Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

6 Pemicu Stres dari Lingkungan Sosial yang Sering Kamu Abaikan

ilustrasi merasa stres
ilustrasi merasa stres (freepik.com/katemangostar)

Stres gak hanya bersumber dari pekerjaan atau masalah pribadi. Banyak orang yang justru mengalami kelelahan mental karena tekanan sosial yang dihadapi setiap hari. Lingkungan sosial berperan besar dalam membentuk cara kamu berpikir, merasakan emosi, dan bereaksi. Tanpa sadar, interaksi sederhana berubah jadi sumber stres yang perlahan terus menumpuk.

Apalagi kalau kamu terbiasa memendam perasaan dan memilih diam untuk menjaga suasana tetap adem. Lambat laun tekanan kecil ini berpengaruh pada suasana hati dan kepercayaan diri. Kamu gampang cemas, overthinking dan merasa gak cukup baik. Yuk pahami kelima sumber stres dari lingkungan sosial yang perlu didasari sejak awal.

1. Merasa harus menyenangkan semua orang

ilustrasi merasa harus menyenangkan orang lain
ilustrasi merasa harus menyenangkan orang lain (freepik.com/katemangostar)

Banyak yang punya keyakinan bahwa disukai semua orang adalah hal penting, sehingga mereka selalu berusaha menyenangkan lingkungannya. Kamu gak bisa menolak ajakan, permintaan bahkan bantuan meski kondisi fisik dan mental sudah lelah. Perasaan gak enakan muncul karena takut dianggap egois, gak peduli, atau dianggap berubah. Akhirnya, kamu mengorbankan waktu istirahat, kebutuhan pribadi dan prinsip sendiri.

Saat orang lain kecewa kamu langsung menyalahkan diri tanpa melihat batas kemampuanmu. Pola ini bikin kamu terus melihat reaksi orang lain dan lupa untuk mendengarkan diri sendiri. Tekanan menjadi selalu ramah, pengertian, dan siap membantu membuat pikiran gak pernah istirahat. Kalau dibiarkan, stres bisa muncul karena kamu kehilangan ruang untuk jadi diri sendiri.

2. Sering membandingkan hidup dengan orang sekitar

ilustrasi membandingkan dengan orang lain
ilustrasi membandingkan dengan orang lain (freepik.com/user18526052)

Lingkungan sosial menjadi tempat munculnya perbandingan. Obrolan soal karier, hubungan, pencapaian, atau gaya hidup membuatmu mulai menilai diri dari standar orang lain. Kamu melihat teman yang lebih sukses lalu merasa hidupmu hanya jalan di tempat. Padahal, apa yang terlihat di luar belum tentu cerminan dari proses dan perjuangan mereka.

Perbandingan ini bikin kamu lupa untuk menghargai progres kecil yang kamu capai. Rasa puas lebih cepat hilang karena selalu ada orang yang lebih sukses. Pikiran dipenuhi pertanyaan tentang kekurangan diri sendiri yang sebenarnya gak perlu. Stres muncul karena kamu menjalani hidup sesuai timeline orang lain, bukan kebutuhan dan kemampuan sendiri.

3. Berada di lingkungan yang penuh keluhan dan energi negatif

ilustrasi di lingkungan yang banyak keluhan
ilustrasi di lingkungan yang banyak keluhan (freepik.com/freepik)

Lingkungan sosial yang sering mengeluh tanpa solusi juga berdampak pada kondisi mental kamu. Awalnya kamu hanya mendengarkan, tapi lama-lama ikut merasa lelah dan pesimis. Obrolan yang penuh dengan keluhan, sindiran, atau gosip membuat suasana hati menurun. Tanpa sadar, pikiran ikut fokus pada hal-hal negatif.

