5 Ciri Performative Male di Lingkungan Kerja, Jarang Disadari!

- Performative male behavior di kantor sering terlihat dalam dominasi rapat dan pengambilan kredit atas kerja tim.
- Perilaku ini juga tercermin dalam meremehkan pendapat atau keahlian rekan wanita serta fokus pada citra kepemimpinan daripada kerja sama.
- Selain itu, performative male behavior juga menggunakan humor atau sarkasme untuk menunjukkan dominasi, yang bisa membuat lingkungan kerja kurang nyaman.
Di tempat kerja, kamu mungkin pernah melihat rekan atau atasan pria yang terkesan berbeda. Mereka selalu ingin menunjukkan diri sebagai sosok paling berpengaruh, paling berani mengambil keputusan, atau paling kompeten dalam segala hal. Fenomena ini disebut sebagai performative male behavior.
Perilaku ini sering dilakukan bukan hanya demi produktivitas, melainkan lebih untuk mempertahankan citra tertentu di depan orang lain. Menariknya, hal ini sering kali terjadi secara halus dan jarang disadari. Ada lima ciri performative male yang umum terjadi di lingkungan kantor sebagai berikut!
1. Selalu berusaha mendominasi dalam rapat

Tanda yang paling terlihat adalah ketika seseorang selalu ingin mendominasi percakapan dalam rapat. Misalnya, ada rekan yang terus-menerus berbicara tanpa memberi ruang bagi orang lain untuk menyampaikan pendapat.
Bahkan saat ide orang lain disampaikan, ia merasa perlu untuk mengulang atau mengemas ulang ide tersebut seolah-olah datang darinya. Fenomena ini sering dianggap wajar karena budaya kerja yang masih menganggap bahwa suara paling lantang adalah yang paling berpengaruh.
2. Mengambil kredit atas kerja tim

Pernah kesal ketika pekerjaan yang dilakukan susah payah malah diakui orang lain? Dalam banyak kasus, fenomena ini dilakukan secara halus oleh rekan laki-laki. Mereka mungkin tidak mengklaim secara langsung, tapi caranya berbicara atau melaporkan hasil kerja seolah-olah ia yang menjadi penggerak utama.
Fenomena ini adalah bentuk performative behavior yang berbahaya. Gak hanya merugikan anggota tim, tapi juga memperkuat stereotip bahwa pemimpin atau sosok yang paling terlihat adalah yang paling berjasa. Padahal, dalam bekerja juga butuh kerja sama tim.
3. Meremehkan pendapat atau keahlian rekan wanita

Bias gender masih kerap muncul dalam bentuk yang tak selalu terlihat jelas. Fenomenanya adalah ketika pria dalam tim cenderung meremehkan atau menyepelekan pendapat rekan kerja wanita, baik secara terang-terangan maupun melalui candaan.
Misalnya, ia menganggap analisis dari rekan wanita kurang kuat hanya karena disampaikan dengan terlalu lembut. Sebab penyampaian yang tidak menggunakan gaya tegas sering diasosiasikan dengan maskulinitas. Fenomena ini jarang disadari karena dibalut dengan alasan candaan.
4. Terlalu fokus pada citra kepemimpinan daripada kerja sama

Banyak pria di lingkungan kerja merasa bahwa untuk dianggap sukses, mereka harus terlihat sebagai pemimpin yang selalu berada di depan. Harus selalu mengambil keputusan, dan memberi arahan. Namun, tak sedikit yang melakukannya secara performative, hanya untuk menjaga citra.
Misalnya, selalu ingin menjadi juru bicara dalam presentasi penting, meskipun bukan yang paling memahami detail proyek. Atau, sengaja membuat keputusan tanpa mendengar masukan tim. Padahal, kepemimpinan sejati butuh kerja sama dan memberi kesempatan bagi setiap anggota tim untuk bersinar.
5. Menggunakan humor atau sarkasme untuk menunjukkan dominasi

Humor seharusnya membuat suasana kantor lebih santai dan akrab. Sayangnya, humor atau sarkasme juga digunakan untuk mempertahankan dominasi. Contohnya adalah candaan yang meremehkan kemampuan seseorang, memberi label yang memperkuat stereotip gender, atau menggunakan bahasa tubuh yang mengintimidasi saat bercanda.
Fenomena ini sering dianggap bagian dari budaya kerja yang “fun”, tapi sebenarnya menyimpan bentuk performatif yang bertujuan menunjukkan siapa yang paling berkuasa atau paling berani. Hal seperti ini tentunya bisa bikin lingkungan kerja jadi kurang nyaman.
Performative male di kantor bukanlah isu kecil. Tanpa disadari, perilaku ini dapat membentuk budaya kerja yang tidak inklusif dan membuat suara terpinggirkan. Kamu pernah punya rekan kerja seperti lima ciri di atas?