5 Novel Distopia Klasik tentang Pembatasan Kebebasan selain 1984

Sejak dulu, pembatasan kebebasan jadi momok bagi para pekerja kreatif, termasuk penulis. Tak heran kalau banyak buku klasik yang membahas fenomena ini, terutama dalam genre distopia. Membayangkan bilamana kebebasan jadi privilese di tengah tatanan dunia yang tak mendukungnya, tak sedikit ceritanya yang dekat dengan realitas.
Selain 1984 karya George Orwell yang melegenda, setidaknya ada lima rekomendasi novel klasik distopia tentang pembatasan kebebasan yang wajib kamu baca. Asupan untuk melatih logika dan empatimu, nih!
1. We (Yevgeny Zamyatin)

Berlatar abad ke-26, novel We berkutat pada kehidupan penduduk sebuah kota yang dikurung dalam kubah kaca raksasa. Mereka tak pernah mengenal yang namanya seni dan kreativitas. Semuanya sudah diatur dan diseragamkan, sampai seorang ahli matematika merilis sebuah temuan baru, yakni keberadaan jiwa dan keinginan indiividu. Novel ini bakal mengingatkanmu pada 1984 dan The Giver.
2. Brave New World (Aldous Huxley)

Mirip novel sebelumnya, Brave New World juga membayangkan bilamana manusia diatur sedemikian rupa agar bisa melancarkan rencana rezim. Mereka didoktrin sejak dini, dan dicekoki obat khusus agar tak bisa melawan.
Caranya cukup menarik, tapi mengerikan, yakni memastikan nafsu serta kebutuhan mereka terpenuhi. Dengan begitu, potensi dan keinginan mereka untuk melawan atau mempertanyakan pemerintah akan mereda dengan sendirinya.
3. The Handmaid's Tale (Margaret Atwood)

Disebut salah satu pelopor novel klasik feminis, The Handmaid's Tale memang dengan gamblang membayangkan bilamana peran perempuan benar-benar direduksi layaknya objek belaka. Mereka dibagi dalam berbagai tugas yang berorbit pada kepentingan laki-laki. Salah satunya Offred, seorang perempuan yang berada pada masa subur dan ditunjuk jadi handmaid, yang tugasnya berkutat pada peran reproduksi belaka.
4. I Who Have Never Known Men (Jacqueline Harpman)

I Who Have Never Known Men mengikuti perspektif seorang remaja perempuan yang sejak lahir berada di penjara bersama 39 perempuan lain. Usia mereka bervariasi dan lakon kita adalah yang termuda, tetapi satu yang sama, mereka tak punya rekoleksi memori tentang alasan mereka terkurung di situ.
Sang lakon yang berada pada masa pubertas mulai mempertanyakan eksistensi dan rasa-rasa aneh yang menghampirinya. Sembari mengikuti perjalanannya mengenal diri sendiri, ia ternyata sedang membuka kunci kebebasan untuk para rekan tahanannya.
5. Slaughterhouse-Five (Kurt Vonnegut)

Berat di pesan antiperangnya, Slaughterhouse-Five sebenarnya juga bicara tentang restriksi kebebasan yang menimpa banyak orang pada era Perang Dunia II. Billy adalah lakon kita, tentara yang setelah jadi tawanan perang harus mengidap gangguan psikis karena trauma yang dialaminya.
Billy diperkenalkan sebagai narator yang tak bisa dipercaya, pembaca seolah dibebaskan untuk membuat interpretasi sendiri. Memadukan berbagai genre sekaligus, sejarah, sains fiksi, dan distopia, komentarnya tentang pentingnya kemerdekaan berpikir cukup nampol.
Kebebasan mungkin sesuatu yang kamu anggap biasa. Namun, untuk beberapa kasus, itu adalah sebuah privilese yang susah diraih, lho. Novel-novel tadi memang contoh ekstrem ketika kebebasan direnggut, tetapi jangan remehkan relevansinya dengan realitas masa kini. Buktinya makin banyak kebebasan kita yang terancam karena manipulasi regulasi.