5 Alasan Kematian On Ha Joon di Drama Taxi Driver 2 Layak Ditangisi

Jika sosok yang menurutmu "jahat" di dunia ini mati, apakah kamu menyukurinya? Atau bahkan menggelar perayaan dari kepergiannya? Bukankah jika ia tidak ada lagi, maka rasa sakitmu pun tidak ada lagi?
Namun, bagaimana jika ketiadaannya justru menumpahkan tangis? Itulah ironi kehidupan. Kita akan merasa tiba-tiba harus "menangis" ketika seseorang bertemu dengan kemalangan paling dahsyat dalam hidupnya, yaitu kematian.
Apakah tangisan itu semata muncul karena orang mati memang pantas ditangisi? Atau sebenarnya memang kisah si tokoh jahat itulah yang pantas ditangisi? Bagaimana kalau mulanya orang jahat sekalipun adalah orang baik yang tersakiti lalu berubah menjadi pelaku?
Seperti tokoh On Ha Jun di drakorTaxi Driver 2. Sepanjang episode kita akan khusyuk mengucapkan hujatan terhadap perilakunya. Seolah dia adalah cerminan manusia terburuk yang pantas kita maki.
Lalu, menjelang akhir episode kita dibuat bimbang apakah harus tetap membencinya atau memaafkannya setelah tahu seperti apa kisah pilunya. Saat kita terlalu sibuk untuk menimbang-nimbang, sang tokoh ternyata telah berpulang.
Lucunya, kita tidak lagi peduli apakah harus membenci atau memaafkan. Tangis tertumpah tanpa mau bilang-bilang. Kita tidak bisa menolak kenyataan bahwa kita ikut menangisi kepergiannya.
Kita pun bertanya-tanya, apakah layak On Ha Jun mendapatkan tangis? Barangkali ini 5 alasan mengapa kematian On Ha Jun dalam drama Korea Taxi Driver 2 memang layak ditangisi. Simak ulasannya di bawah ini!
1. Anak tak berdosa

Seperti apa pun kamu melihat diri On Ha Jun (Shin Jae Ha) sekarang, dulunya ia hanya seorang anak kecil yang tidak berdosa. Dikisahkan ia merupakan anak hilang yang "terkesan" dirawat oleh orang-orang di gereja. Di sana, banyak pula anak lain bernasib serupa.
Suatu hari ia diejek oleh teman-temannya karena tidak memiliki nama. Ya, ia tidak mengingat siapa namanya karena kehilangan ingatan. Menahan kesal, ia pun tidak sengaja mendorong salah satu temannya hingga terbentur batu lalu meninggal.
Nama temannya itu adalah On Ha Jun. Uskup (Im Jae Pil) yang menengahi pertengkaran tersebut kemudian memberikan nama itu sebagai identitas barunya. Inilah awal mula nama On Ha Jun menjadi miliknya.
Sang Uskup pun memberi petuah bahwa mendorong seseorang sampai meninggal itu tidak salah. Namun, yang salah adalah orang yang meninggal tersebut karena lemah. Bermula dari secuil doktrin sesat inilah, On Ha Jun tumbuh menjadi pembunuh yang tak merasa berdosa.
2. Didoktrin menjadi pembunuh

Setiap anak yang terlahir ke dunia akan diberi pengajaran oleh orangtuanya atau orang terdekatnya. Normalnya, kita akan diajarkan untuk menjadi berguna dan sekaligus tetap bahagia. Namun, bagaimana jika kita diajarkan untuk menjadi pembunuh?
Kita akan melewatkan asiknya bermain bersama teman sepulang sekolah. Kita terlalu sibuk menghapal teknik untuk mengakhiri nyawa seseorang. Kita juga akan melewatkan debarnya fase remaja dengan segala kenakalan dan konsekuensinya. Kita... sekali lagi, terlalu sibuk menghapal cara memanipulasi orang untuk menanggung kesalahan kita.
Kita tidak akan pernah bisa tumbuh seperti anak-anak lain. Kita akan menjadi manusia yang berbeda sedari awal, tepatnya dibuatkan jalur khusus menuju kengerian. Andai On Ha Jun adalah anak biasa, mungkin ia akan lebih suka ikut kelas musik atau olahraga.
Tidak ada satu anak pun yang secara sadar mau menjadi calon pembunuh di masa depan. Doktrin brutal dari sekitar tentang kewajaran membunuhlah yang telah mengaburkan pemikirannya.
3. Dijebak menjadi durhaka

Dijejali kejahatan pelan-pelan hingga menjadi makanan. Itulah gambaran hidup On Ha Jun. Ia tidak lagi bisa merasakan kegalauan mau menjadi apa. Profesinya sudah terarah sedari kecil, yaitu penjahat yang pandai membunuh. Dalam rentetan aksinya, ia pernah membunuh seseorang yang akan disesalinya. Siapakah orang itu?
Orang yang telah ia tuntaskan nafasnya itu adalah ayahnya sendiri. Sebenci-bencinya seorang anak kepada ayahnya, mungkinkah akan memilih jalan pintas untuk membunuh? Ternyata On Ha Jun tidak tahu bahwa itu adalah ayahnya.
Selama ini, On Ha Jun percaya bahwa ia adalah anak yang ditinggalkan orangtuanya. Uskuplah satu-satunya yang menerimanya dan mengasihinya. Ia begitu yakin bahwa setelah hilang ia tidak pernah dicari lagi.
Oh Ha Jun dipaksa mengimani bahwa orangtuanya tak menginginkannya lagi. Perasaan trauma diabaikan inilah yang memicunya untuk mengemis pengakuan Sang Uskup. Anak kecil yang takut ditinggalkan dalam diri On Ha Jun itu membuatnya rela melakukan apa saja selama ia merasa "dikasihi".
On Ha Jun memang meraih kasih sayang itu setiap kali sukses menjalankan perintah Sang Uskup. Bahkan, ia mendapatkan pujian ketika baru saja selesai membunuh sosok yang ternyata ayahnya itu sebagai misi pertamanya. Ia berhasil didurhakakan oleh ketidaktahuan.
On Ha Jun jadi makin percaya, semakin bertambah kengerian dari tangannya, semakin bertambah pula kasih dari Sang Uskup. Padahal, ia hanya alat Sang Uskup untuk menunaikan kepentingan pribadinya. Kasih sayang itu hanya delusi, yang nyata adalah manipulasi.
4. Korban manipulasi

