Joe Black, dan Beverly Hills Cop. Namun semuanya berubah ketika ia merilis Gigli pada 2003, film komedi romantis yang dibintangi Ben Affleck dan Jennifer Lopez.
Dengan cerita membingungkan, lelucon garing, dan chemistry yang tak terasa antara dua bintang utama, Gigli dianggap sebagai salah satu film terburuk sepanjang masa. Parahnya lagi, film ini hanya meraup 7,2 juta dolar AS dari budget 75,6 juta dolar AS.
Karena Brest juga menulis dan memproduksi film ini, ia turut menanggung seluruh beban kegagalannya. Kariernya langsung terhenti, padahal sebelumnya ia berada di puncak kesuksesan. Gigli menjadi film terakhir yang ia sutradarai dan hingga kini Brest tak pernah kembali ke kursi sutradara.
2. Michael Powell

Michael Powell bersama rekannya Emeric Pressburger adalah legenda perfilman Inggris. Keduanya menciptakan karya-karya visioner lewat rumah produksi mereka, The Archers. Namun ketika Powell memutuskan untuk membuat film solo berjudul Peeping Tom pada 1960, segalanya berubah.
Film tentang pembunuh berantai yang merekam korbannya ini membuat penonton dan kritikus terkejut dan marah. Reaksi negatifnya begitu kuat hingga menghancurkan reputasi Powell dalam semalam.
Meski kini Peeping Tom dianggap sebagai mahakarya dan pelopor genre slasher, pada masanya film itu membuat Powell dijauhi industri. Kariernya tak pernah benar-benar pulih, meski ia sempat dibantu oleh Martin Scorsese yang mengakui pengaruh besar Powell terhadap dirinya.
3. Jan de Bont

Jan de Bont awalnya adalah sinematografer sukses di balik film ikonik seperti Die Hard dan The Hunt for Red October. Ia kemudian naik kelas menjadi sutradara dan mencetak hits besar lewat Speed dan Twister pada 1990-an. Tapi saat ia kembali dengan Speed 2: Cruise Control, segalanya berubah.
Sekuel ini dianggap sebagai salah satu yang terburuk sepanjang masa dengan cerita klise dan kehilangan daya tarik film pertamanya. Setelah mencoba bangkit lewat The Haunting dan akhirnya menyutradarai Lara Croft Tomb Raider: The Cradle of Life, nasibnya makin memburuk. Meskipun film itu sedikit lebih baik dari pendahulunya, kinerjanya tetap mengecewakan.
4. Richard Kelly

Richard Kelly dikenal luas setelah debutnya lewat Donnie Darko, sebuah film cult yang misterius dan memikat banyak penggemar. Sayangnya, keberhasilan itu tidak diikuti dengan pilihan cerdas. Film keduanya, Southland Tales, justru membingungkan Dibintangi oleh Seann William Scott dan Dwayne Johnson, film ini gagal total secara kritik dan box office.
Kelly mencoba sekali lagi lewat film The Box pada 2009, tapi hasilnya tetap mengecewakan. Sejak itu, ia tak pernah kembali menyutradarai film. Kejadian ini menunjukkan bahwa satu film debut yang sukses tidak selalu menjamin masa depan yang cerah, terutama jika film selanjutnya tak memenuhi ekspektasi.
5. Brian De Palma

Brian De Palma adalah nama besar di era New Hollywood, dikenal lewat film-film legendaris seperti Carrie, Scarface, dan The Untouchables. Namun sejak akhir 1990-an, kariernya perlahan menurun. Snake Eyes menjadi peringatan awal, disusul beberapa proyek yang gagal secara komersial maupun kritik.
Titik nadirnya terjadi saat ia merilis Redacted pada 2007, sebuah film dokumenter fiksi tentang kekejaman tentara AS di Irak. Redacted memicu kontroversi besar dan membuat De Palma dijauhi oleh industri Hollywood. Sejak itu, ia hanya membuat dua film kecil dan tak pernah lagi mendapat kepercayaan besar.
Dunia perfilman kejam terhadap kegagalan, apalagi jika menyangkut uang besar dan reputasi tinggi. Para sutradara di atas membuktikan bahwa satu kesalahan bisa menghentikan perjalanan panjang yang penuh prestasi. Menurutmu apakah mereka layak mendapatkan kesempatan kedua?



















