5 Pandangan yang Keliru Tentang Work-Life Balance

Istilah work-life balance mungkin sudah tidak asing terdengar. Work-life balance biasanya didefinisikan sebagai jumlah waktu yang kita habiskan untuk melakukan pekerjaan dibandingkan jumlah waktu yang kita habiskan dengan orang yang kita cintai atau mengejar minat dan hobi pribadi.
Ketika pekerjaan menuntut lebih banyak waktu atau perhatian, kita akan memiliki lebih sedikit waktu untuk menangani tanggung jawab atau minat kita yang lain.
Karenanya, banyak orang ingin mencapai keseimbangan antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi, sehingga pekerjaan tidak memakan sebagian besar waktu mereka. Tapi seberapa banyak orang yang benar-benar memahami dan merealisasikannya secara tepat? Bahkan tak jarang adanya pandangan yang keliru mengenai work-life balance, seperti lima hal di bawah ini.
1. Menganggap jika "work" dan "life" adalah dua hal yang berkebalikan

Salah satu miskonsepsi terhadap konsep work-life balance adalah anggapan jika pekerjaan dan kehidupan pribadi merupakan hal bersebrangan yang perlu dipisahkan. Padahal, keduanya saling bersinergi untuk menunjang satu sama lain.
Sebagian besar orang menghabiskan waktu untuk bekerja dalam hidupnya, jadi tidak dapat dipungkiri kalau pekerjaan memainkan peran kunci dalam membentuk tingkat kebahagiaan dan kepuasan dalam hidup kita.
Banyak yang beranggapan kalau bekerja termasuk salah satu "beban", sedangkan kehidupan pribadi adalah hal yang bisa kita nikmati. Namun, pentingnya memiliki pekerjaan lebih dari sekadar menerima gaji. Sejumlah besar penelitian menunjukkan bahwa aspek pekerjaan non-moneter juga merupakan pendorong utama kesejahteraan masyarakat. Status sosial, hubungan sosial, pencapaian, dan aktualisadi diri semuanya memberikan pengaruh yang kuat pada kebahagiaan hidup seseorang.
Sedangkan kehidupan pribadi di luar pekerjaan juga bisa menunjang performa seseorang dalam bekerja. Misalnya aspek spiritual, menjaga kesehatan tubuh dan mental, berlatih manajemen stres, melakukan self-development, dan lain sebagainya.
2. Pekerjaan dan kehidupan pribadi harus dibagi secara setara

Untuk mewujudkan work-life balance, banyak orang menggunakan metode 8:8:8, yaitu 8 jam untuk bekerja, 8 jam untuk tidur, dan 8 jam untuk kegiatan pribadi serta kleuarga. Tapi sayangnya, hal ini tidak bisa dipukul rata untuk semua orang. Seimbang bukan artinya harus 50:50 secara kuantitas, melainkan atas dasar keadaan dan kebutuhan subjektif setiap individu.
Ada orang yang merasa nyaman di 60:40 atau 70:30, dan itu tidak apa-apa. Akan ada hari-hari ketika kita perlu bekerja selama 10 jam, atau ada hari-hari landai yang memungkinkan kita bekerja di di bawah delapan jam. Alih-alih memaksakan diri untuk mengkotak-kotakkan hidup, atur jumlah waktu yang tepat untuk prioritasmu saat ini.
Contohnya, kalau kamu sedang dikejar deadline, kamu mungkin perlu bekerja lebih lama atau bahkan kehilangan quality time bersama keluarga dan teman. Tapi kalau setelah berhasi melewati deadline itu kamu merayakannya dengan pergi bersama keluarga, pada saat itulah kamu "membayar" kelebihan jam kerja tersebut.
3. Fokus pada work-life balance akan membuat performance pekerjaan kita menurun

Sebagian orang khawatir jika fokus pada work-life balance malah akan "membunuh" motivasi karyawan untuk bekerja keras karena cenderung ingin melakukan segalanya dengan santai saja. Padahal dari sudut pandang psikologi kerja, hal ini malah berkebalikan. Seperti yang sudah dijelaskan di poin awal, jika pekerjaan dan kehidupan pribadi saling bersinergi untuk menunjang satu sama lain.
Ketika seseorang berada dalam kondisi prima secara fisik, mental, serta kebutuhan dasarnya telah terpenuhi, inner motivation seseorang akan muncul dengan sendirinya. Keinginan menjadi lebih baik lagi dan mendobrak limit kemampuannya dalam melakukan sesuatu.
Selain itu, seseorang akan bisa jauh lebih fokus, lebih tahan terhadap stressor, dan melakukan pekerjaan dengan efektif. Bukan hanya terlihat sibuk tapi faktanya hanya mengulur waktu tanpa menjadi benar-benar produktif.
4. Work-life balance hanya bisa diterapkan pada kantor yang jam kerjanya fleksibel

Banyak yang beranggapan kalau work-life balance lebih mudah diterapkan pada kantor yang jam kerjanya fleksibel, terutama jika bekerja remote. Meskipun pada prinsipnya tidak sepenuhnya salah, tapi besarnya fleksibilitas juga bisa menjadi tantangan.
Jam kerja fleksibel membutuhkan kemampuan kita dalam mengorganisir waktu. Salah-salah, kita malah bekerja lebih lama di rumah daripada beristirahat. Selain itu, seseorang biasanya diharapkan untuk standby lebih lama untuk sewaktu-waktu kehadirannya dibutuhkan. Kadang, di malam hari yang notabene waktu untuk istirahat pun masih "berhak" dihubungi dengan alasan jam kerja fleksibel. Sehingga batasan antara bekerja dan beristirahat pun menjadi kabur.
5. Pandangan work hard play hard

Banyak yang menganggap kalau cara untuk menyeimbangkan diri dari tekanan setelah bekerja adalah dengan bersenang-senang dan melakukan hal lainnya yang bersifat entertaining. Misalnya belanja, liburan, makan makanan enak, nongkrong, dan lain sebagainya.
Padahal, keseimbangan dan juga peningkatan kualitas hidup yang dimaksud lebih dari itu. Ada banyak variabel yang menentukan kualitas hidup dan kebahagiaan kita secara keseluruhan, seperti pola makan, aktivitas fisik yang kita lakukan, kemampuan manajemen stres, pola tidur, self-development, dan menjaga kesehatan tubuh agar tetap fit.
Salah satu masalah kesehatan yang sering dikeluhkan akibat ketidakseimbangan ini adalah sakit maag. Rasa nyeri pada lambung dan ulu hati tentu membuat kita tidak nyaman beraktivitas. Selain menjalankan pola hidup sehat, memilih obat yang tepat juga akan menunjang pemulihan. Misalnya memilih obat yang terbuat dari 100% herbal alami seperti Esemag dari Sido Muncul.
Obat ini mengandung bahan aktif curcuminoid dari kunyit, licorice, dan meniran yang dapat meredakan ngguan lambung seperti mual, muntah, hingga rasa tertusuk di ulu hati. Karena terbuat dari bahan alami, Esemag tak memiliki efek samping sehingga aman dikonsumsi setiap hari tiga kali sehari. Pokoknya ketika gejala sakit lambung menghadang, #gakmaagsalah!
Kunci menerapkan work-life balance adalah mengenal diri senndiri lebih baik lagi. Dengan begitu, kamu akan mengenal apa saja kebutuhanmu dan bagaimana cara yang sesuai dengan kondisimu untuk menyeimbangkan kehidupan pribadi maupun karier.