Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Langkah Praktis untuk Mengelola Emosi Lebih Baik di Lingkungan Kerja

potret karyawan sedang meeting di dalam ruangan (pexels.com/Felicity Tai)

Dalam lingkungan profesional dengan nilai kepemimpinan yang tinggi, memiliki keterampilan regulasi emosi yang baik juga penting. Regulasi emosi ini lebih dari sekadar menjaga ketenangan, melainkan juga memahami pemicu emosi, mengenali stres, dan menemukan cara untuk merespon daripada bereaksi.

Situasi emosi yang tiba-tiba meledak bisa saja kapan terjadi di tempat kerja, bahkan jika kamu dikenal sebagai seseorang yang sebelumnya sangat tenang. Misalnya, saat kamu hendak melakukan rapat dan harus presentasi, rasa tegang dan gugup yang bercampur membuat kamu menjadi jauh lebih sensitif.

Kamu bisa jadi tanpa sadar bereaksi berlebihan dengan nada bicara tinggi, saat ada atasan tidak langsung yang seakan mempertanyakan kredibilitas kamu dalam menyampaikan materi.

Jadi, kunci pengaturan emosi adalah mampu mengidentifikasi dan memberi label pada emosi yang kamu rasa saat itu juga. Ada lima langkah praktis untuk kamu lakukan agar bisa mengelola emosi lebih baik, ketahui lebih lanjut, yuk!

1. Ketahui pemicu emosi kamu dan gaya emosi orang lain

potret para karyawan terlibat dalam diskusi serius (pexels.com/Edmond Dantès)

Langkah pertama yang bisa kamu terapkan adalah dengan mengenali gaya kerja dan kepemimpinan yang ada di sekitar kamu. Kamu harus memahami apa yang memotivasi, ketakutan, dan prioritas yang mendorong rekan kerja, memungkinkan kamu mengantisipasi potensi perdebatan dan menyesuaikannya. Menunjukkan ancaman saat seseorang menekan titik pemicu diri, sebenarnya wajar, termasuk jika kamu merasa kesal karenanya.

Saat ada dua orang dengan gaya kerja dan kepemimpinan berbeda beradu pendapat, pertikaian memang bisa jadi salah satu hasilnya. Itulah mengapa, dalam kepemimpinan, memahami gaya kerja rekan sangatlah penting.

Contoh tambahan, jika kamu dikomentari kredibilitas sebagai  pemateri presentasi, maka jika kamu memahami cara kerja orang yang mengomentari, kamu bisa menunjukkan respon yang lebih strategis dan bijaksana.

2. Tetapkan niat emosional

potret seorang wanita berusaha tenang berbicara dengan rekan kerja (pexels.com/Werner Pfennig)

Sebelum percakapan yang menantang, pertimbangkan dahulu bagaimana kamu ingin merasa dan bagaimana lingkungan yang ingin kamu ciptakan. Tuliskan kata-kata tersebut sebelum kamu terlibat dalam percakapan yang berisiko tinggi.

Jadi, kamu bisa merujuk pada kata-kata tersebut selama rapat berlangsung, untuk menetapkan niat lurus serta bagaimana kamu ingin menciptakan lingkungan selama rapat itu terjadi. Contohnya, kamu bisa menuliskan gambaran sikap seperti "tenang, kuat, dan jelas."

Melalui pengingat sederhana yang kamu siapkan ini situasi berjalannya rapat bisa jadi lebih tenang, bahkan saat kamu harus berhadapan dengan percakapan sulit. Perlu dipahami, saat seseorang lepas kendali akan regulasi emosi, bisa jadi juga disebabkan oleh rangkaian pemicu stres yang bertubi-tubi datang.

Situasi tersebut dapat melemahkan mekanisme pertahanan yang selama ini sudah dimilikinya. Misalnya, karena tadi pagi pengasuh kamu mendadak mengabari tidak bisa datang, macet di jalan, ban mobil kempes dan lain-lain yang terjadi secara berurutan.

3. Atur waktu untuk percakapan berisiko tinggi

potret rekan kerja sedang berdiskusi penting (pexels.com/Yan Krukau)

Jika memungkinkan, lebih baik kamu menjadwalkan secara khusus percakapan yang menantang, saat kamu sedang berada di kondisi terbaik. Maksudnya, jika kamu ternyata sedang stres dan kurang tidur, lebih baik pertimbangkan kembali pecakapan tersebut.

