5 Alasan Gak Semua Orang Cocok Baca Buku di Gadget

- Sensasi fisik buku sulit tergantikan
- Layar dianggap sebagai sumber distraksi
- Preferensi cara otak memproses informasi
Di tengah kemudahan akses ebook dan maraknya gadget baca digital, buku fisik tetap punya tempat spesial di hati banyak orang. Meski secara praktis ebook jauh lebih ringan, murah, dan gampang dibawa ke mana-mana, faktanya nggak semua pembaca bisa betah membaca lewat layar.
Ada yang cepat capek, susah fokus, atau justru merasa pengalaman bacanya jadi hambar. Preferensi ini bukan soal mana yang lebih modern atau ketinggalan zaman, tapi soal kebiasaan, kenyamanan, dan cara otak masing-masing orang memproses bacaan. Itulah kenapa, sampai sekarang, buku fisik dan buku digital masih berjalan berdampingan.
1. Sensasi fisik buku masih sulit tergantikan

Bagi sebagian orang, membaca bukan cuma soal teks, tapi juga pengalaman fisiknya. Bau kertas, tekstur halaman, dan suara saat membuka buku memberi kepuasan tersendiri yang nggak bisa direplikasi oleh layar.
Buku fisik juga memberi rasa progres yang nyata, seperti melihat halaman yang semakin menipis di tangan kanan. Sensasi ini bikin proses membaca terasa lebih “hidup” dan personal. Ketika pengalaman itu hilang, sebagian pembaca merasa koneksi emosionalnya ke buku ikut berkurang.
2. Layar tetap dianggap sebagai sumber distraksi

Meski e-reader dibuat khusus untuk membaca, tetap saja sebagian orang mengasosiasikan membaca di gadget dengan aktivitas digital lain. Ada rasa “siap terdistraksi” yang muncul, entah karena kebiasaan multitasking atau pengalaman lama membaca di ponsel dan tablet.
Otak jadi susah masuk ke mode fokus penuh seperti saat membaca buku fisik. Bahkan tanpa notifikasi sekalipun, keberadaan layar bisa memicu keinginan untuk berpindah aktivitas. Akhirnya, membaca jadi terasa lebih melelahkan secara mental.
3. Preferensi cara otak memproses informasi

Setiap orang punya cara berbeda dalam menyerap informasi tertulis. Ada pembaca yang lebih mudah memahami isi buku saat melihat teks di kertas, mencoret langsung, atau menempelkan catatan fisik.
Membaca di layar terasa terlalu “bersih” dan kurang memberi ruang untuk interaksi spontan dengan teks. Beberapa studi juga menunjukkan bahwa sebagian orang lebih mudah mengingat struktur bacaan saat membaca versi cetak. Ini bukan soal pintar atau tidak, tapi soal kecocokan gaya belajar.
4. Buku fisik memberi batas yang jelas antara membaca dan aktivitas lain

Saat membaca buku fisik, aktivitas itu berdiri sendiri. Kamu duduk, membuka buku, dan fokus membaca tanpa transisi digital. Berbeda dengan gadget yang sering dipakai untuk banyak fungsi sekaligus, membaca jadi bercampur dengan konteks lain. Bagi sebagian orang, batas yang jelas ini penting untuk membangun ritual membaca. Tanpa ritual itu, membaca di gadget terasa kurang sakral dan gampang ditunda.
5. Faktor emosional dan nostalgia

Buku fisik sering terhubung dengan memori personal, rak buku di rumah, kebiasaan membaca sebelum tidur, atau pengalaman meminjam buku dari orang lain. Ada rasa memiliki yang kuat saat menyimpan buku di rak, lengkap dengan bekas lipatan atau catatan lama. Gadget, sepraktis apa pun, terasa lebih netral dan dingin secara emosional. Buat pembaca tertentu, hubungan emosional ini justru jadi alasan utama kenapa buku fisik lebih disukai.
Ketidakcocokan membaca di gadget bukan berarti menolak teknologi, tapi mencerminkan kebutuhan dan kebiasaan yang berbeda. Buku fisik dan buku digital menawarkan pengalaman yang sama-sama valid, hanya dengan pendekatan yang berbeda.
Selama membaca tetap jadi aktivitas yang menyenangkan dan bermakna, medium apa pun sebenarnya sah-sah saja. Yang terpenting bukan formatnya, tapi hubungan antara pembaca dan teks yang dibaca.


















