6 Contoh Microaggression di Kantor, Termasuk Bullying Terselubung

- Meremehkan kemampuan karena usia dan pengalaman
- Sering menyela atau mengabaikan pendapat orang lain
- Menganggap remeh usaha atau prestasi rekan kerja
Istilah microaggression merujuk pada perilaku, tindakan, atau sikap halus yang sebenarnya mengandung makna merendahkan atau menyinggung orang lain. Biasanya, perilaku ini tidak disadari oleh pelaku karena dibungkus dengan sikap "biasa aja" atau "sekadar bercanda." Namun, bagi penerimanya, microaggression bisa terasa menyakitkan dan meninggalkan dampak emosional yang cukup dalam.
Di tempat kerja, microaggression sering muncul dalam interaksi sehari-hari, baik antara rekan kerja, atasan, maupun bawahan. Karena bentuknya tidak selalu jelas, perilaku ini sering dianggap sepele. Padahal kalau terus dibiarkan, microaggression di kantor bisa menciptakan suasana kerja yang tidak sehat dan memicu stres berkepanjangan. Yuk, kenali beberapa bentuknya agar kita bisa lebih peka dan saling menghargai!
1. Meremehkan kemampuan karena usia dan pengalaman

Penilaian kemampuan seseorang hanya berdasarkan usia atau lama bekerja termasuk bentuk microaggression yang paling umum. Karyawan muda sering kali dipandang belum matang atau kurang kompeten, sementara yang lebih senior dianggap sulit mengikuti perkembangan zaman. Padahal, kemampuan seseorang tidak bisa diukur hanya dari faktor usia, melainkan dari kemauan belajar dan adaptasi yang ia miliki.
Perlakuan seperti ini membuat korban merasa tidak diakui potensi dan kontribusinya. Dalam jangka panjang, rasa tidak percaya diri bisa muncul dan menghambat kinerjanya. Lingkungan kerja yang sehat seharusnya memberi kesempatan setara untuk tumbuh, tanpa memandang siapa yang lebih muda atau lebih lama bekerja.
2. Sering menyela atau mengabaikan pendapat orang lain

Kebiasaan menyela orang yang sedang berbicara atau mengabaikan pendapat tertentu bisa jadi bentuk microaggression yang cukup mengganggu. Meski tampak kecil, hal ini mencerminkan kurangnya rasa hormat terhadap ide dan pandangan orang lain. Seseorang yang kerap disela atau tak diberi ruang bicara bisa merasa tidak dianggap dalam tim.
Jika berlangsung terus-menerus, korban bisa kehilangan keberanian untuk menyampaikan opininya. Ia mungkin mulai diam dalam rapat, menahan ide kreatif, dan merasa tidak punya tempat untuk didengar. Akibatnya, komunikasi dalam tim jadi tidak seimbang dan kerja sama pun melemah karena hanya suara tertentu yang mendapat ruang.
3. Menganggap remeh usaha atau prestasi rekan kerja

Microaggression juga bisa muncul lewat sikap yang menyepelekan hasil kerja orang lain. Ketika seseorang berusaha keras menyelesaikan proyek atau mencapai target, tapi usahanya tidak diakui, itu bisa memengaruhi semangatnya. Terlebih jika prestasinya dianggap kebetulan atau keberuntungan semata, bukan hasil kerja keras dan kemampuan.
Perilaku seperti ini membuat suasana kerja jadi tidak suportif. Orang yang diremehkan akan merasa tidak dihargai, dan motivasinya untuk berkembang pun menurun. Padahal, lingkungan kerja yang sehat dibangun dari apresiasi yang tulus, bukan dari perlombaan siapa yang lebih baik, tapi dari keinginan untuk tumbuh bersama.
4. Menyoroti penampilan atau latar belakang yang tidak perlu dibicarakan

Menyoroti hal-hal pribadi seperti gaya berpakaian, cara bicara, atau latar belakang seseorang dalam konteks profesional termasuk microaggression yang sering tidak disadari. Mungkin tujuannya tidak jahat, tapi tetap bisa menimbulkan perasaan tidak nyaman. Ketika identitas pribadi terus dijadikan topik pembicaraan, seseorang bisa merasa terasing dan tidak diterima sepenuhnya di lingkungan kerjanya.
Bentuk microaggression ini sering dialami oleh orang yang berbeda secara budaya, ras, atau gaya hidup dari mayoritas di tempat kerja. Efeknya bukan hanya pada rasa percaya diri, tapi juga pada rasa aman secara psikologis. Tempat kerja yang ideal seharusnya menilai seseorang dari kinerjanya, bukan dari hal-hal yang melekat pada identitas pribadinya.
5. Memberi beban kerja berlebih karena dianggap paling mampu

Tidak semua pujian berdampak positif, lho. Terkadang kalimat seperti, "kamu kan paling bisa" justru jadi bentuk microaggression yang tersembunyi. Ketika seseorang terus diberi tanggung jawab lebih dengan alasan ia paling cepat atau paling rajin, itu bisa menjadi tanda ketidakseimbangan beban kerja. Sekilas terlihat sebagai kepercayaan, tapi sebenarnya bisa menimbulkan tekanan besar.
Dalam jangka panjang, korban bisa merasa dimanfaatkan dan kelelahan secara mental maupun fisik. Ia mungkin mulai merasa tidak punya batas antara profesionalitas dan eksploitasi. Karena itu, penting bagi tim dan atasan untuk menilai kapasitas seseorang dengan bijak, bukan berdasarkan stereotip "paling mampu."
6. Mengabaikan keberadaan atau kontribusi orang tertentu

Ada kalanya microaggression muncul bukan dari ucapan, tapi dari sikap yang mengabaikan. Misalnya, seseorang tidak diikutsertakan dalam diskusi penting, atau kontribusinya tidak disebutkan dalam hasil kerja tim. Sekilas terlihat seperti kelalaian biasa, tapi bagi korban, hal itu bisa terasa menyakitkan karena menandakan ketidakpedulian terhadap usahanya.
Jika dibiarkan, perilaku ini bisa menumbuhkan rasa rendah diri dan hilangnya rasa memiliki terhadap pekerjaannya. Orang yang terus-menerus diabaikan juga bisa kehilangan motivasi untuk berkontribusi lebih jauh. Menghargai setiap orang secara setara bukan cuma soal etika, tapi juga kunci untuk menjaga semangat dan kepercayaan di tempat kerja.
Microaggression di kantor mungkin terlihat sepele, tapi dampaknya bisa sangat besar kalau terus dibiarkan. Jadi, sadari bentuk-bentuk halus dari bentuk bullying ini supaya kita bisa belajar untuk lebih berhati-hati dalam bersikap dan berbicara. Lingkungan kerja yang sehat selalu berawal dari rasa saling menghormati dan menghargai setiap individu. Apa kamu pernah mengalami salah satu dari tindakan di atas?


















