Ulasan Film: 'Istirahatlah Kata-Kata'

Dengan membanjirnya film-film mainstream, terutama film dari luar negeri membuat kita bias dalam menilai sebuah film yang baik. Sekarang orang hanya menilai film dari cerita, visual effects, action, dll. Tidak salah memang, namun faktor-faktor itu bukan segalanya dalam menilai sebuah film. Ada beberapa hal-hal yang fundamental yang biasanya tidak ada dalam film-film mainstream.
Menonton "Istirahatlah Kata-Kata" membuat saya kembali sadar bahwa inilah contoh film yang memang dibuat dengan tujuan karya seni. Cerita film ini berangkat dari sepenggal kehidupan seorang Widji Thukul di masa-masa pelariannya. Berangkat dari kisah nyata dengan riset yang tidak dilakukan sembarangan. Jika diperhatikan dalam bagian credits, maka akan ada nama-nama 'researchers' yang salah satunya adalah sang sutradara sendiri. Ini yang biasanya dilupakan oleh para pembuat film.
Saya adalah seorang sarjana Desain Komunikasi Visual di mana selama 4 tahun saya diajarkan seni sebagai bidang akademik yang dalam prosesnya terlibat riset, pembelajaran, data, dll. Di balik sebuah karya yang baik, terdapat metode dan proses yang komperhensif. Mengapa film-film 'based on true story' banyak yang mendapatkan awards? Memang salah satunya karena cerita yang otentik. Tapi di balik cerita yang otentik, terdapat riset yang tidak dilakukan sembarangan.
Karakter yang menjadi fokus dalam film ini adalah sang sastrawan itu sendiri, dan istrinya. Kedua karakter diperkenalkan dan diceritakan secara berdampingan dan diakhiri secara bersama-sama. "Istirahatlah Kata-Kata" berhasil mengomunikasikan emosi, perasaan dan pikiran dari setiap karakter. Film mainstream hanya mengandalkan akting pemain dalam memperkenalkan karakter. Film yang baik mempergunakan alur cerita, pemilihan kata, gesture, dan hal-hal lainnya dalam memperkuat sebuah karakter.
Film mula-mula tidak memiliki suara sehingga tidak bisa menampilkan percakapan seperti film sekarang. Sehingga untuk bercerita harus mengandalkan gesture karakter, blocking karakter, tanda-tanda dan simbol-simbol visual. Walaupun memakai percakapan antar tokoh, namun "Istirahatlah Kata-Kata" tidak melupakan esensi dari komunikasi film mula-mula.
Saya menemukan banyak pergerakan kamera yang sangat tepat dalam menceritakan keadaan, transisi yang sederhana namun menjelaskan latar dan blocking pemain maupun properti yang digunakan sempurna. Yang paling saya ingat adalah di bagian akhir ketika Widji pergi ke belakang tembok dan tidak muncul lagi sampai film berakhir, ini adalah aksi simbolis hilangnya sang sastrawan yang tidak akan kembali lagi, hilang dalam latar. Cara bercerita seperti ini biasanya dipakai dalam pementasan teater, dan harus kita ingat teater juga merupakan akar dari film.
Memang harus saya akui dan memang faktanya begitu, bahwa film ini bukan untuk dinikmati semua kalangan. Namun film ini kembali mengingatkan kita akan hal-hal fundamental yang sudah dilupakan oleh film-film mainstream sekarang ini.