Mengetahui batas dan emosi kamu dapat mencegah terjadinya konfrontasi yang tidak perlu. Jika kamu menyiapkan percakapan secara khusus, kamu pun bisa bersikap lebih bijak.

Pada dasarnya, setiap orang punya gaya komunikasi yang juga berbeda-beda, jika kamu lebih suka bicara serius melalui persiapan terlebih dahulu, maka tidak ada salahnya. Saat berada di bawah tekanan, biasanya kamu tidak menjadi diri kamu yang terbaik.

Kekuatan kamu bisa jadi kelemahan, sementara respon kamu bisa menjadi lebih reaktif. Saat kamu tidak dalam kondisi prima, alih-alih menyalurkan keahlian terbaik, kamu justru bisa menekannya secara berlebihan, sehingga menghasilkan efek samping sebaliknya.

4. Gunakan pertanyaan terbuka sebagai upaya buying time

potret karyawan sedang berdiskusi serius (pexels.com/Mikhail Nilov)

Jika kamu merasa frustasi, ajukan pertanyaan terbuka, seperti "apa saja pilihan lain yang telah kalian pertimbangkan?" alih-alih membuat pertanyaan langsung to the point. Kamu juga bisa menjawab perkataan orang yang dianggap menyerang, dengan kalimat seperti "Saya rasa itu tidak akan berhasil.", perkataann ini dapat membuat kamu jeda sejenak, menenangkan pikiran, meredakan ketegangan, dan mendorong kolaborasi.

Jadi alih-alih, mendebat kembali, segera pergi di tengah percakapan, atau membeku, lebih baik temukan ketenangan lebih dahulu.

Ingat, saat kamu sedang dikuasi oleh emosi, hingga merasa orang lai begitu melukai dirimu, biasanya kamu tidak akan bisa berpikir jernih. Bahkan saat di tempat kerja, ketika yang rekan kerja katakan adalah soal performa atau hasil kerja, kamu bisa jadi menangkapnya serupa serangan pribadi.

Jika kamu kemudian tidak ingin mendapatkan masalah atau memperkeruh suasana, lebih baik dinginkan kepala dahulu, baru tentukan bagaimana akan bersikap.

5. Pertimbangkan ke mana kamu akan mencurahkan energi

potret karyawan sedang mendengarkan dengan seksama (pexels.com/Kindel Media)

Jika kamu tidak perlu sepenuhnya memerhatikan terus-menerus orang yang membuat gelisah, ini bisa jadi momen saat kamu rehat. Selagi kamu sedang melakukan pekerjaan lain yang tidak melibatkan orang tersebut, kamu mungkin bisa merasa lebih rileks sebentar.

Mengalihkan energi negatif yang sebelumnya diterima, ke tempat lain. Jangan biarkan waktu dan energi kamu yang berharga terkuras oleh hal-hal yang menguras energi, jika kamu memang bisa menghindarinya sementara waktu.

Kamu beruntung jika rekan kerja itu tidak melulu harus berhubungan denganmu, jadi selagi sedang tidak, curahkan dan kumpulkan energi positif ke dalam diri kamu. Dengan begitu, saat kamu harus kembali berkomunikasi dengan orang itu lagi, kamu mungkin akan lebih full energi, sehingga tidak akan lengah.

Artinya, potensi untuk tetap mempertahankan regulasi emosi pun akan tetap baik. Ingat, jangan biarkan orang lain mengontrol emosi yang kamu miliki.

Memahami bagaimana mengatur emosi bukan tentang menghilangkan emosi yang kamu miliki. Dengan kamu memahami pemicu emosi diri sendiri, mempelajari berbagai kerja dan kepemimpinan, serta memperhatikan tingkat stres, kamu dapat melakukan pendekatan yang lebih sehat dan seimbang. Kamu pun bisa menampilkan sisi terbaik diri dengan lebih stabil dan optimal.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Nadhifa Salsabila Kurnia
EditorNadhifa Salsabila Kurnia
Follow Us