WUNI Studio Spill di Balik Profesi Audio Post-Production

Surabaya, IDN Times - Aspek penunjang film tidak hanya seputar visual, tapi juga suara. Departemen suara di produksi film pun beragam, mulai dari tim audio di lapangan hingga audio post-production yang bekerja di tahap pasca produksi.
Kepada IDN Times, WUNI Studio, tim audio post-production di film Petaka Gunung Gede (2025) berbagi soal ranah dan cara kerja departemen mereka. Tidak hanya itu, mereka juga berbagi tentang trik khusus menciptakan efek suara di film bergenre horor, drama, dan thriller.
Simak wawancara khusus IDN Times soal profesi audio post-production bersama WUNI Studio dalam program #COD alias Cerita Orang Dalam. Baca sampai selesai ya, karena ada tips untuk kamu yang ingin bekerja di departemen audio post-production!
1. Audio post-production adalah lini terakhir dalam proses produksi film

Audio post-production merupakan lini terakhir dalam proses produksi film. Departemen ini terdiri dari beberapa bidang, seperti foley, sound effect editor, hingga sound effect design.
"Kita paling belakang lah. Setelah mereka produksi itu, output yang dibawa selanjutnya adalah visual sama audio, kan," ungkap Tama Riadi yang berprofesi sebagai Chief Audio Post Production, Re-Recording Mixer, Supervising Sound Editor, dan Sound Designer di WUNI Studio.
Divisi ini berbeda dengan tim sound di lapangan dan departemen music composer. Mereka hanya fokus mendesain suara-suara, serta dialog tambahan yang muncul di film.
"Tanpa musik, semua desain, dialog, mau seperti apa pun. Karena biasanya gambarnya di gunung, bisa aja dia syutingnya green screen dan bukan di gunung. Agar penonton percaya itu gunung, ya tugas kita dari sisi suara," tutur filmmaker kelahiran 1990 itu.
2. Departemen audio post-production bekerja secara efektif setelah pict lock

Departemen audio post-production sudah bekerja di tahap pra produksi. Namun, mereka hanya sekedar menciptakan desain suara dan memantau jalannya produksi saja.
"Development belum sih, biasanya kita cuma lebih ke mantau aja, kira-kira ini jenis filmnya apa, supaya ada gambaran. Atau set-nya ada berapa banyak, tempatnya ada apa aja," jelas Tama.
Tidak stand by di lokasi syuting, departemen audio post-production hanya request wild track atau bunyi-bunyian khas di lapangan ke tim sound field. Karena tidak semua jenis bunyi-bunyian ada di bank suara WUNI Studio.
"Misalnya di gunung, kita titip suara alam sekitar ya buat nanti kita pakai di proses mixing gitu. Atau kalau tim sound field ngerasa ada bunyi-bunyi spesifik yang kayak susah nih dari sound bank kita dan gak punya, minta tolong direkam," lanjutnya.
Sementara itu, mereka baru mulai bekerja secara efektif setelah pict lock atau editing offline selesai dan durasi film sudah ditentukan. Proses pengerjaannya ini membutuhkan waktu yang beragam, khusus untuk film Petaka Gunung Gede (2025) sekitar satu bulan.
"Yang mulai kerja banget setelah gambarnya selesai alias pict lock kita bilangnya. Setelah pict lock baru kita mulai start semuanya seluruh tim kerja di posisi masing-masing," ujar Tama.
3. WUNI punya trik khusus untuk menciptakan atmosfer di film horor, thriller, dan drama lewat suara

