Di Balik Audio Post-Production Film Petaka Gunung Gede

Surabaya, IDN Times - Film Petaka Gunung Gede (2025) berhasil mencapai 1 juta penonton di hari ke-6 penayangan, serta pada hari ke-28 penayangan meraup 2,8 juta penonton. Terbilang sukses, sampai artikel ini dirilis, film Petaka Gunung Gede (2025) belum turun layar, lho.
Salah satu daya tarik film ini adalah mampu memainkan emosi penonton melalui audio post-production yang ditata oleh tim dari WUNI Studio. Penataan suara yang dinamis menambah efek ngeri dan jumpscare sepanjang film diputar.
Selain itu, Tama Riadi, selaku Chief Audio Post-Production dari WUNI Studio mengatakan, setiap karakter dan objek di dalam film ini memiliki penataan suara yang berbeda-beda. Simak selengkapnya #COD (Cerita Orang Dalam) bersama WUNI Studio berikut ini.
1. WUNI Studio mencari referensi desain audio post-production lewat konten podcast Petaka Gunung Gede

Tama Riadi, Re-Recording Mixer, Supervising Sound Editor, sekaligus Sound Designer WUNI Studio berbagi proses kreatif di balik film Petaka Gunung Gede. Sebelum membuat penataan suara, WUNI Studio menganalisa suara-suara yang muncul melalui cerita Maya Azka di YouTube Prasodjo Muhammad.
"Kalau yang khusus Petaka Gunung Gede, karena itu dari kisah yang sudah ada ya, dari YouTube-nya Prasodjo Muhammad. Jadi kita tonton dulu dari YouTube, ceritanya seperti apa," ungkap Tama.
Tujuannya adalah untuk menentukan jenis suara yang akan diberikan kepada objek-objek di film ini. Setelah brief-nya selesai, WUNI Studio melakukan approval ke Sutradara Azhar Kinoi Lubis hingga Produser Chand Parwez Servia.
"Terus kita lihat gambarnya, ternyata oh ini yang dimaksud pintunya. Oh yang ini dimaksud tempat nge-camp. (Setelah tahu gambaran kondisi) dan tempatnya baru kita ada gambaran," lanjut filmmaker yang mengawali karier sejak tahun 2014 ini.
2. Setiap karakter dan objek di Petaka Gunung Gede punya suara yang berbeda

Pemilik nama lengkap Utama Riadi Putra ini berkata bahwa setiap objek dan karakter di film Petaka Gunung Gede memiliki suara yang berbeda. Bahkan untuk menentukan jenis langkah kaki saja, WUNI Studio melakukan revisi berkali-kali.
"Sesimpel pemilihan jenis langkah kaki saja kita bisa revisi berkali-kali sebelum kita present ke klien," jelas Tama saat diwawancarai pada Sabtu (1/3/2025).
Suara setiap tas carrier yang dibawa oleh para karakter di Petaka Gunung Gede (2025) pun berbeda. WUNI Studio menambahkan suara-suara penunjang lainnya di luar suara natural tas carrier untuk menambah kesan hidup.
"Kalau diperhatikan beda. Ada yang dia lebih banyak bawa air, suaranya gak cuma kresek-kresek. Ada yang bawanya banyak elemen plastik-plastik, kan? Kita asumsikan dia bawa baju kotor, plastik, dan segala macamnya. Ada yang bawanya tuh besi-besian, dia bawa parafin, bawa kompor, bawa tenda," lanjutnya.
3. Penataan suara Petaka Gunung Gede dibuat dinamis agar menambah efek jumpscare

Ada beberapa alasan kenapa audio post-production film Petaka Gunung Gede (2025) dibuat dinamis. Alasan pertama karena pict lock alias hasil editing yang sudah terbentuk alur cerita, di film ini, cut-nya padat dan cepat.
"Kalau kita kasih nafas terlalu panjang, pas kita tonton kayaknya kurang cocok nih sama apa yang diinginkan sutradara. Jadi memang cenderung dinamis. Tiba-tiba kencang, habis itu pelan lagi, gak lama kencang lagi," ujar lulusan SAE Institute Thailand jurusan Audio Engineering ini.
WUNI Studio menggunakan treatment khusus untuk menunjang adegan jumpscare di film ini. Contohnya saat adegan Ita (Adzana Ashel) melihat penampakan di kamar mandi basecamp. Perubahan suara tersebut menandakan ada sesuatu yang akan terjadi.
"Kita main sampai detail suara yang terendah pun ada. Setelah Ita dikagetin sama hantu dari atas, kita kasih treatment khusus, seperti suara jangkrik yang berubah. Lalu tiba-tiba ada suara anjing dari kejauhan yang teriak-teriak karena panik, bertepatan setelah Ita teriak habis lihat hantu," tambah Tama.
Keunikan lain dari audio post-production di film ini adalah setelah adegan jumpscare, suara yang disajikan cenderung sunyi. Ternyata metode itu digunakan agar penonton bisa bernafas sejenak di tengah adegan yang memacu adrenalin.
"Itu kita kerjasama dengan musik komposer juga ya. Jadi bentuknya riser musik atau instrumen untuk merancang transisi. Jadi di-build up dulu sebelum dikagetin. Habis itu ya udah, selesai kita turunin dulu. Supaya gak terlalu capek juga kalau kita hajar kencang terus," tutur filmmaker yang melanjutkan pendidikan di Middlesex University BA (Hons) ini.
4. Di balik pengemasan adegan Ita kesurupan yang unik, tapi bikin ngeri

Salah satu adegan unik di film Petaka Gunung Gede (2025) adalah momen Ita kesurupan di rumahnya, sepulang dari pendakian. Di adegan tersebut, penonton seakan bisa melihat dan mendengar apa yang Ita rasakan.
"Referensinya itu ibarat kalau kita kesurupan, kita gak punya kontrol sama diri kita. Jadi kita pun mendengar suara tidak nyaman. Dan yang ngomong bukan kita, tapi arwah," jelas Tama menceritakan alasan dibalik pengemasan tersebut.
Adegan tersebut cukup unik karena kamera diposisikan seperti mata Ita atau penonton. Karena bukan Ita yang menguasai tubuhnya, maka dari itu visual kameranya dibuat samar-samar dan suara yang didengarkan penonton berupa dengungan keras.
5. Butuh waktu satu bulan untuk mengerjakan audio post-production Petaka Gunung Gede

WUNI Studio membutuhkan waktu sekitar satu bulan untuk mengerjakan audio post-production di film Petaka Gunung Gede. Menurut mereka, durasi tersebut sebenarnya normal di industri perfilman.
"Sekitar satu bulan. Setelah pengerjaan selama dua hingga tiga minggu pertama, kita sudah presentasi hasil dan menunggu feedback. Satu minggu setelahnya kita revisi terakhir sampai tes DCP (Digital Cinema Package) sebelum tayang," jelas Tama.
Kepada IDN Times, Tama pun berbagi tantangan yang WUNI Studio hadapi saat proses pengerjaan audio post-production. Selain waktu yang singkat, ternyata menentukan jumpscare juga merupakan kesulitan yang mereka hadapi.
"Menentukan jumpscare yang cocok di film ini. Karena di audio post-production ini kan ada namanya cinematic effect, nah itu yang kita paling banyak revisi, kita bongkar, kita ganti, kita cari lagi," cerita filmmaker yang mengawali karier pada tahun 2014 ini.
Menurut Tama, audio post-production adalah salah satu bagian penting dalam penunjang film. Namun, tidak banyak orang yang menyadari kalau menciptakan audio post-production itu melalui proses kreatif seperti jobdesk lain di dunia film.