7 Cara The Defects Menggambarkan Anak sebagai Komoditas, Bukan Manusia

Drama Korea The Defects menyajikan kritik terhadap praktik adopsi dan rekayasa genetik yang tidak etis. Ceritanya berpusat pada sebuah lembaga yang menangani penciptaan dan distribusi anak-anak dengan kriteria unggul.
Anak-anak dalam sistem ini tidak diperlakukan sebagai individu, melainkan sebagai produk yang bisa dipilih, diuji, dan dikembalikan jika tidak sesuai harapan. Berikut tujuh cara drama ini menggambarkan bagaimana anak dianggap sebagai komoditas, bukan manusia!
1. Anak Diciptakan secara Ilegal seperti Produk Pesanan. Bayi bisa dipesan dari sperma suami dan sel telur perempuan lain tanpa izin, diciptakan karena ambisi dan penyalahgunaan teknologi, bukan cinta

2. Penilaian Berdasarkan Genetik, Bukan Kepribadian. Anak dinilai dari IQ, bakat, dan potensi genetik, bukan karakter atau hati, menjadikan mereka “layak dibeli” hanya berdasarkan DNA mereka

3. Lelang Bayi Secara Tertutup. Bayi “unggul” dilelang kepada keluarga kaya dalam acara eksklusif. Siapa yang membayar lebih, dialah yang “memiliki” anak tersebut, seolah bayi adalah aset langka

4. Direktur Rumah Sakit Bertindak seperti ‘Produsen’ Anak. Kim Se Hee mengelola proses ini seperti lini produksi, menyortir, menciptakan, dan mendistribusikan anak-anak “unggul” tanpa empati

5. Anak Dituntut Sempurna dan Dijadikan Alat Pencitraan. Anak yang diadopsi harus tampil sempurna tanpa ruang untuk gagal, hanya untuk meningkatkan citra keluarga

6. Sistem "Refund Anak" seperti Barang Cacat. Jika anak tidak sesuai ekspektasi, mereka bisa dikembalikan, seperti produk cacat yang diklaim garansi, tanpa penerimaan atau kasih sayang

7. Anak yang Gagal Dikembalikan Lalu Dihapus. Anak yang dianggap gagal dihilangkan. Dalam sistem ini, kegagalan berarti “tidak layak hidup”—mereka dibuang seperti barang rusak yang tak bisa diperbaiki

Melalui ceritanya, The Defects mengajak penonton melihat sisi lain dari kemajuan teknologi yang tampak ideal, namun menyimpan banyak persoalan yang kompleks. Drama ini mengingatkan bahwa anak tidak seharusnya diperlakukan sebagai objek atau barang, melainkan sebagai manusia seutuhnya yang layak tumbuh dengan baik dan dicintai.