4 Bentuk Diskriminasi yang Dihadapi Disabilitas di Pro Bono

Drakor Pro Bono (2025) menceritakan tentang seorang hakim pro rakyat, Kang Da Wit (Jung Kyoung Ho), yang terpaksa mengundurkan diri karena dianggap terlibat dalam sebuah kasus suap. Setelah mengundurkan diri, Kang Da Wit akhirnya bekerja menjadi seorang pengacara pro bono di firma hukum terkemuka, Oh & Partners. Di firma hukum ini, Kang Da Wit jelas dituntut untuk menjadikan nama firma hukum lebih bersih dengan mendapatkan peluang kemenangan sebanyak 70 persen.
Selama bekerja di tim pro bono, Kang Da Wit jelas banyak mewakili klien yang gak memberikan keuntungan untuk firma hukum mereka. Salah satu kasus yang diwakili adalah kasus Kim Gang Hun (Lee Chun Mo). Kim Gang Hun adalah seorang anak laki-laki dengan kelainan kaki sehingga menggunakan kursi roda untuk mobilitasnya.
Kim Gang Hun ini ingin menuntut Tuhan akan permasalahan hidupnya yang sangat sulit untuk dihadapi setiap hari. Lalu, apa saja bentuk diskriminasi yang dihadapi disabilitas di drakor Pro Bono?
Peringatan, artikel ini mengandung spoiler.
1. Mobilitas yang lebih melelahkan dari manusia normal

Kim Gang Hun merupakan seorang anak yang tinggal di sudut kota dengan jarak puluhan kilometer dari Seoul. Setiap hari, dia berusaha untuk datang menemui Kang Da Wit agar permasalahannya ini bisa dituntut di pengadilan. Sayangnya, Kang Da Wit kesulitan untuk mencari celah hukum dengan menuntut Tuhan atas kemauan Kim Gang Hun.
Melakukan perjalanan jauh, seperti yang dilakukan Kim Gang Hun ini, jelas gak mudah untuk dilalui. Sekalipun pemerintah berusaha untuk mempermudah mobilisasi para disabilitas, mereka juga menghadapi kesulitan ketika berada di jalan yang gak mendukung mobilitas disabilitas. Para disabilitas juga seakan butuh bantuan orang lain untuk melakukan perjalanan jauh.
2. Dianggap gak kompeten ketika bekerja

Di awal perkara masuk ke meja hijau, kasus ini dikerjakan oleh seorang hakim yang juga disabilitas, hakim Kim Jin O (Choi Hee Jin). Hal ini membuat pengacara Woo Myeong Hun (Choi Dae Hoon) mempertanyakan pekerjaan hakim Kim Jin O. Dia ingin mengganti hakim karena dianggap akan memperlambat jalannya persidangan.
Sayangnya, persepsi ini jelas sangat keliru. Kim Jin O seakan membuktikan jika keterbatasannya gak akan mengurangi nilainya sebagai hakim dan penengah masalah. Kim Jin O bahkan lebih menerapkan nilai dan prinsip yang dipegang lebih erat daripada hakim lainnya.
3. Gak punya kesempatan seperti anak lainnya

Kim Gang Hun sebenarnya pernah bersekolah di sebuah sekolah bagus. Teman-temannya juga sangat baik saat berhadapan dengannya. Namun, Kim Gang Hun seakan punya keinginan dan kesempatan seperti anak lainnya. Dia hanya ingin bisa bermain dan bercengkrama dengan teman-temannya pada waktu olahraga.
Sayangnya, keinginan ini diperburuk setelah Kim Gang Hun memberi teman sebangkunya surat. Seluruh anak laki-laki di kelas mulai merundungnya karena dianggap mengganggu teman sebangkunya tersebut. Pada akhirnya, Kim Gang Hun harus keluar dari sekolah karena terus dipaksa dan dirundung hingga wali murid turun tangan.
4. Pembangunan sekolah luar biasa dianggap merugikan

Setelah gak bersekolah Kim Gang Hun harus menempuh jarak sepanjang tiga kilometer untuk bersekolah di sekolah luar biasa. Dengan kondisinya tersebut, Kim Gang Hun jelas kesulitan dan sangat berat untuk mobilitasnya. Fasilitas taksi untuk disabilitas juga sangat mahal bagi Kim Gang Hun.
Makanya, dia menuntut pembangunan sekolah luar biasa di lingkungan rumahnya. Sayangnya, para penduduk apartemen di sekitar gak mendukung pembangunan ini. Sekolah luar biasa akan menurunkan harga pasar rumah mereka. Hal ini jelas dianggap merugikan penduduk.
Diskriminasi yang dihadapi para disabilitas ini lebih sulit dihadapi di Indonesia. Pemerintah harusnya semakin sadar akan tanggung jawabnya pada masyarakat. Menurutmu, bagaimana cara masyarakat disabilitas ini bisa mudah dalam menjalani hari-harinya?


















