Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Tanda Gaya Hidupmu Sudah Overconsumption dan Harus Direm

ilustrasi wanita belanja pakaian
ilustrasi wanita belanja pakaian (pexels.com/Vlad Deep)

Di era digital seperti sekarang, dorongan untuk terus membeli sesuatu terasa makin kuat. Setiap kali membuka media sosial, selalu ada produk baru yang seolah wajib dimiliki agar hidup terlihat lebih berkelas. Tanpa disadari, gaya hidup konsumtif ini bisa berubah jadi lingkaran tanpa akhir yang justru melelahkan secara mental dan finansial.

Overconsumption bukan sekadar soal membeli barang berlebihan, tapi juga soal kehilangan kendali atas prioritas. Kadang keinginan menumpuk barang-barang baru datang bukan karena butuh, melainkan karena tekanan sosial atau rasa ingin terlihat setara dengan orang lain. Kalau terus dibiarkan, perilaku ini bisa menjerumuskan pada stres, penyesalan, dan keuangan yang kocar-kacir. Nah, berikut lima tanda kalau gaya hidupmu sudah masuk zona overconsumption dan saatnya direm sebelum terlambat.

1. Terlalu sering membeli barang karena diskon, bukan karena butuh

ilustrasi harga promo
ilustrasi harga promo (pexels.com/Ivan Samkov)

Godaan tulisan “Sale 50% Off” di layar ponsel memang terasa seperti panggilan tak tertahankan. Banyak orang yang akhirnya menekan tombol “checkout” hanya karena takut melewatkan kesempatan. Padahal, barang yang dibeli sering kali bukan sesuatu yang benar-benar diperlukan. Akibatnya, lemari penuh dengan barang tak terpakai yang justru membuat ruang terasa sesak.

Ketika kebiasaan belanja hanya berlandaskan pada rasa takut ketinggalan, sebenarnya ada ketidakseimbangan dalam cara berpikir soal kebutuhan. Alih-alih merasa puas, yang muncul justru rasa bersalah setiap kali paket datang. Jika ini mulai terasa familiar, mungkin sudah waktunya menahan diri dan menanyakan pada diri sendiri, “Apakah aku benar-benar butuh ini?”

2. Barang lama cepat terlihat membosankan dan ingin segera ganti

ilustrasi membeli sepatu
ilustrasi membeli sepatu (pexels.com/Alexandra Maria)

Salah satu ciri khas overconsumption adalah sulit merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki. Sepatu yang baru dibeli bulan lalu tiba-tiba terasa kurang keren setelah melihat model terbaru di media sosial. Baju yang masih layak pakai mendadak dianggap ketinggalan zaman hanya karena tren berubah. Pola seperti ini membuat seseorang selalu merasa harus memiliki versi terbaru dari segalanya.

Masalahnya, kepuasan yang dicari lewat konsumsi semacam ini sifatnya sementara. Setelah barang baru dibeli, sensasi senangnya cepat memudar, lalu muncul keinginan untuk membeli lagi. Lama-lama, siklus ini menguras tenaga, waktu, dan tentu saja uang. Menghargai apa yang sudah dimiliki adalah langkah awal untuk lepas dari jerat konsumsi berlebihan.

3. Sering merasa bersalah setelah berbelanja

ilustrasi tidak punya uang
ilustrasi tidak punya uang (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Rasa bersalah setelah belanja bisa menjadi tanda kalau seseorang mulai kehilangan kendali atas kebiasaannya. Biasanya, momen senang saat membeli sesuatu hanya berlangsung sebentar, lalu berganti dengan penyesalan begitu melihat saldo rekening menurun. Ini adalah sinyal bahwa keputusan belanja lebih didorong oleh emosi daripada kebutuhan rasional.

Jika perasaan bersalah ini sering muncul, berarti ada dorongan impulsif yang perlu diatasi. Mungkin belanja digunakan sebagai pelarian dari stres, kesepian, atau perasaan hampa. Padahal, efek healing dari konsumsi seperti itu sifatnya semu dan tidak menyelesaikan akar masalah. Saat rasa bersalah muncul lebih sering daripada rasa puas, berarti waktunya menekan rem gaya hidup konsumtif.

4. Menganggap status sosial diukur dari barang yang dimiliki

ilustrasi iPhone
ilustrasi iPhone (unsplash.com/Dennis Brendel)

Di tengah budaya pamer di media sosial, banyak orang mulai menilai diri dan orang lain berdasarkan apa yang terlihat di luar. Mulai dari gadget, pakaian bermerek, sampai tempat nongkrong kekinian, semuanya dianggap sebagai simbol kesuksesan. Padahal, mengaitkan harga diri dengan barang-barang semacam itu hanya akan menciptakan rasa cemas dan tidak pernah cukup.

Orang yang terjebak dalam pola pikir ini cenderung terus berusaha menandingi standar sosial yang tidak realistis. Ketika hidup dijalankan untuk mengejar validasi, maka kebahagiaan sejati akan terasa semakin jauh. Nilai diri seharusnya diukur dari kemampuan berkembang, bukan dari seberapa mahal benda yang dimiliki.

5. Keuangan selalu tersendat meski pendapatan cukup

ilustrasi pasangan menghitung biaya
ilustrasi pasangan menghitung biaya (pexels.com/Mikhail Nilov)

Pernah merasa penghasilan sudah lumayan, tapi uang selalu cepat habis tanpa tahu ke mana perginya? Itu salah satu tanda paling jelas dari gaya hidup overconsumption. Pengeluaran kecil yang dilakukan secara impulsif bisa menumpuk dan menggerus tabungan tanpa disadari. Akhirnya, setiap akhir bulan terasa seperti perjuangan untuk bertahan hidup.

Saat keuangan mulai tidak stabil meski pendapatan cukup, berarti ada kebiasaan yang perlu dievaluasi. Overconsumption membuat seseorang sulit membedakan antara kebutuhan dan keinginan, sehingga perencanaan finansial jadi berantakan. Menata ulang prioritas dan mulai disiplin pada anggaran adalah langkah penting untuk memperbaiki situasi ini sebelum semakin parah.

Mengendalikan gaya hidup konsumtif bukan berarti menolak kesenangan, tapi belajar menyeimbangkan antara keinginan dan kebutuhan. Hidup akan terasa lebih ringan ketika seseorang tidak lagi dikuasai oleh dorongan untuk membeli. Uang bisa digunakan untuk hal yang lebih bermakna, seperti pengalaman, pengetahuan, atau membantu orang lain. Pada akhirnya, kebahagiaan sejati bukan datang dari banyaknya barang, tapi dari rasa cukup yang tumbuh dari dalam diri.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Atqo Sy
EditorAtqo Sy
Follow Us

Latest in Life

See More

7 Warna Cat Rumah untuk Suasana Produktif, Pilih yang Terang!

07 Nov 2025, 16:03 WIBLife