Overconsumption Skincare dan Makeup, Salah Siapa? Ini 4 Penjelasannya

Belakangan ini, industri kecantikan semakin mirip dengan industri fashion. Mereka memproduksi barang dalam konsep fast beauty, di mana produk baru dirilis begitu cepat hingga terkadang kita tidak sempat memikirkan apakah kita benar-benar membutuhkannya. Di sisi lain, muncul banyak perdebatan mengenai siapa yang harus bertanggung jawab atas fenomena overconsumption ini
Ada yang menyalahkan brand karena terus-menerus menggoda konsumen dengan produk baru. Ada pula yang menyalahkan influencer atau reviewer karena dianggap mempromosikan barang demi bayaran. Namun, ada juga argumen bahwa semua ini terjadi karena konsumen tidak bijak dalam memilih dan akhirnya terjebak dalam rasa takut ketinggalan (fear of missing out atau FOMO). Jadi, sebenarnya salah siapa?
1. Brand dan strategi marketing yang agresif

Brand kecantikan punya peran besar dalam menciptakan tren yang membuat konsumen terus merasa perlu membeli produk baru. Dengan memanfaatkan iklan yang masif di media sosial, diskon besar-besaran, dan strategi marketing lain yang berhasil menarik perhatian banyak orang. Mereka tahu bagaimana cara membuat konsumen merasa gak cukup cuma dengan satu produk. Misalnya, produk moisturizer aja sudah cukup, tetapi kini mulai berkembang dengan adanya toner, serum, booster, sampai sleeping mask. Konsumen pun jadi bingung, apakah mereka benar-benar butuh produk itu atau sekadar FOMO karena maraknya testimoni di media sosial?
Namun, gak bisa dimungkiri juga kalau strategi marketing ini emang jadi bagian dari bisnis brand kecantikan. Mereka menciptakan “kebutuhan baru” biar produk mereka tetap relevan dan laris manis di pasaran. Sayangnya, gak semua konsumen paham bahwa klaim produk sering kali dilebih-lebihkan, makanya muncul istilah overclaim. Akibatnya, banyak orang tergoda membeli produk yang sebenarnya gak sesuai kebutuhan kulit mereka. Kalau sudah begini, brand kecantikan memang berperan, tapi konsumen juga perlu lebih kritis agar tidak terus-menerus terjebak overconsumption.
2. Peran influencer dan reviewer dalam menciptakan tren

Influencer dan reviewer sering dianggap sebagai "pelaku utama" yang membuat konsumen membeli produk secara berlebihan atau overconsumption. Mereka sering memamerkan koleksi skincare atau makeup yang begitu banyak, seolah-olah memberi pesan bahwa memiliki banyak produk jadi hal yang wajar. Apalagi, beberapa dari mereka memang dibayar oleh brand kecantikan buat mempromosikan produk baru. Tentu saja, ini adalah tanggung jawab dari pekerjaan mereka, dan banyak yang melakukannya dengan profesional, dalam artian memberikan review secara jujur. Namun, efeknya bisa sangat besar bagi konsumen yang kurang bijak dalam menyaring informasi kayak gini, guys.
Sebagai konsumen, kamu perlu sadar bahwa gak semua produk yang di-review, cocok buat semua orang. Kulit tiap orang berbeda dan gak ada produk yang bersifat universal. Kalau kamu langsung tergiur membeli setiap produk yang diulas influencer favoritmu, bisa-bisa hal itu hanya menambah koleksi tanpa benar-benar bermanfaat buat kamu sendiri. Influencer memang punya pengaruh besar, tapi tanggung jawab untuk memilih tetap ada di tanganmu. Jadi, jangan mudah percaya hanya karena produk kecantikan tersebut terlihat bagus di media sosial, ya.
3. FOMO dan kurangnya edukasi konsumen

Rasa takut ketinggalan atau FOMO, jadi salah satu alasan terbesar mengapa orang cenderung membeli produk lebih dari yang mereka butuhkan. Ketika teman-teman atau orang-orang di media sosial membicarakan produk baru, kamu mungkin merasa perlu memilikinya juga, meski sebenarnya tidak membutuhkannya. Nah, ini, lho jebakan overconsumption yang sering kali sulit dihindari. Apalagi jika ada embel-embel "limited edition" atau diskon besar-besaran, rasanya seperti ada dorongan untuk beli sekarang atau bakal menyesal nanti.
Namun, sebenarnya ini juga berkaitan dengan kurangnya edukasi konsumen, guys. Banyak orang belum paham bahwa kulit mereka tidak membutuhkan banyak produk untuk tetap sehat. Skincare yang baik bukan soal seberapa banyak layer atau step yang dilakukan, tetapi soal konsistensi dan kecocokan produk dengan kulitmu. Kalau kamu masih merasa harus mencoba segala produk hanya karena orang lain memakainya, itu tanda bahwa kamu perlu lebih memahami kebutuhan kulitmu sendiri. Edukasi jadi kunci untuk melawan rasa FOMO terhadap industri fast beauty yang makin kemana-mana ini.
4. Konsumen yang kurang bijak dalam membuat keputusan

Terakhir, meskipun banyak faktor eksternal yang memengaruhi, konsumen tetap punya tanggung jawab besar dalam fenomena overconsumption ini. Kadang, keinginan untuk terlihat sempurna membuat kita lupa bahwa skincare atau makeup hanyalah alat, bukan solusi. Banyak orang yang membeli produk kecantikan hanya karena ingin terlihat mengikuti tren, bukan karena benar-benar membutuhkannya. Akibatnya, produk makeup atau skincare jadi menumpuk, tetapi gak semuanya digunakan dengan maksimal.
Menjadi konsumen produk kecantikan yang bijak berarti tahu kapan harus beli dan kapan harus menahan diri. Gak apa-apa, kok kalau kamu ingin coba produk baru, tapi pastikan itu benar-benar sesuai dengan kebutuhan wajah atau kulitmu. Jangan gampang terpengaruh oleh tren atau promosi yang terlihat menarik di media sosial. Ingat, kulitmu punya kebutuhan berbeda dari orang lain dan gak ada produk yang bisa memperbaiki semuanya dalam semalam atau dalam waktu singkat.
Jadi, salah siapa overconsumption skincare dan makeup ini? Jawabannya gak sesederhana itu dengan menujuk pihak A,B, C,D. Semua pihak punya peran, kok mulai dari brand, influencer, hingga kamu sebagai konsumen itu sendiri. Namun, pada akhirnya, tanggung jawab terbesar ada di tanganmu sebagai konsumen untuk memutuskan beli atau tidaknya produk makeup atau skincare. Jadi, mulai sekarang, yuk, lebih mindful dan selektif dalam membeli produk kecantikan.