Microshifting: Tren Kerja Baru ala Gen Z yang Tinggalkan Sistem 9 to 5

- Microshifting menjadi pilihan Gen Z untuk memiliki kehidupan yang berimbang dengan income stabilRiset Deputy: microshifting populer karena fleksibilitas waktu kerja, mendorong inklusivitas ekonomi, dan dipandang ideal bagi pekerja dengan tanggung jawab lain di luar pekerjaan utama.
- Karakteristik Gen Z di tempat kerjaGen Z aktif mencari peluang kerja baru, ingin naik jabatan, dan memprioritaskan gaji serta budaya kerja. Mereka enggan career stuck dan berkompromi pada upah yang adil dan lingkungan kerja yang sehat.
- Biaya hidup makin tinggi, Gen Z pilih menekuni kerja paruh waktu secara bersamaan
Gen Z memberikan kontribusi besar terhadap pergeseran makna dan definisi pekerjaan masa kini. Terlebih menyoal working hours, generasi ini tampaknya mengalami perubahan paradigma terkait pola 9 to 5 yang dianggap tradisional. Tak lagi menjadi tolok ukur produktivitas, Gen Z membawa nilai dan tren baru merespons kebutuhan saat ini. Salah satunya adalah microshifting.
Microshifting menerapkan praktik kerja yang lebih fleksibel dengan kendali pribadi untuk memecah blok-blok kerja dan rehat secara mikro. Alih-alih bekerja secara terus-menerus dalam durasi 8 jam, microshifting memungkinkan karyawan untuk bekerja dalam sesi singkat.
Konsep ini juga memungkinkan karyawan untuk mengatur waktu kerja berdasarkan momen atau fase paling produktif bagi mereka. Selebihnya, karyawan dapat menyusun waktu istirahat, menyesuaikan dengan jam kerja yang telah dibentuk sendiri.
Tren ini tak muncul tanpa sebab. Microshifting didasari oleh kecenderungan generasi muda untuk melakoni sejumlah pekerjaan paruh waktu, artinya ada tekanan ekonomi.
Selain itu, sebagaimana disebutkan dalam laporan The Big Shift: How Gen Z is Rewriting the Rules of Hourly Work oleh Deputy, gelombang pekerjaan ini dipengaruhi oleh perubahan demografi tenaga kerja serta kemajuan pesat dalam AI. Berikut adalah laporan lengkap dari Deputy, perusahaan software yang menyediakan solusi manajemen tenaga kerja.
1. Microshifting menjadi pilihan Gen Z untuk memiliki kehidupan yang berimbang dengan income stabil

Riset yang dilakukan Deputy mengungkapkan microshifting atau pergeseran mikro makin populer. Hal ini disebabkan oleh terbukanya kesempatan bagi pekerja untuk menyusun jadwal kerja mereka sendiri, menyesuaikan dengan tanggung jawab dan kewajiban pribadi.
Tren microshifting muncul sebagai respons atas kesenjangan yang dialami pekerja perempuan dibandingkan laki-laki di Amerika Serikat. Angka dari gap ini mencapai 11 persen. Kesenjangan ini terutama disebabkan oleh minimnya fleksibilitas dalam pasar tenaga kerja yang menerapkan working hours tradisional.
Sistem microshift dianggap mampu mendorong inklusivitas ekonomi yang lebih luas serta membantu bisnis untuk mendapatkan talenta yang lebih beragam. Micro-shifts dipandang sebagai inovasi ideal bagi pekerja yang memiliki tanggung jawab lain di luar pekerjaan utama mereka, seperti pengasuhan atau urusan keluarga.
Fenomena microshifting ditunjang dengan kehadiran kecerdasan buatan (AI) guna memperkuat sistem kerja shift. Mayoritas pekerja, 63 persen dari mereka memanfaatkan AI untuk menunjang alur kerja yang lebih positif.
Perangkat kecerdasan buatan ini membantu menciptakan sistem penjadwalan berbasis AI. Pekerja melaporkan adanya peningkatan keseimbangan antara kehidupan profesional dengan pribadi berkat sistem tersebut.
Pengaruh teknologi inilah yang mengubah lanskap tenaga kerja. Diperkirakan, shift work jobs akan terus mengalami peningkatan. Regulasi bagi pekerja lepas atau gig jobs juga akan ditinggalkan, gen Z akan lebih memilih stable micro-shifts dengan harapan income yang lebih stabil dan aman.
2. Karakteristik Gen Z di tempat kerja

Gen Z menjadi generasi utama dalam dunia kerja saat ini. Oleh karenanya, mereka aktif meredefinisi harapan, kebiasaan dan preferensi dalam bekerja. Data dari survei Deputy mengungkapkan karakteristik Gen Z dalam bekerja.
Sebanyak 29 persen Gen Z aktif mencari peluang kerja baru di perusahaan lain. Tak menunjukkan rasa takut untuk berpindah jalur karier demi mendapat kesempatan yang lebih sesuai aspirasi dan nilai pribadi.
Karakteristik lain yang menonjol di kalangan generasi muda adalah ambisi untuk menjajaki tangga karier yang lebih tinggi. Statistik menunjukkan 32 persen generasi muda memiliki keinginan untuk berkembang dan naik jabatan di perusahaan tempat mereka bekerja, enggan untuk career stuck.
Alasannya, Gen Z memprioritaskan gaji dan budaya kerja. Keduanya dinilai penting sehingga harus didapatkan secara bersamaan. Generasi ini enggan berkompromi akan kedua aspek tersebut. Upah yang adil dan lingkungan kerja yang sehat, menjadi poin utama dalam membentuk strategi ketenagakerjaan di berbagai industri.
3. Biaya hidup makin tinggi, Gen Z pilih menekuni kerja paruh waktu secara bersamaan

Tren lain yang mendorong gen Z untuk melakukan shift workers adalah krisis biaya hidup. Meningkatnya pengeluaran generasi muda dan inflasi yang terjadi, memunculkan tren poly-employment melonjak tajam atau sebesar 5,4 persen dari total seluruh pekerja.
Poly-employment adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan seseorang dengan beberapa peran pekerjaan sekaligus. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian generasi muda masih bergantung pada beberapa pekerjaan sekaligus untuk mengelola tekanan finansial mereka.
Sebanyak 68 persen Generasi Z merupakan seorang poly-employment. Angka ini jauh berbeda dengan Milenial yang hanya menunjukkan statistik sebesar 25 persen. Selain Generasi Z, perempuan juga mendominasi peran poly-workers sebesar 58 persen.
Tingginya angka yang menunjukkan perempuan berperan sebagai poly-workers, mengindikasikan bahwa perempuan muda bekerja menghadapi tekanan biaya hidup secara tidak proporsional. Oleh karenanya, mereka mengambil sejumlah pekerjaan secara bersamaan.