Kamu lebih mudah kesal, cemas, dan sulit melihat sisi baik saat menghadapi situasi tertentu. Energi emosional terkuras meski kamu gak berhubungan langsung dengan masalah. Lingkungan seperti ini membuatmu ragu saat mau berkembang karena takut dihakimi. Kalau terus terpapar, stres bisa muncul karena pikiran gak pernah mendapat ruang yang sehat.

4. Merasa harus terlihat kuat dan baik-baik saja

ilustrasi merasa harus terlihat kuat
ilustrasi merasa harus terlihat kuat (freepik.com/freepik)

Banyak lingkungan sosial yang belum terbiasa memberikan ruang emosi dengan jujur. Kamu merasa harus terlihat kuat, stabil, dan baik-baik saja di depan orang lain. Akhirnya, saat lelah, sedih, atau kecewa, kamu memilih memendam semuanya sendiri. Kamu takut dianggap lemah, berlebihan, atau menyusahkan orang lain.

Inilah alasan kamu memakai topeng supaya tetap diterima. Padahal, menekan emosi membuat beban mental semakin berat. Tubuh dan pikiran bekerja lebih ekstra untuk menutupi apa yang dirasakan. Stres muncul sebagai bentuk kelelahan emosional yang sudah lama di tahan. Semua ini terjadi karena kamu gak diberi ruang aman untuk jadi pribadi yang utuh.

5. Batasan pribadi yang sering diabaikan oleh lingkungan

ilustrasi mencampuri urusan pribadi
ilustrasi mencampuri urusan pribadi (freepik.com/freepik)

Lingkungan sosial biasanya terlalu bebas mencampuri urusan pribadi. Pertanyaan sensitif sering dikemas dengan alasan peduli atau bercanda. Kamu merasa gak nyaman, tapi gak berani menegur karena takut merusak hubungan. Akhirnya, kamu memilih diam meski perasaan juga terganggu.

Setiap interaksi penuh dengan kewaspadaan dan rasa gak aman. Kamu mulai menghindari obrolan yang sensitif demi menjaga diri. Padahal, batasan pribadi penting untuk menjaga kesehatan mental. Saat batas ini terus dilanggar tanpa disadari, stres pun perlahan menumpuk dan sulit diungkapkan.

6. Konflik sosial yang dibiarkan terlalu lama

ilustrasi konflik dengan teman
ilustrasi konflik dengan teman (freepik.com/

Konflik sosial yang gak pernah diselesaikan menjadi beban pikiran jangka panjang. Meski terlihat sepele, dampaknya tetap terasa setiap kali berinteraksi. Kamu terus mengingat kejadian lama dan memikirkan semua kemungkinan buruk. Setiap pertemuan menjadi sedikit canggung dan bikin gak nyaman.

Pikiranmu sibuk mengatur sikap biar gak memicu masalah baru. Energi mental habis hanya untuk menjaga suasana tetap terlihat aman. Konflik yang dibiarkan membuat kamu kesulitan untuk mendapatkan ketenangan. Stres muncul karena masalah lama terus hidup di kepala tanpa ada penyelesaian yang jelas.

Stres dari lingkungan sosial biasanya datang secara halus dan bertahap. Karena terlalu terbiasa, kamu gak sadar kalau itu bikin mental lelah. Menyadari pemicunya salah satu langkah awal untuk menjaga kesehatan diri. Kamu berhak memilih lingkungan yang lebih aman untuk kesehatan emosional kamu sendiri.

Memberikan batasan bukan berarti egois, tapi sebagai bentuk menghargai diri sendiri. Gak semua hal harus ditoleransi hanya demi diterima. Dengan lebih peka pada kondisi emosional, kamu bisa mengurangi stres dalam kehidupan sosial. Lingkungan sosial seharusnya jadi tempat bertumbuh, bukan tekanan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Atqo Sy
EditorAtqo Sy
Follow Us

Latest in Life

See More

5 Cara Menemukan Kembali Semangat Hidup yang Sempat Hilang

29 Des 2025, 23:15 WIBLife