Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Dampak Orangtua Selalu Menawarkan Hadiah agar Anak Berperilaku Baik

ilustrasi seorang ayah menawarkan permen ke anaknya (pexels.com/Ketut Subiyanto)
ilustrasi seorang ayah menawarkan permen ke anaknya (pexels.com/Ketut Subiyanto)

Gak sedikit orangtua menjanjikan hadiah kepada anak supaya mereka berprestasi dan berperilaku baik. Entah itu permen, mainan baru, sampai kegiatan liburan. Hadiah sering jadi alat untuk memotivasinya. Beberapa orangtua percaya ini efektif agar anak bertindak sesuai keinginan mereka, jadi anak yang berbakti dan bermanfaat.

Namun, ada kekhawatiran bagi perkembangan anak jangka panjang dari metode didikan seperti itu. Berikut lima dampak dari sikap orangtua yang selalu menawarkan hadiah ke anaknya agar mau berperilaku baik.

1.Anak jadi kurang inisiatif untuk berbuat baik dengan tulus

ilustrasi anak-anak sibuk bermain gadget (pexels.com/Jessica Lewis 🦋 thepaintedsquare)
ilustrasi anak-anak sibuk bermain gadget (pexels.com/Jessica Lewis 🦋 thepaintedsquare)

Berbuat baik perlu empati dan ketulusan, namun kalau sejak kecil dididik dengan cara memberikan hadiah supaya bertindak baik, maka anak jadi tumbuh pamrih. Segala tindakannya jadi harus ada imbalannya. Ini membuatnya gak inisiatif sekaligus selalu menanti hadiahnya dulu.

Tentu malah dapat mengalihkan fokus anak jadi berpikir bahwa perilaku baik harus selalu dihargai dengan sesuatu yang bersifat materi. Beranjak dewasa, anak jadi kurang peka dengan sekitarnya. Malas membantu orang lain kalau gak ada imbalannya. Pada akhirnya, ini akan menghambat perkembangan kemampuan mandiri dan bertanggung jawabnya.

2.Kurang empati dan kesadaran sosial

ilustrasi bersikap egois (pexels.com/Monstera Production)
ilustrasi bersikap egois (pexels.com/Monstera Production)

Ketika dari kecil dibiasakan menerima hadiah sebagai imbalan kebaikannya, anak cenderung mengabaikan arti nilai kebaikan itu sendiri. Fokus mereka bukan lagi ke mengapa harus berbuat baik, namun mengarah ke apa yang akan didapat sebagai imbalannya.

Hal ini tentu membuat anak jadi kurang berempati dan gak memahami nilai-nilai moral, serta etika yang menjadi dasar tindakan kebaikan. Anak bisa tumbuh dengan cara pandang bahwa bantuan yang diberikan ke orang lain merupakan sarana untuknya mendapat sesuatu yang menyenangkannya.

Akhirnya, ini akan berpengaruh juga ke berbagai aspek hidupnya. Mereka jadi kurang mampu berkolaborasi, gak bisa membangun hubungan pertemanan yang tulus, serta tumbuh menjadi egois.

3.Sulit menjadi disiplin dan bertanggung jawab tanpa adanya imbalan

ilustrasi rasa malas (pexels.com/Monstera)
ilustrasi rasa malas (pexels.com/Monstera)

Mereka yang terbiasa diberi sesuatu setiap kali berbuat kebaikan, akan terus mengharapkan imbalan sebagai syarat dirinya berkontribusi positif pada apa saja. Kebiasaan ini akan membentuk anak jadi pribadi gak disiplin dan lepas tanggung jawab jika diberi tugas tanpa ada hadiahnya.

Di masa dewasanya, mereka akan kesulitan saat menghadapi tantangan seperti mengelola waktu, dan menuntaskan tugas kewajibannya jika tak diiming-imingi hadiah menarik.

Misalnya, ketika sudah bekerja, mereka kurang berdedikasi kecuali kalau ada bonus menanti. Tentu saja ini kabar buruk, mereka jadi kurang mampu meraih kepuasan pribadi dari prestasinya sendiri ketika tak ada apresiasi.

4.Memengaruhi hubungan sosial dan profesionalnya saat dewasa

ilustrasi sebuah konflik dalam hubungan kerja (pexels.com/Alena Darmel)
ilustrasi sebuah konflik dalam hubungan kerja (pexels.com/Alena Darmel)

Secara tanpa disadari, sikap orangtua yang terus menawarkan hadiah agar anak bertindak baik, ini malah mengajarkan pada mereka untuk memanipulasi situasi demi dapat keuntungan pribadi. Mereka akan cenderung terlihat semangat dan baik hanya dalam situasi yang terlihat menguntungkan bagi dirinya.

Saat dewasa, mereka jadi berusaha beradaptasi di lingkungan sosial dan profesional bukan karena nilai moral dan kesadaran kewajibannya, namun berdasarkan apa yang nanti akan diperoleh.

Kalau gak ada keuntungannya, mereka bisa secara langsung menolak tanpa belajar melihat dan memahami situasinya dulu. Perilaku seperti itu akan merusak hubungannya dengan orang sekitar.

5.Sulit bersyukur dan merasa kurang bahagia

ilustrasi anak-anak bersedih (pexels.com/Kindel Media)
ilustrasi anak-anak bersedih (pexels.com/Kindel Media)

Ketika anak tumbuh dewasa dengan pola pikir yang sudah terbentuk seperti itu, bisa menyebabkannya sulit bersyukur dan gak pernah puas dalam hidup. Ini menurunkan tingkatan kebahagiaan dan penghargaan terhadap pencapaiannya.

Gak semua pencapaian akan ada imbalan materinya. Ketika anak mengalami hal ini, dia bisa merasa rendah diri dan gak lagi termotivasi. Dampaknya berpengaruh juga pada kesejahteraan emosional dan mentalnya. Kemampuan mereka untuk menikmati hidup terus menurun seiring waktu jika gak segera melakukan perubahan positif.

Coba pertimbangkan metode mendidik anak yang lebih sehat untuk keberlanjutannya. Daripada bergantung pada imbalan yang sifatnya materi, coba ganti dengan memberinya validasi secara verbal dan tindakan kasih sayang atas perilaku baik anak-anak.

Tunjukkan juga contoh baiknya secara langsung melalui tindakan yang mengajarkan empati, tanggung jawab, dan tidak egois. Ini membantunya tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik tanpa paksaan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Adelbertha Eva Y
EditorAdelbertha Eva Y
Follow Us