Pernahkah kamu berpikir, di balik sosok psikopatnya, On Ha Jun juga merupakan seorang korban? Bagaimana kalau ternyata kisahnya juga menyesakkan? Bagaimana kalau kita hanya tidak mampu melihat bahwa ia pun terluka?
Menjelang episode akhir, ditunjukkan bahwa sebenarnya Sang Uskup sudah mengetahui siapa nama asli On Ha Jun. Namanya adalah Kim Dan Woo. Sebuah nama yang indah.
Fakta-fakta yang dijejali Sang Uskup kepada On Ha Jun sebagai anak hilang ternyata hanyalah karangan. Sebenarnya, On Ha Jun adalah korban penculikan. Ia sengaja diculik untuk dididik menjadi antek kotor Sang Uskup.
Uskup dengan segala skenario busuknya telah berhasil memanipulasi On Ha Jun agar menyerah pada harapan untuk ditemukan oleh orangtuanya. Ia tidak lagi peduli ia anak siapa atau bagaimana keadaan orang tuanya. Ia sudah belajar menerima bahwa ia hanya anak yang ditelantarkan.
Ketika On Ha Jun mendapat kunjungan dari Kepala Jang Sung Chul (Kim Eui Sung) di penjara, ia menerima amplop berisi informasi mengenai ayahnya. Betapa remuknya saat ia menatap foto keluarganya di masa kecil, ternyata wajah sang ayah adalah wajah yang pernah ia bunuh. Ia baru menyadari telah membunuh ayahnya sendiri.
Jika biasanya kamu melihat senyum ngerinya, kali ini kamu akan melihat tangis naasnya. Seluruh bumi rasanya ikut runtuh. Sosok yang tumbuh menjadi orang mengerikan ini rupanya hanya korban manipulasi keadaan.
Orangtuanya ternyata menolak untuk menyerah dalam mencarinya. Bahkan, pamflet tentang sketsa wajah On Ha Jun dari tahun ke tahun terus disebarkan oleh ayahnya dari satu manusia ke manusia lainnya, dari satu jalan ke jalan lainnya, dan dari satu dinding ke dinding lainnya. Ayahnya tidak pernah lelah mencari jalan untuk memeluk anaknya kembali.
5. Berani introspeksi

Di tengah tangis yang menjadi pasca mengetahui telah membunuh ayahnya sendiri, On Ha Jun berada di puncak keputusasaan. Bagaimana pun hidupnya telah direncanakan untuk hancur dan itu bukan oleh dirinya sendiri. Ia digiring melupakan nurani hingga lupa apakah ia masih manusia.
On Ha Jun hanya tahu bahwa setidaknya ia mesti melakukan penebusan. Bagaimana mestinya manusia menebus kesalahan? Berubah? Memanya apa yang bisa diubah? Kalau sudah berubah, apakah tiba-tiba dunia bisa lebih ramah? Bagaimana kalau hanya kita yang berubah, sedang dunia tetap marah? Barangkali, itu adalah genangan kepala On Ha Jun. Namun, ia tetap memutuskan untuk melangkah ke dalam ruang perubahan.
Ketika dibebaskan dari penjara, On Ha Jun balas memanipulasi Sang Uskup. Ia mengatakan bahwa tidak boleh ada yang membunuh Kim Do Ki (Lee Je Hoon) selain dirinya. Nyatanya, ia malah memasang badan saat peluru yang dilayangkan Sang Uskup hampir menembus Kim Do Ki. Di saat bersamaan pulalah, ia langsung menyeret Sang Uskup untuk menjatuhkan diri bersama dari atap.
Sebelum kematiannya, saat berpura-pura bertarung dengan Kim Do Ki, On Ha Jun sempat bertanya, "Jika aku bertemu kalian lebih dulu, apa semuanya akan berbeda?" Pengandaian seperti itu hanya dilontrakan jika hati disesaki penyesalan. Kita bisa tahu betapa On Ha Jun tersiksa akan kesalahannya sendiri.
On Ha Jun mungkin berkhayal, andai yang menemukannya adalah Kepala Jang, tentu ia akan dirawat dengan cinta. Ia bisa saja bergabung bersama tim taxi mewah dalam memberantas kejahatan, bukan malah menjadi pelaku kejahatan. Kita pun jadi ikut berkhayal, kalau kejadiannya seperti itu, apakah On Ha Jun akan tumbuh jadi manusia yang lebih bermakna?
Nyatanya kini ia terbaring memeluk kematian setelah menjalani hidup yang penuh ketidakadilan. Saat merenungkannya, kita dapat merasakan ketidakadilan itu. Kita dapat pula menangisi kemalangannya. Kita malah susah berhenti dari tangis yang mendera itu.
Selamat, penjahat itu telah berhasil membuat kita menangis. Rasanya 5 alasan tadi sudah cukup mengenyangkan kebingungan kita mengenai bolehkan menangisi kematian On Ha Jun dalam drama Korea Taxi Driver 2. Ya, kita sangat boleh menangisinya. Pertanyaannya, sudahkah kita memaafkannya?