Menurut Tama Riadi, suara di dalam film hadir untuk membantu sutradara bercerita. Setiap suara yang penonton dengarkan di film, sudah didesain sedemikian rupa oleh departemen audio post-production.
"Kita membantu mereka untuk bercerita lewat kekuatan suara. Mulai dari atmosfer atau sesimpel bunyi kecil yang kira-kira orang gak notice, tapi itu ada pesan tertentu. Selain itu, segala sesuatu yang penonton dengar di film itu kita pikirkan by design," jelas pria yang mengawali karier di dunia film sejak tahun 2014 ini.
WUNI Studio pun spill fakta menarik tentang desain suara di sebuah film. Pernah gak sih kamu ngerasa berdebar atau tidak nyaman saat menyaksikan film horor? Ternyata itu terjadi bukan tanpa alasan dan ada trik khususnya, lho!
"Itu sebenarnya kita insert atau buat suara-suara yang gak bisa kedengaran. Frekuensi rendah 80 ke bawah, pastinya kita gak bisa kasih tahu. Kita kasih keluar pelan hanya di subwoofer dan itu bikin dada berdebar, serta penonton rasanya gak nyaman," ujar Tama.
Berbeda saat melakukan mixing untuk film drama. Contohnya saat adegan dokter menyampaikan kabar kalau anggota keluarga salah satu karakter utama meninggal.
"Sebelum ada adegan tertentu, kita kasih gemuruh petir tapi jauh sekali, sampai kita gak notice cuma kerasa rumble aja. Baru dialog, 'Oke, bapak meninggal'. Dan bisa juga pemilihan reverb, jenis gema yang kita manipulasi supaya lebih dramatis lah," lanjutnya.
Sementara untuk film thriller, biasanya WUNI Studio justru lebih meng-emphasize suara-suara yang seharusnya tidak terlalu terdengar, seperti bunyi darah, langkah kaki, hingga irisan benda tajam.
"Bahasa sutradaranya, minta tolong lebih ASMR dong. Maksudnya suara-suara detail lebih ditekankan. Suara yang penonton seharusnya gak dengar, tapi justru kita balik. Yang bunyinya kecil, malah kita kencangin," tutur lulusan Diploma in Audio Engineering di SAE Institute Thailand itu.
4. Tantangan yang dihadapi tim audio post-production

Saat memproduksi film Petaka Gunung Gede (2025), menyatukan visi banyak pihak dan menciptakan jumpscare yang cocok adalah tantangan bagi WUNI Studio. Lalu, apa sih tantangan yang biasa mereka hadapi sebagai departemen audio post-production secara umum?
"Biasanya kita selalu soal waktu sih," jawab lulusan Bachelor of Arts (Hons) in Audio Production di Middlesex University ini.
Selain itu, menciptakan suara baru pun menjadi tantangan tersendiri bagi mereka. Dari segi pengerjaan, dalam sehari WUNI Studio akan mengeksekusi satu jenis suara, seperti langkah kaki atau tas carrier di 10 hingga 20 menit durasi film.
"Menciptakan suara yang kita belum pernah ciptakan sebelumnya itu lumayan makan waktu. Untuk genre atau kasus tertentu yang kita belum pernah coba dan belum tahu mau diapain. Ini bikinnya kayak gimana? Biasanya kita nonton dulu film lain," jelasnya.
5. Tips untuk calon audio post-production

Tama Riadi berbagi tips untuk teman-teman yang ingin bekerja di bidang audio post-production. Tips yang pertama adalah harus suka dan rajin nonton, serta kuat berlama-lama di depan komputer.
"Lucunya di WUNI ini 90% mereka gamers. Jadi mereka memang kuat di depan komputer lama-lama. Ternyata itu cukup penting. Karena sangat lama kita di depan komputer, duduk, dan segala macamnya, serta itu setiap hari,” ungkapnya.
Tips kedua adalah mencari komunitas untuk mengembangkan kemampuan dan menambah pengalaman. Tapi kalau mau lebih short cut, kuliah dan belajar di jurusan yang sesuai dengan bidang audio post-production bisa menjadi alternatif.
“Sudah banyak sekarang kampus-kampus yang menawarkan dunia audio, sound engineering, serta sound design yang khusus buat film. Ada ISI Yogyakarta, ISI Padang Panjang, ISI Jakarta, UMN (Universitas Multimedia Nusantara), UPH (Universitas Pelita Harapan), dan banyak lagi,” tutur Tama.
Dengan belajar langsung di kampus, teman-teman yang ingin bekerja di bidang audio post-production bisa diarahkan oleh para dosen praktisi ke dunia kerja.
“Karena sudah belajar langsung dan dapat lingkungan yang pas di kampus. Biasanya para dosen yang juga praktisi itu, mereka sambil mencari bibit langsung. Dan bisa diarahin, ‘Wah, ini anak berbakat diarahin ke sini atau ke sana’. Itu lebih jalan pintas sih sebenarnya,” demikian kata dosen yang mengajar Audio Post Production dan Advance Audio Production di SAE Institute Indonesia.
Ternyata segala jenis suara yang kita dengar di film itu memang diciptakan dengan maksud tertentu, lho. Setelah menyimak cerita WUNI Studio dan Tama Riadi, apakah kamu tertarik bekerja di departemen audio post-production?